(Narasi oleh Lukman Fauzi Mudasir dan Diyah Nur Arifah)
Narasi
Masyarakat Jawa pasti tidak asing lagi ketika mendengar kata sura. Sura merupakan bulan pertama dalam kalender Jawa. Bulan sura identik dengan bulan Muharram pada kalender hijriah yang merupakan tahun baru islam. Masyarakat Jawa menganggap bulan sura sebagai bulan yang sakral dan diistimewakan karena banyak tradisi Jawa yang dilakukan pada bulan ini.
Benda pusaka
Menurut kepala desa, yaitu Bapak Anwar Ujang, suran di Desa Borobudur tidak ada acara yang diselenggarakan dalam lingkup desa (belum terkoneksi satu desa). Suran biasanya dilakukan oleh pemangku adat di setiap dusun yang mempunyai kepercayaan tertentu terhadap bulan sura. Tidak semua dusun di Desa Borobudur melakukan atau merayakan suran. Terlebih masa pandemi seperti ini banyak dusun yang tidak merayakan suran. Dusun yang masih merayakan suran biasanya hanya mengadakan doa bersama yang dilaksanakan di masjid dusun mereka. Setelah melaksanakan doa bersama semua warga yang menghadiri acara tersebut kemudian makan makanan yang sudah disiapkan. Makanan itu merupakan makanan yang sudah didoakan (mengandung berkah karena telah didoakan banyak orang). Merayakan atau memperingati tanggal 1 sura hanya dilakukan oleh masyarakat yang mempunyai kepentingan, seperti masyarakat yang mempunyai benda-benda pusaka atau yang sudah sepuh (tua) yang masih mempertahankan budaya dari para leluhur.
Tirakatan
Salah satu acara untuk memperingati suran di Desa Borobudur yang sudah turun temurun adalah tirakatan dan ziarah kubur ke makam yang dianggap mempunyai pengaruh besar atau cikal bakal daerah tersebut. Hal ini bertujuan untuk mengucap syukur dan berdoa supaya kehidupan bisa lebih baik lagi dan terhindar dari mara bahaya. Acara tirakatan biasanya dilaksanakan di masjid dilakukan setelah salat magrib. Acara ini diawali dengan membaca tahlil (berdoa bersama) untuk mendoakan arwah para leluhur dan berdoa untuk meminta keselamatan diri masing-masing kemudian dilanjutkan dengan makan bersama. Makanan yang disajikan ketika malam satu sura ini tidak biasa. Makanan ini mempunyai ciri khas yang membedakan dengan makanan yang lain. Ciri khas itu terletak pada bumbu masakannya. Bumbu untuk memasak makanan yang disajikan pada malam satu sura dinamakan bumbu sura. Bumbu sura terdiri dari jahe, kunyit, lengkuas, kencur, merica, kemiri, daun salam, daun jeruk, kayu manis, jinten, kapulaga, dan sereh. Bumbu-bumbu tersebut bisa didapat di pasar Borobudur. Ada yang sudah menjual satu paket, biasanya semua bumbu dibungkus plastik dengan harga dua ribu rupiah. Bumbu ini dinamakan sebagai bumbu sura sebab makanan yang disajikan ketika perayaan sura harus menggunakan bumbu tersebut. Bumbu tersebut telah diwariskan oleh nenek moyang. Diyakini oleh nenek moyang bahwa ketika bumbu-bumbu tersebut tidak lengkap maka akan terjadi satu kejadian yang kurang mengenakkan. Namun setelah berkembangnya zaman, mitos itu pada akhirnya berhasil terpecahkan, sebenarnya bumbu tersebut mengandung rempah yang cukup dan kombinasi yang seimbang sehingga dibuat masak terasa enak.
Puasa mutih
Menurut Mbah Amin (80 tahun) warga Dusun Kaliabon, masyarakat Jawa yang meyakini bulan sura biasanya menjalankan laku prihatin seperti puasa, mutih (makan nasi putih saja), ngebleng (bertapa), ngrowot (tidak memakan nasi), lek-lekan (begadang), kungkum (merendam diri), dan tirakat (menahan hawa nafsu). Laku prihatin tersebut tidak dilakukan di sembarang tempat, biasanya dilakukan di tempat yang sakral atau dikeramatkan seperti puncak gunung, petilasan, dan makam orang-orang sakti. Masyarakat Jawa yang meyakini kepercayaan tertentu mengenai bulan sura selalu mengadakan acara ritual. Ritual dilakukan beraneka ragam sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Misalnya bagi masyarakat yang mempunyai pusaka maka akan mengadakan ritual sesuai dengan perjanjian yang mempunyai pusaka dan roh gaib yang diyakini menghuni pusaka tersebut. Biasanya tradisi-tradisi tersebut dilakukan setiap malam satu sura. Jadi malam satu sura sering dikaitkan dengan hal-hal mistis. Mereka yang mempunyai benda pusaka akan memandikan benda itu dengan air bunga dibawah sinar bulan. Memandikan pusaka tersebut juga tidak dilakukan sembarangan, ada ritual khususnya misalkan dengan menggunakan sajen (sesaji). Sesaji ini biasanya terdiri dari bunga mawar merah, mawar putih, kenanga, dan rokok. Sesaji ini biasanya juga fleksibel tergantung tujuan kita. Akan tetapi mbah Amin mengutarakan bahwa sesaji ini sifatnya fleksibel dan disesuaikan dengan acara atau yang telah disepakati sebelumnya (kesepakatan antara manusia dengan makhluk tak kasat mata). Cara mereka bersepakat biasanya dengan bersemedi atau menggunakan perantara atau ilmu kanuragan. Ada yang ditambah kopi, degan (kelapa muda), bubur, dupa, dan lain sebagainya.
Bubur Suro
Selain hal-hal di atas, acara suran juga mempunyai satu olahan makanan yang khas dan hanya ada ketika perayaan malam satu sura. Makanan khas untuk acara suran itu adalah bubur suran / bubur sura. Bubur sura bukanlah sesajen yang bersifat magis. Bubur sura identik dengan lambang, dan syarat dengan makna, oleh karena itu ditafsirkan sebagai alat (uba rampe dalam bahasa Jawa) untuk memaknai 1 sura. Menurut mbah Yatimah warga Dusun Kaliabon yang sudah berusia 76 tahun, bubur suran terbuat dari beras, santan, jahe, sereh, dan daun salam ditambah dengan 7 jenis kacang-kacangan yang terdiri dari kedelai hitam, kacang merah, kacang hijau, jagung, kacang tolo, kacang tanah, dan kacang mede. Jenis kacang yang digunakan sudah turun temurun warisan nenek moyang namun seiring berjalannya waktu jenis kacang tersebut ada yang menggantinya dan yang paling penting berjumlah tujuh jenis. Semua bahan tersebut direndam selama satu malam sebelum dimasak menjadi bubur. Jenis kacang-kacangan yang ditambahkan harus tujuh karena itu mempunyai makna tersendiri. Makna dari tujuh itu adalah tujuh melambangkan jumlah hari dalam satu minggu dan maknanya dalam hidup setiap hari harus selalu mempunyai tekad dan keberanian. Semua tindakan harus didasari dengan niat yang baik dan semua tindakan harus mempunyai manfaat bagi semua. Cara memasak bubur sura yaitu semua bahan dicampur menjadi satu setelah direndam selama satu malam. Bubur suran ini biasanya disajikan bersama nasi tumpeng dan sayur yang dimasak dengan bumbu sura. Semua makanan tadi didoakan kemudian dimakan bersama ketika acara tirakatan.
Gambar
Lokasi
map
Narasumber
- Mbah Amin, 80 tahun, sesepuh desa Borobudur