(Narasi oleh Taufik Wahyono dan Abdul Majid)

Narasi

Mapati

Mapati merupakan upacara yang diselenggarakan pada saat bulan keempat masa kehamilan seorang istri. Mapati dilakukan dilakukan pada saat usia kandungan memasuki usia empat bulan di mana si jabang bayi sudah ditiupkan rohnya, dan saat itu ditentukan bagaimana kehidupan selanjutnya di dunia dan di akhirat.

Prosesi mapati mengadakan slametan pada malam hari, biasanya dilaksanakan sehabis isya. Di dalam prosesi slametan itu membaca empat surat yakni : Q.s. Yusuf, Q.s Al kahfi, Q.s Tanaroq, Q.s Annur. Slametan biasanya mengundang para saudara dan para tetangga untuk mendoakan  ibu dan si jabang bayi agar nanti anak yang sedang dikandung lahir sebagai manusia yang utuh, sempurna, sehat, selamat serta dianugerahi rezeki yang baik, panjang umur dan juga beruntung dunia hingga akhiratnya.

 

Mitoni / tingkeban

Mitoni adalah upacara 7 bulan kehamilan sang ibu. Mitoni juga biasa disebut ‘’tingkepan’’, berasal dari bahasa jawa ‘sing dienti-enti wis methuk jangkep’ yang artinya yang ditunggu-tunggu sudah hampir sempurna, karena pada umur 7 bulan kehamilan sudah  hampir mendekati masa kelahiran. Mitoni dilaksanakan malam hari, dalam acara mitoni biasanya mengundang sanak saudara dan tetangga untuk slametan dan di bacakan surat 7 yaitu Q.s Ar-Rahman, Q.s Ad-Dukhon, Q.s Maryam, Q.s. Annur, Q.s Al Waqiah, Q.s  Al Kahfi, Q.s Yusuf pada akhir prosesi mitoni biasanya terdapat ritual pecah kuwali yang dilakukan oleh salah satu tamu yang hadir prosesi ini memiliki makna supaya nanti saat kelahiran si jabang bayi diberikan kelancaran seperti pecahnya kwali.

Lairan

Ketika seorang ibu hamil sudah melahirkan kemudian diadakan bancakan masyarakat biasa menyebut brokohan yaitu ucapan rasa syukur terhadap Tuhan yang ditandai dengan bancakan/slametan. Biasanya jika setelah lairan saudara dan para tetangga datang kerumah ibu yang baru melahirkan untuk menjenguk ibu dan bayinya, masyarakat biasa menyebut dengan kata ‘ngendong’ pada malam hari dilanjutkan acara “lek-lekan”, yaitu acara menunggu ibu dan bayi selama lima hari berturut-turut. Orang-orang yang terlibat biasanya adalah para tetangga terdekat dan saudara serta para pemuda dusun. Pada masa setelah melahirkan, peran saudara  dan tetangga yang ikut menunggu sebenarnya adalah memberikan dukungan sosial terhadap ibu yang baru saja melahirkan. Biasanya seorang ibu yang baru melahirkan akan kesulitan tidur sehingga perlu ditemani. Dalam lek-lekan biasanya mereka akan mengobrol sepanjang malam  hingga biasanya berakhir pada pukul 2 atau 3 pagi.

 

Kekerik

Kekerik adalah prosesi slametan/bancakan. Dalam bancakan ini prosesinya tergantung jenis kelamin si bayi, jika laki-laki maka kekerik dilaksanakan pada hari hitungan ganjil setelah kelahiran, dan jika bayi tersebut perempuan maka kekerik dilaksanakan pada hari hitungan genap. Kekerik ditandai dengan potong rambut serta puputan atau terlepasnya ari-ari dari pusar bayi. Acara ini biasanya sekaligus memberikan nama kepada si bayi, dilaksanakan pada malam hari di rumah orangtuanya dengan mengundang sanak saudara dan tetangga dekat.

Pada prosesi potong rambut, bayi digendong berkeliling di depan tamu undangan yang dibarengi membacakan sholawat nabi kemudian berhenti di salah satu sesepuh/kyai yang memimpin sholawatan supaya beliau memotong rambut si bayi tersebut. Tujuan dari acara ini untuk mendoakan bayi agar senantiasa diberikan kesehatan jasmani, rohani serta menjadi anak yang berguna bagi nusa dan bangsa.

 

Tedak Siten

Tedak Siten atau Tedak Siti adalah salah merupakan tradisi yang dilakukan masyarakat jawa yang diselenggarakan pada saat anak pertama kali belajar menginjakkan kaki ke tanah. Tedak siten memiliki 2 arti yakni ‘tedak’ yang berarti turun ‘siten’ yang berarti tanah. Tedak siten biasanya dilaksanakan ketika seorang anak lelaki atau perempuan berusia 7 lapan karena dalam hitungan jawa 1 lapan sama dengan 35 hari, jadi umur anak pada saat mengadakan tedak siten berusia 245 hari. Pada usia ini, perkembangan anak sudah berada pada tahap berdiri.

Sebelum melakukan ritual ini, orang tua balita terlebih dahulu menyiapkan perlengkapan tedak siten diantaranya jadah warna putih, sesaji slametan yang terdiri dari nasi tumpeng bubur merah dan bubur putih, jajanan pasar, pala pendem atau umbi-umbian, beras kuning dan beberapa lembar uang, kurungan ayam, yang dihias janur kuning, padi, kapas, sekar telon yaitu tiga macam bunga berupa mawar, melati dan kenanga, barang bermanfaat seperti alat tulis, buku, dan barang lainnya sesui jenis kelaim si anak.

Among-among

Amaog-among merupakan tradisi yang dilakukan masyarakat jawa pada umumnya. Di daerah saya tinggal tradisi among-among masih dijalankan oleh ibu yang baru saja memilki balita. Among-among sejatinya merupakan wujud syukur orang tua balita karena anaknya diberikan kesehatan. Dalam penanggalan jawa, dikenal lima hari pasaran yakni pon, wage, kliwon, legi, dan pahing. Lima hari pasaran ini jika dikalikan tujuh hari dalam seminggu, maka hasilnya adalah 35 hari. Artinya among-among akan diselenggarakan setiap 35 hari sekali atau yang biasaya masyarakat kenal dengan istilah ‘selapan dino’. Meski demikian, ketentuan  ini bukanlah patokan yang pasti, dan itu artinya among-among tidak mesti diselenggarakan setiap 35 hari sekali, semua itu tergantung hajat dan kemampuan.

Sajian among-among biasanya terdiri dari nasi, klubanan, telur ayam kampung, tempe goreng. Sajian tersebut diletakkan dalam eblek atau nampan dari anyaman bambu. Biasaya among-among diselenggarakan pada pagi menjelang siang hari, ibu balita biasanya mengundang anak-anak tetangga terdekat untuk menyantap among-among barsama-bersama atau kembul bujono. Di bawah sajian among-among yang tertutup daun pisang ditaruh wajib uang kertas atau koin yang nantinya diperbutkan anak-anak.

 

Supitan atau Sunatan

Supitan atau sunatan yang secara umum disebut khitan untuk anak laki-laki, yaitu pemotongan ujung kulit kemaluan. Supitan biasanya dilakukan ketika anak memasuki usia menjelang baligh yakni kisaran umur 10-14 tahun. Ada juga yang melakukan khitan dihari ketujuh, biasanya anak yang sudah khitan diadakan bancakan atau slametan karena sudah mulai sembuh pasca sunat.

 

Mantu

Mantu merupakan suatu prosesi pernikahan yang diadakan masyarakat dari pihak orang tua  mempelai wanita. Sedangkan Ngunduh Mantu adalah pesta pernikahan yang diselenggarakan oleh orang tua wali mempelai pria biasanya, acara ngunduh mantu lebih sederhana dibanding acara mantu. Pada setiap acara pesta pernikahan yang diselenggarakan terdapat salah satu uborampe khusus yaitu “ngunggahke beras”  sebagai sarana memohon kepada Allah supaya yang memiliki hajatan diberikan keselamatan dari hal-hal yang tidak kasat mata. Komposisi dari munggah beras adalah tumbu/tenggok, lawe, telur ayam kampung, godong pulutan, godong kluweh, batok bolu.

 

Geblak atau Kepaten

 Geblak atau kepaten merupakan hari meninggalnya seseorang. Dalam hal ini orang meninggal akan diperingati pada hari-hari tertentu. Pada hari peringatan tersebut akan dilaksanakan gendurenan/bancakan  untuk mendoakan orang yang meninggal dengan disertai doa keselamatan untuk yang meninggal dengan mengundang saudara dan para tetangga lingkungan sekitar.

Hari peringatan bagi orang yang meninggal yakni 7 kali yaitu Nelung dinan atau memperingati 3 hari, mitung dinan  atau memperingati 7 hari, matang puluh atau memperingati 40 hari, nyatus atau memperingati 100 hari, pendak pisan  atau memperingati 1 tahun, pendak pindo  atau memperingati 2 tahun, nyewu atau memperingati 1000 hari.

 

Gambar

Narasumber

  • Pak Ahmad (44 tahun), Dusun Kalitengah RT 07/RW 02, Desa Giritengah.
  • Mbah Tarwiyah (63 tahun), Dusun Kalitengah RT 06/ RW 02, Desa Giritengah
  • Ibu Rokimah (40 tahun), Dusun Kalitengah RT 05/ RW 02, Desa Giritengah
  • Mbah Mustonginah (63 tahun), Dusun Kalitengah RT 07/ RW 02, Desa Giritengah
  • Mbah Supinah (56 tahun), Dusun Kalitengah RT 06/RW 02, Desa Giritengah
  • Mbah Wasingah (64 tahun), Dusun Kalitengah RT 07/ RW 02, Desa Giritengah
  • Mbah Tusiman (64 tahun), Dusun Kalitengah RT 06/ RW 02, Desa Giritengah
  • Mbah Jamal (64 tahun), Dusun Kalitengah RT 07/ RW 02, Desa Giritengah.
  • Mbah Salbiyah (55 tahun), Dusun Kalitengah RT 05/ RW 02, Desa Giritengah

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...