(Narasi oleh Salma Salsabila R. dan M. Shodek)

Narasi

Harapan dan doa

Menurut Bapak Harno dan Ibu Siti, malam tahun baru Islam biasanya disebut dengan malam satu sura. Masyarakat Jawa sering menyebutkan bahwa pada malam ini dianggap sebagai malam yang sakral. Hal tersebut dikarenakan dengan pergantian tahun masyarakat akan berharap dan berdoa bersama, agar segala perbuatan, perilaku, rejeki, jodoh, dan keadaan akan menjadi lebih baik dari tahun sebelumnya. Menurut Bu Siti, Bu Wiwik, dan Bu Fitri selain masyarakat mengadakan doa bersama pada malam satu sura, ada beberapa masyarakat yang meyakini bahwa pada malam tersebut terdapat beberapa pantangan atau larangan yang harus dihindari agar kita semua tidak terkena musibah. Pantangan atau larangan yang harus kita hindari diantaranya yaitu mengadakan pernikahan, berpindah rumah, dan sering keluar rumah.

Pantangan pernikahan

Pada saat memasuki bulan sura biasanya orang tua atau sesepuh di desa akan memberitahu atau melarang anak cucunya untuk melangsungkan pernikahan. Bulan sura sebagai bulan awal tahun yang dianggap sakral bagi masyarakat Jawa, maka menjadi momen untuk mendekatkan diri dengan Tuhan melalui berbagai tradisi ucap syukur dan bermawas diri atas hidup yang sudah diberikan. Hal tersebut yang menyebabkan pernikahan menjadi dilarang, karena seakan menjadi ajang pesta yang bersenang-senang. Bahkan dipercaya dengan mengadakannya pernikahan akan menyebabkan pasangan tersebut akan mengalami musibah.

Mengurangi keluar

Menurut kepercayaan masyarakat Jawa ketika akan berpindah rumah harus memilih hari yang baik, karena tidak semua hari merupakan hari yang baik, terkadang ada hari buruknya. Hal tersebut terkait anggapan jika saat berpindah rumah itu maka kita berpindah segalanya baik dari aspek lingkungan masyarakat maupun lingkungan keadaan alamnya. Sehingga dengan memilih hari baik maka saat berpindah rumah dapat merasakan kenyamanan, disukai oleh masyarakat baru dan dapat beradaptasi dengan lingkungannya dengan baik. Misalnya akan berpindah rumah, sedangkan pemilik rumah lahir pada hari rabu kliwon, maka disarankan tidak berpindah rumah pada rabu kliwon dan jumat pahing. Jadi, menurut perhitungan kalender Jawa tidak baik berpindah pada hari-hari tersebut. Masyarakat Jawa juga meyakini pada saat malam sura dilarang untuk sering keluar rumah karena dengan kita sering keluar rumah itu tidak baik karena akan mendatangkan musibah yang ada dalam hidup. Maka dari itu sebagai masyarakat Jawa dianjurkan untuk berdiam di rumah dan berdoa agar mendapatkan perlindungan dari Tuhan Yang Maha Esa.

Kegiatan sura

Menurut Bapak Takim selaku takmir masjid di Desa Majaksingi setiap malam sura biasanya akan mengadakan acara, mulai dari acara pengajian, doa bersama, mujadahan, sampai ritual sakral seperti membuat sesajen, mencuci keris atau benda pusaka, berendam di kolam dari mata air langsung atau mandi di sendang pada tengah malam. Masyarakat Desa Majaksingi meyakini dengan mengadakan acara tersebut maka kita dapat selamat, terhindar dari berbagai penyakit, dan mendatangkan rejeki serta jodoh. Masyarakat sendiri saat melaksanakan ritual tersebut biasanya meminta satu permintaan khusus, dimana permintaan tersebut diharapkan dapat dikabulkan dan didatangkan dalam waktu yang singkat

Memadamkan lampu

Pada zaman dulu orang-orang pada malam satu sura akan serentak mematikan atau memadamkan listrik yang ada di rumah mereka, dan penerangan yang digunakan pada saat itu diganti dengan oncor atau lilin dari minyak tanah. Hal ini karena sura dianggap identik dengan kata sepi atau sunyi, maka dengan dimatikan listrik akan membuat suasana menjadi sepi, sehingga masyarakat akan menjadi lebih fokus untuk berdoa.

Malam sura

Tradisi perayaan malam sura sudah ada sejak zaman dahulu dan sudah menjadi adat atau kearifan lokal di Desa Majaksingi. Dahulu perayaan dilakukan dengan mengadakan pengajian di masjid, lalu menyantuni anak yatim atau piatu yang belum dewasa, acara pembuatan bubur sura, dan acara makan bersama.  Selain itu ada juga orang yang melakukan tradisi sura dengan mengadakan acara membaca Al-Quran sampai selesai 30 juz dan membaca tahlil. Pada akhir acara kemudian dilanjutkan dengan makan bersama berkat atau nasi ceting berisi sayuran dan lauknya. Namun rupanya tradisi tersebut mulai luntur di Desa Majaksingi. Mbah Tirto, selaku seseorang yang masih menjalankan tradisi tersebut masih berharap agar tradisi tersebut tidak hilang setelah beliu tidak ada nantinya. Sehungga beliau melakukan selalu memberikan contoh kepada anak cucunya agar nantinya tradisi seperti ini dapat terus ada dan tetap lestari.

 

Gambar

Narasumber

  • Bapak Harno, pelaku budaya, Desa Majaksingi
  • Ibu Siti, pelaku budaya, Desa Majaksingi
  • Bu Wiwik, pelaku budaya, Desa Majaksingi
  • Bu Fitri, pelaku budaya, Desa Majaksingi
  • Mbah Tirto, sesepuh desa, pelaku budaya, Desa Majaksingi

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...