(Narasi oleh Arif Sutoyo dan Nur Kholiq)
Narasi
Ibu Anifah (43 tahun) adalah seorang perajin slondok getuk skala rumahan dari Dusun Ngargosari. Sosok yang ramah dan murah senyum ini sudah menekuni usaha pembuatan slondok getuk sejak lama. Dalam menjalankan usahanya, beliau sering dibantu oleh ibunya yang sudah sepuh. Kadang kala, suaminya juga membantu dikala tidak mengajar di salah satu SMP di Borobudur. Dahulu, selain di Dusun Ngargosari, para pembuat slondok getuk tersebar di dusun-dusun lain seperti di Dusun Kuncen, Dusun Kujon, dan Dusun Parakan.
Slondok getuk adalah camilan atau makanan ringan sejenis lanting yang berbentuk melingkar seperti cincin dan berbahan dasar ketela. Camilan yang rasanya gurih dan renyah ini sudah bertahun-tahun menjadi salah satu camilan khas dari Dusun Ngargosari. Bahan baku ketelanya sendiri cukup melimpah di Desa Ngargogondo, mengingat banyaknya petani yang menanam ketela pohon di lahan pertaniannya. Selain memanfaatkan hasil panen sendiri, Ibu Anifah juga kadang membeli dari tetangga apabila ketela hasil panennya sudah habis.
Meski dibutuhkan keuletan, ketelatenan, dan kesabaran tinggi, cara pembuatan slondok relatif cukup mudah. Ketela mentah dikupas dan dibersihkan dengan cara dicuci menggunakan air bersih. Setelah bersih, ketela dikukus hingga matang. Ketela yang telah matang diberi bumbu yang sudah dihaluskan berupa bawang, garam, dan ketumbar, lalu ditumbuk dengan lumpang dan alu hingga hancur sambil dipilih dan dibuangi sontrotnya (serat dari ketela).
Ketela yang telah hancur dan berbentuk getuk mawur atau getuk setengah jadi selanjutnya digiling menggunakan mesin penggiling hingga terbentuk bakal slondok yang menyerupai mie dengan helaian yang lebih tebal. Dahulu, sebelum menggunakan gilingan yang bertenaga listrik, para perajin slondok, termasuk Ibu Anifah, menggunakan mesin gilingan manual bertenaga manusia. Alat penggilingnya sendiri memanfaatkan alat penggiling daging yang sudah dimodifikasi ukuran lubang keluarnya. Bakal slondok teraebut lalu dipotong-potong sepanjang kurang lebih 10 cm untuk kemudian dibuat slondok secara manual menggunakan tangan dengan cara disuwir perhelai dan dibentuk lingkaran seperti cincin.
Slondok basah yang sudah jadi kemudian dijemur dibawah terik sinar matahari langsung dengan rigen (papan persegi panjang yang terbuat dari anyaman bambu). Setelah kering, barulah slondok tersebut digoreng menggunakan wajan besar berminyak panas di atas luweng. Untuk mendapatkan hasil slondok yang bagus, penjemuran sebaiknya hanya satu hari kering. Oleh karena itu, dalam proses pembuatan slondok, faktor cuaca cukup berpengaruh besar.
Setiap hari, Ibu Anifah dapat menghasilkan 16-17 kg slondok goreng yang langsung dimasukkan ke plastik bal ukuran 10 kg supaya tidak melempem atau lembab. Ibu Anifah menjual slondoknya setiap 3 hari sekali ke Pasar Jagalan yang terletak di Kalibawang, Kulonprogo, Yogyakarta. Harga slondok per kilogramnya pun sering naik turun, bergantung musim. Ketika musim kemarau, harga slondok getuk cenderung turun. Harga biasanya akan naik pada bulan Desember-Januari, namun bahan baku tidak mudah dan cuaca kurang mendukung karena sudah memasuki musim penghujan, yang merupakan kendala dalam proses penjemuran.
Selain untuk mengisi kegiatan di rumah, pembuatan slondok getuk Ibu Anifah juga berfungsi sebagai sarana pemanfaatan ketela agar lebih bernilai ekonomis. Selain itu, aktivitas ini dapat membantu mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga.
Gambar
Lokasi
map
Narasumber
- Ibu Anifah, 43 tahun, pembuat slondok getuk, Dusun Ngargosari Desa Ngargogondo.