(Narasi oleh: Andy Anssah dan Vinanda Febriani)
Narasi
Kesenian yang berasal dari Dusun Bumen Jelapan ini memadukan antara syair Islami dengan gerakan pencak silat nasional. Syair yang dilantunkan dalam Syubbanul Muslimin tersebut berisi petuah-petuah, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Jawa. Kesenian ini diperkirakan telah berdiri sebelum kemerdekaan RI oleh para Ulama sebagai pertanda dukungan terhadap langkah Pangeran Diponegoro.
“Kenapa dinamakan Syubbanul, karena artinya adalah pemuda, gerakan pemuda ataupun pemuda yang bergerak. Kalau Muslimin artinya orang-orang Muslim. Pada zaman penjajahan dulu banyak Kiai yang pro dengan Pangeran Diponegoro, sehingga dilarang untuk berkumpul. Oleh karena itu, mereka menyalurkannya lewat seni. Ada yang bertumbuh kembang menjadi Ndayakan, Jathilan, Topeng Ireng, Kubro Siswo, dan lain-lain”. Dengan kata lain, kesenian menjadi medium untuk kamuflase atau mengelabuhi orang-orang asing. Selain itu, dari kesenian itu sendiri secara tidak langsung mengajarkan bela diri, sebagai persiapan manakala nanti dibutuhkan untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah. Mulanya, personel yang terlibat kira-kira 20 orang. Seiring berjalannya waktu, personel kesenian ini bertambah pemain gambus, rodek, dan atraksi. Ada pula tambahan iran-iran atau kekewanan. Terlepas dari itu semua, baik gerakan maupun tembang dalam kesenian ini berisi nasihat dan satu petuah dengan gerakan silat.
Sayangnya, saat ini kesenian syubbanul muslimin sudah tidak eksis lagi karena anak-anak muda dusun banyak yang sudah bekerja ke luar daerah, sehingga tidak ada lagi generasi penerus dari kesenian ini.
Gambar
Lokasi
map