(Narasi oleh Mustofa dan Zam Zamil Huda)
Narasi
Topeng ireng atau lebih dikenal dengan nama Ndayaan merupakan salah satu kelompok kesenian di desa Giripurno yang bermarkas di dusun Gayam. Untuk mengetahui seluk beluk kesenian ini, saya mengunjungi kediaman Bapak Pariman yang beralamatkan di dusun Gayam RT 003 RW 001. Beliau merupakan tokoh kesenian topeng ireng yang juga menjadi pawang kesenian tersebut.
Kelompok kesenian itu sekarang bernama “Cahaya Rimba”, akan tetapi sesuai dengan penjelasan Bapak Pariman, dulunya kelompok kesenian tersebut bernama “Cipto Budoyo”. Awal berdiri kelompok kesenian ini pada tahun 1972. Sedangkan asal kesenian tersebut dari desa Tuksongo Kecamatan Borobudur. Orang yang dulu melatih adalah Mbah Mat Rejo, Mbah Sujak, dan Mbah Kemadi.
Menurut Bapak Pariman, pada awalnya kelompok kesenian tersebut seperti mati suri. Lalu kemudian kelompok pemuda yang menginginkan kemajuan kelompok kesenian tersebut memodifikasi dengan model yang lebih modern dan mengkombinasikan dengan seni musik campursari. Bapak Pariman kemudian menambahkan, jika modifikasi tersebut tanpa meninggalkan tarian pokok yang diajarkan oleh para pelatihnya terdahulu dari Tuksongo. Perubahan tarian tersebut juga diikuti dengan perubahan dalam penggunaan alat musik. Mereka kemudian menambah alat musik modern seperti Organ dan Guitar bass. Setelah perubahan tarian dan alat musik tersebut lantas mereka malakukan reorganisasi dengan pengurus yang sebagian besar merupakan anak muda. Reorganisasi tersebut terjadi pada tahun 2014 dan juga merubah namanya dari Cipto Budoyo menjadi Cahaya Rimba.
Bapak Pariman kemudian membeberkan jika dalam kesenian topeng ireng tersebut, meski telah banyak melakukan perubahan akan tetapi masih tetap melakukan berbagai ritual atau ketentuan yang diajarkan gurunya atau pelatih yang pertama mengajari kesenian tersebut. Beberapa topeng hewan, atau dikenal dengan nama ndas-ndasan atau kewan-kewanan masih menggunakan suwuk dari orang terdahulu. Begitu pula dengan beberapa alat musik yang tidak diganti karena telah ada suwuk yang tidak dapat dirubah sekaligus. Suwuk untuk ndas-ndasan tersebut dimaksudkan agar saat kerasukan dapat berjoget persis seperti binatang tersebut. Akan tetapi suwukan tersebut tidak akan manjur jika penggunannya menggunakan minuman keras atau obat-obatan.
Diantara semua ndas-ndasan yang ada, topeng harimau merupakan topeng yang paling kuat. Pemakai topeng ini nantinya akan menyembuhkan pemain lain yang kerasukan. Bahkan, untuk menyembuhkan pemain yang kerasukan, pawang dan tim lain hanya akan mengarahkan pemain yang kerasukan tersebut kepada pemakai topeng harimau yang konon disuwuk oleh gurunya terdahulu. Namun, jika harimau tersebut tidak bisa menyembuhkan, maka penari hanya akan sembuh jika masuk kedalam Bedug bulat. Konon bedug tersebut juga merupakan alat musik yang dibuat sekitar tahun 1980. Penari yang penyembuhannya dengan menggunakan bedug bulat ini, khususnya untuk para penari yang masih menggunakan tarian kerasukan atau suwukan tari klasik terdahulu. Penari dengan model kesurupan tarian klasik ini penyembuhanya selain menggunakan bedug juga harus ditambah dengan teh pahit dan kemenyan.
Selain bedug, alat musik yang khusus dalam kesenian topeng ireng Cahaya Rimba adalah bende. Konon ketiga bende tersebut juga telah mendapatkan suwuk dari para pendahulunya. Bende tersebut jika rusak tidak boleh diganti sekaligus, akan tetapi harus diganti satu demi satu. Kemudian salah satu ciri khas yang tidak terdapat pada kelompok topeng ireng lain adalah, saat bermain alat musik yang dimainkan tidak boleh berhenti. Jika harus berhenti maka vokal yang bernyanyi harus tetap berhenti. Karena jika sampai semuanya berhenti, para penari yang telah kesurupan akan menyerang para pemusik.
Bapak Pariman kemudian menambahkan jika beberapa ritual lain juga wajib dilakukan. Yang pertama adalah pada setiap tanggal 10 bulan Suro yang juga harus njamasi semua ndas-ndasan yang disuwuk. Dan untuk gamelan atau alat musik, dilakukan perawatan dengan menggunakan rendaman kembang telon yang kemudian disemprotkan atau dicipratkan keseluruh gamelan yang ada. Ritual yang selanjutnya adalah saat akan pentas ada ritual tertentu dengan menggunakan kembang dan kemenyan dan sebelum pentas ada yang melakukan ziarah ke makam gurunya yang dulu mengajarinya. Kelompok kesenian Cahaya Rimba ini juga memiliki pantangan hari untuk pentas, yakni pada hari Selasa Kliwon dan Jum’at Kliwon. Saat ini, setiap 35 hari sekali semua anggota kelompok akan berkumpul untuk mengirim doa kepada arwah para guru, pendiri, dan cikal bakal. Pertemuan tersebut dilaksanakan setiap malam Jumat Kliwon.
Gambar
Narasumber
- Pariman, 41 tahun, Dusun Gayam RT 02/RW 01, Desa Giripurno