(Narasi oleh Ahmad Saeful M dan Zulfikar Maulana M)
Narasi
Sore itu selepas waktu ashar kami berdua sepakat untuk menyempatkan waktu datang “sowan” ke salah seorang tetangga, Pak Djumarno namanya, pria berusia 52 tahun yang rumahnya tidak jauh dari tugu selamat datang dusun Serut,bahkan dengan jalan kaki pun hanya tidak kurang dari lima menit. Terletak di paling ujung desa, berbatasan dengan Desa Sambeng di sebelah barat. Pekarangan nya cukup luas dengan tembok rumah berwarna hijau telur asin.
Baru saja dua minggu yang lalu, pekarangan rumahnya ramai hiruk pikuk tetangga dan sanak kerabat yang sibuk menyiapkan pesta meriah, mereka datang untuk melaksanakan prosesi sakral bagi keberlangsungan hidup putri Pak Dju. Tepat tanggal 27 Juli kemarin putrinya resmi dipinang oleh pemuda asal kembang limus diusia 23 tahun.
Ya, keramaian itu sudah usai, rumah sekarang kembali sepi, hanya ditinggali oleh Pak Dju, istrinya serta menyisakan seorang perjaka yang masih usia remaja hendak menginjak pemuda. Remaja tujuh belas tahun tersebut merupakan anak kedua Pak Djumarno yang masih menginjak bangku SMK kelas dua. Selang 6 tahun dengan sang kakak, sekarang ia berkewajiban untuk menemani kedua orang tuanya.
Pijat Urut
Pak Djumarno kesehariannya disibukkan dengan datang kesana kemari memenuhi panggilan yang kadang menumpuk di telponnya. Tak jarang tiga sampai lima orang ia layani dalam sehari. Pengobatan tradisional bermodal Pijat urut seperti ini telah ia geluti sedari usia muda, dengan usia kepala lima saat ini segudang pengalaman di dunia urut badan tentu telah menjadi sebuah kebiasaan yang mendarah daging bagi dirinya.
Di kala suro seperti ini dulu ia mempunyai kebiasaan untuk melakukan pemandian pusaka, kebiasaan ini ia lakukan terakhir belasan tahun yang lalu,di medio tahun 2004 hingga 2007. Sudah sekian lama,namun ingatannya masih terukir jelas,tentang bagaimana ia memandikan pusaka miliknya.
Kata demi kata ia keluarkan dengan jelas dan tegas, tanpa ada keraguan ia ungkapkan di setiap kalimat yang menjawab tiap pertanyaan kami yang penuh akan rasa penasaran mengingat kami berdua belum pernah sama sekali melakukan ritual tersebut. Mulai dari cara ia merendam dengan air degan,nanas,jeruk nipis dan air bunga buat merendam beberapa pusaka miliknya yang ia rendam dalam bumbung bambu dengan panjang kurang lebih 75 cm.
Keris dan Tombak
Terdapat belasan pusaka yang biasa ia rendam kala tiga hari menjelang malam suro. Ada hampir dua puluh pusaka dengan didominasi oleh jenis keris. Sayang sudah hampir sebelas tahun ia tidak kembali melaksanakan ritual rutin tersebut. Hingga kini pusakanya hanya tersisa tiga buah,sebuah tombak dan dua buah keris yang tidak berisi lelembut didalamnya atau biasa disebut khodam.
Dengan nada rendah penuh kekecewaan ia mengungkapkan bahwa sudah sejak lama tidak melanjutkan prosesi tersebut, karna banyak orang yang tidak mengembalikan keris yang dipinjam dari nya “ning ndilalah yo kerise yo ming di ,onten wong jileh ra dibalekke kuwi yo jut kulo mutung,mah jut tak nganu kabeh” tuturnya.
“ora dibalekke,mung mileh sik apik apik,la kulo jut dadi nganu to,mah wes ra matuk kulo yoan,no nek onten wong kepengen sing penting diopeni ya monggo” pungkasnya.
Asal tetap dirawat ia tak mempermasalahkan kerisnya diambil orang. Toh ia dulu mendapatkan keris tersebut juga merupakan pemberian dari salah seorang pasien yang ia sembuhkan di daerah Kaliangkrik.
Minyak za’faran
Mengoles pusaka dengan minyak za’faran ia lakukan selepas usai merendam pusaka nya. Tak jarang juga dilakukan kala malam selasa kliwon atau jumat kliwon. Menurutnya pemberian minyak tersebut pada dasarnya hanya untuk membuat keris tidak berkarat, mengingat benda ini beresiko tinggi berkarat jika bercampur dalam waktu yang lama dengan debu.
Banyak pemahaman yang muncul erat kaitannya dengan keris, seperti dikabulkan nya sesuatu karena memiliki sebuah keris tertentu misal. Menurut beliau pada dasarnya yang membuat manjur sebuah doa bukan datang dari benda keris itu sendiri,melainkan datang dari doa sang pembuat keris. Amalan-amalan seperti puasa atau meditasi sang “mpu” dalam upaya membuat keris inilah yang membuat nya terlihat mempunyai wibawa tersendiri atas terkabulnya sebuah keinginan.
Kecocokan keris
Lewat penghitungan jawa menurutnya ada upaya untuk mengetahui kecocokan keris yang dimiliki dengan sang pemilik saat ini ataupun selanjutnya. Dengan upaya menghitung panjang keris lewat urutan jari jempol dengan posisi saling naik ke atas mengikuti panjang keris sambil berucap siti pada posisi pertama kemudian diikuti sengkali, arjuno mangan ati dan terakhir Rondo Tunggu Dunyo. Jika dihitung dan jatuh pada siti,maka itu artinya bagus,dan cocok untuk diemban pemilik selanjutnya.
Mendadak sang istri datang menghampiri nya ternyata panggilan di handphone milik nya telah berbunyi beberapa kali sore itu ,pak Djumarno ternyata telah mempunyai janji dengan salah seorang pasien nya.
“Ning kok dingapunten niki, kulo niki due saguhan pijet ning bigaran e” cetusnya, kami pun juga memaklumi dengan sangat,urusan pengobatan memang mesti disegerakan supaya rasa lega dari sang pasien segera didapatkan. Kami berdua pun pamit untuk lekas beralih dari tempat duduk kami dan mengucap harap kepada pak Dju supaya mampu dipertemukan di kesempatan lain waktu,mengingat rasa penasaran kami yang masih cukup banyak.
Mbah Tris
Sore itu kami masih mempunyai waktu yang cukup sampai matahari terbenam ke peralihan, kami berdua sepakat untuk mengunjungi salah seorang sesepuh desa yang letak rumahnya hanya berjarak lima langkah dari rumah narasumber kami yang pertama, orang itu adalah Mbah Tris, seorang sesepuh dusun yang memasuki usia 78 tahun.
Saat kami sibuk berbincang dengan Pak Dju, saya melihat beliau beberapa kali lewat di depan rumah dengan arit yang digenggam dan setumpuk rumput yang diangkut di atas kepala. Hal yang biasa dilakukan kala sore hari untuk mencari rumput sebagai pakan ternak, meski telah memasuki usia kepala delapan.
Kami menunggu di depan rumah sambil menunggu beliau usai membersihkan diri, baik itu mandi maupun menunaikan kewajiban sholat fardhu. Tak selang lama kemudian Mbah Tris membukakan pintu menyambut kedatangan kami dengan langkah yang cukup pelan dan santai diiringi senyuman dan tawa lebar sambil menanyakan maksut tujuan kami berdua.
Sambil mengambil tembakau, lalu menumpukkan beberapa tembakau di atas “baret” beliau mendengarkan maksud tujuan kami dengan teliti.
Kami pun masih penasaran terkait dunia suro di desa kami , apa yang biasa dilakukan dan bagaimana prosesnya. Diawali menyalakan hasil lintingan yang telah ia buat lanjutnya ia menanyakan beberapa hal kepada kami berdua.”Kok malah aku sik di nganu ki tek kepie dasar dasare?” imbuhnya dengan senyum yang cukup lebar. Kami pun tertawa lirih sambil dijawab oleh Ipul “nek pandangan kulo sing ngertos ki kintene Mbah Tris e” Dengan kerendahan hati yang amat dijunjung pun beliau hanya menjawab “aku ki yo ragenah e” sambil tersenyum kembali.
Puasa dan Slametan
Lalu kami pun menanyakan beberapa tradisi yang biasa dilakukan di dusun Serut terkait pelaksanaan Suro, menurut beliau terdapat dua tradisi yakni Puasa di tanggal 1 suro untuk awet muda dan juga kegiatan tanggal 10 sedekahan untuk slametan atau yang biasa dikenal dengan suran. Puasa yang dilaksanakan pun seperti puasa pada umumnya bulan ramadhan dengan adanya buka dan sahur. Amalan tersebut muncul dan terdapat di alquran Sedekahan untuk slametan ini sudah ada sejak nenek moyang, perbedaannya terletak di metode pelaksanaan nya.
Jika ditarik secara garis waktu pelaksanaan suran semenjak jabatan kepala dusun diemban oleh beliau pada tahun 2004 telah dilakukan di Mushola, berbeda dengan sebelumnya yang dilakukan dengan mengirim makanan berupa berkat ke rumah dukuh (secara modern biasa disebut dengan kepala dusun) terdapat juga bubur suro yang terbuat dari nasi, kunir dan merica. Pelaksanaanya dari dulu hingga sekarang menggunakan dana dari sembada masyarakat. Jika dulu menggunakan biaya perseorangan ,sekarang lebih terorganisir terdapat bendahara yang memegang keuangan acara tersebut.
Dalam pelaksanaan di RT 05 dibagi menjadi dua yakni ada yang membayar dengan uang, ada pula yang jatah makanan berupa nasi yang dibungkus secara tum dengan isian sesuai kesepakatan,biasanya diisi dengan nasi, bihun dan juga telur. Pembagian jatah tadi berdasar posisi rumah, dikarenakan wilayahnya terletak dibawah kaki gunung serut, ada posisi atas dan posisi bawah. Jatahnya pun bergantian baik posisi atas dan sebaliknya.
Tanggal 10 suro diambil karena merupakan waktu dimana nabi melakukan dakwah di Mekkah banyak kendalanya , kemudian hijrah ke Madinah.
Gambar
jadwal
- Tiap Bulan Suro, kalender jawa/Hijriah
Relasi Budaya
Narasumber
- Mbah Tris, 78 tahun, Seorang sesepuh dusun Serut Desa Bigaran
- Pak Djumarno, 58 tahun, sesepuh desa, pelaku budaya Desa Bigaran
Sumber Lain
Dari Kanal