(Narasi oleh Ahmad Saeful M dan Zulfikar Maulana M)
Narasi
Siang itu saya mampir ke Masjid Dusun Sumberjo, Desa Bigaran, Kecamatan Borobudur menjalankan sholat Dzuhur setelah bermain di tempat saudara, Di masjid saya bertemu dengan Pak Ndori (56) , saya bercengkrama sebentar bertanya tentang mbelik/sumber mata air yang ada di dusun tersebut yang katanya mistis dan banyak sejarah. Pak Ndori langsung menjelaskan bahwa mata air tersebut adalah sumber kehidupan masyarakat dari jaman dahulu sebelum Eyang Suroduto datang. Eyang Suro Duto adalah cikal bakal masyarakat Dusun Sumberjo. Dusun tersebut dahulu bukanlah bernama Dusun Sumberjo melainkan Bigaran atau sering disebut Sabrang Lor, soalnya Bigaran ada dua tempat, Sebrang Kidul (selatan) dan Sebrang Lor (utara) kali kecil. Nama Bigaran diambil dari kata bigar (bergas) dan kyai Garan, kyai Garan adalah cikal bakal penghuni tempat tersebut.
Dikisahkan dulu kuda Pangeran Diponegoro yang berjalan seret atau lemas saat naik gunung menorah melalui Dusun Serut, saat sampai di Bigaran bertemu dengan Kyai Garan kuda tersebut di pecut dan akhirnya kuda pun kembali bigar atau bergas lagi untuk berjalan.
Namun pada tahun 2013 Dusun Bigaran (Sebrang Lor) mengganti nama Sumberjo karena adanya mata air sumber di tempat tersebut. Saya pun bertanya pada Pak Ndori “Kok iso pak De diganti jeneng ngono??“
“Ha kuwi ngene ceritane …”, jelas Pak Ndori
Ki Sambar Joyo
Sehubungan di tempat tersebut terdapat sumber mata air dan keinginan masyarakatnya makmur diambilah dari kata Sumber dan Rejo (makmur) di singkat SUMBERJO, namun Pak Ndori juga menerangkan nama dusun dari sisi lain yang berkaitan dengan penunggu “makhluk halus” di mata air yaitu Ki Simbar Joyo di ambil kata Jo-nya saja di sambungkan dari kata sumber tadi dan jo menjadi SUMBER JO.
Pak Ndori pun berlanjut enak menceritakan cerita-cerita mistis yang berhubungan dengan sumber mata air. Dahulu kala ada seseorang bernama Mbah Tadimejo berjalan melewati sumber mata air pada sore hari malam selasa kliwon, beliau digigit ular weling yang terkenal mematikan, yang mengakibatkan nyawanya tidak dapat diselamatkan. Pak Ndori pun menerangkan malam selasa kliwon menurut jawa merupakan malam yang sangar atau bisa dibilang sakral. Bahkan pada zaman dahulu jika terdapat seseorang yang meninggal pada malam selasa kliwon makam harus dijaga, karena jika tidak dijaga makam akan digali oleh seseorang yang akan mengambil kain kafan jenazah. Jika seseorang tersebut berhasil mengambil kain kafan tersebut akan menjadi kebal sakti mandraguna.
Den Bagus Kuncung
Cerita lain di dusun tersebut juga terdapat larangan untuk anak kecil supaya tidak memotong rambutnya model kuncung, dikarenakan dulu sering terjadi jika ada anak kecil model rambut kuncung mandi di mata air tersebut pasti akan sakit kemudian meninggal, hal itu pun masih berlaku hingga sekarang. Hal tersebut dikarenakan ada sosok makhluk halus lain yang bernama Den Bagus Kuncung, makhluk tersebut tidak mau tersaingi dengan kehadiran seseorang berambut kuncung.
Kondisi Dulu & Sekarang
Perbedaan kondisi mata air dulu dan sekarang. Dahulu mungkin dari tahun 1800-2000an mata air tersebut sangat dibutuhkan atau dimanfaatkan oleh masyarakat, bentuknya pun terdapat dua sisi berdampingan berdiameter kurang lebih Panjang 3 meter, Lebar 1 meter kedalaman 2 meter, yang sekarang kedalamannya pun hanya 30 cm.
Tuk Sumberejo ini dulu sangat cukup untuk dikonsumsi sebagai air minum, mandi dan lain sebagainya. Untuk minum masyarakat dulu mengambil dengan klenting, binteng atau drigen bawa pulang naik ke rumah, untuk mandi bergiliran di tempat tersebut namun juga ada yang dikali, kali berada di bawah sumber mata air. Namun di tahun 2012 karena perkembangan zaman manusia pun mencari cara agar tidak susah dalam memanfaatkan air agar sampai ke rumah tidak harus turun mengambil air ke sumber secara manual. Turun lah bantuan dari pemerintah dibangunlah tampungan bak di bawah mata air , air pun mungkin pindah ke bak tersebut yang kalau didorong ke bak penampung atas yang kemudian menuju ke rumah-rumah masyarakat untuk hidup sehat. Namun setelah di bangun kepedulian masyarakat terhadap mata air tersebut kurang. Dari aspek kebersihan lingkungan sumber mata air, soalnya dulu setiap akan menjelang hari besar sperti Idul Fitri sumber mata air tersebut selalu dibersihkan secara gotong royong , bahkan saat proses pembersihan tersebut waktu air surut pasti banyak ikan, seperti ikan lele kotes wader dan lain sebagainya di dalam sumber mata air tersebut, di tangkaplah oleh orang yang bergotoroyong cukup untuk dijadikan lauk pauk makan.
Jalur mata air Borobudur
Ada juga penjelasan menarik dari salah satu narasumber warga setempat yaitu Bapak Musyafak (37), beliau menerangkan bahwa jalur pembuluh darah manusia itu sama dengan jalur air di dalam bumi, jadi jika ada kendala dalam jalur tersebut ya harus di benarkan. Menurut beliau jalur mata air di desa Bigaran tersebut jika ditelisik bersambung dengan mata air lain di Kecamatan Borobudur yang berawal dari Tuk Songo, Sambeng, Bigaran yang terletak di Dusun Sumberjo dan Wonojoyo ( Tuk Gayam ). Begitulah cerita dari mata air Sumberjo
Gambar
Lokasi
Mappress-id
Narasumber
- Mbah Ndori, 56 tahun, sesepuh Desa ; “Mata air Tuk Sumber ada hubungannya dengan cikal bakal sejarah dusun Sumberejo desa Bigaran dan sejarah Pangeran Diponegoro.”
- Bapak Musyafak, 37 tahun, pelestari alam ; “Jalur pembuluh darah manusia itu sama dengan jalur air di dalam bumi, jadi jika ada kendala dalam jalur tersebut ya harus dibenarkan. Jika ditelisik Mata air di desa Bigaran bersambung dengan mata air yang berawal dari Tuk Songo, Sambeng sampai dengan Tuk Sumber (dusun sumberejo Bigaran) dan Tuk Gayam (dusun Wonojoyo Bigaran).
Relasi Budaya
- Budaya spiritual ; tempat sakral, padusan, merti belik, merti sumber, suronan
- Hubungan dengan sumber mata air di; Tuksongo, Sambeng, Tuk Gayam,