(Narasi oleh Salma Salsabila R. dan M. Shodek)

Narasi

Sudah menjadi sebuah tradisi di kalangan masyarakat Desa Majaksingi khususnya muslim, ketika ada sanak saudara atau keluarga yang meninggal dunia, selalu diadakan acara tahlilan yang bertujuan untuk mendoakan si almarhum atau almarhumah. Hal tersebut agar amalnya diterima dan diampuni semua kesalahan yang pernah diperbuat. Oleh karena itu keluarga akan mengadakan perkumpulan yang isinya membaca bacaan tahlil dan doa. Di Desa Majaksingi, acara tersebut biasa dilaksanakan selama 7 hari sejak kematian, kemudian diteruskan pada 40 hari maupun setiap tahun (haul). Dalam acara tersebut berisi doa bersama yang didahului dengan membaca tawasul, kemudian surat-surat pendek dan ditutup membaca tahlil serta Surat Yasin.

Menurut Bapak Harno (46 tahun) seseorang Dusun Majaksingi, yang juga berprofesi petani mengatakan bahwa tradisi tersebut sebagai bentuk sedekah dalam wujud selamatan dan bersilaturahmi melalui kumpul bersama di rumah duka. Kemudian menurut narasumber lain yaitu Bu Widiyati (45 tahun), tahlilan merupakan acara yang dilakukan ketika ada orang meninggal. Tahlilan tergantung dari keluarga yang menjalaninya, akan dilaksanakan selama sampai 3 hari atau sampai 7 hari pasca orang meninggal. Tahlilan biasanya dilakukan pada malam hari setelah isya dan acara tahlilan hanya dilakukan dengan mengaji atau membaca doa tahlil. Namun ketika hari ke-3 dan hari ke-7 akan ditambahkan dengan membaca surat yasin. Acara tahlilan ini biasanya dipimpin oleh kyai atau kaum. Orang yang datang ke acara tahlilan ini tidak diundang, namun dengan kesediaan hatinya untuk mengirim doa kepada salah satu anggota keluarga yang sudah meninggal.

Saat malam hari ke-3 dan malam hari ke-7 biasanya keluarga yang mengadakan acara tahlilan akan menyediakan makan berupa nasi untuk dimakan para peserta yang datang. Makanan yang disajikan bisa dengan menu sembarangan dan tidak diharuskan menu tertentu asal ada menu ingkung. Bu Widiyati juga menambahkan “yen ingkunge kuwi ki ws dadi syarat ro kebiasaane seko mbah mbah ne dewe mbiyen, dadi nek ra dikei ingkung kuwi wagu, jarene mbahne ingkung kuwi nandake nek wujud e menungso mbokno ws sedo kuwi tetep utuh roh e, koyo ingkung kae lakyo tetep utuh to iwak e, ora di tugel-tugeli.” kalau ingkung itu sudah jadi syarat dan kebiasaan dari nenek moyang dulu, jadi kalau tidak dikasih ingkung itu aneh, kata simbah juga ingkung itu menjadi simbol dari manusia yang meninggal akan tetap utuh rohnya seperti ingkung yang bentuknya tetap utuh tidak terpotong-potong).

 

Gambar

 

Lokasi

map

Narasumber

  • Bapak Harno, 46 tahun, pelaku budaya, Dusun Majaksingi, Desa Majaksingi
  • Bu Widiyati, 45 tahun, pelaku budaya, Desa Majaksingi

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...