(Narasi oleh Beni Purwandaru dan Tatak Sariawan)

Narasi

Waktu itu penjelajahan kami sampai di kediaman Mbah Nanto, pria paruh baya yang orang Jawa bilang sudah banyak “mangan uyah” bisa diartikan dengan sudah banyak pengalaman hidup. Dengan kulit yg sudah mulai sedikit keriput itu menandakan bahwa beliau memang sudah tidak muda lagi. “Kula nuwun mbah!” Sambil mengetuk pintu. “Monggo pinarak!” kata pria berkemeja batik berpeci hitam ini menunjukkan keramahan warga Dusun Butuh, Candirejo Borobudur yang memang sudah menjadi sifat dan kesantunan mereka saat menemui tamu. Kami pun duduk di kursi teras depan rumah kediaman beliau. Setelah itu pak Tatak mulai mengutarakan maksud dan tujuan kami untuk mengorek sejarah tentang “Watu Kendil”.

 

Cerita Muasal Watu Kendil

Dengan semilirnya udara pegunungan menoreh yang lumayan dingin, kunyalakan sebatang rokok sebagai penambah relaksasi lalu kuambil sebuah handphone untuk merekam perbincangan mereka.

“Nang kene ana Watu Kendil, njur sisihe ana uga Watu Dandang, Watu Tumpeng, lan Watu Kukusan. Nalikane semana kene ana tuk utawa sumber, terus merga sumber mau dinggo mogok jaran lan kepidak-pidak jaran mau, nyebabake sumber mau dadi gede. Terus kuatir sumber mau dadi gede, mula ditembel nganggo jadah banjur sumber mau bisa mampet. Lan alat-alat dapur mau ya kendil, dandang kanggo adang, kukusan kanggo ngukus, lan tumpeng ya sega kang wujud tumpeng. Mula nganti seprene papan iki diarani Watu Kendil lan sapanunggalane”.(Di sini ada Batu Kendil, di sebelahnya ada Batu Dandang, Batu Tumpeng dan Batu Kukusan. Dijaman itu ada mata air, terus karena dilewati dan diinjak-injak kuda makin lama mata air tadi membesar. Khawatirnnya menyebabkan banjir di bawahnya. Lalu disumbatlah dengan jadah agar bisa mampet. Jadilah itu semua menjadi wujud alat-alat dapur dari gerabah tadi berupa kendil, dandang kukususan dan tumpeng. Makanya sampai sekarang disebut Watu Kendil dan lain-lainnya.

Jadi Mbah Nanto bercerita bahwa pada waktu itu di puncak perbukitan Menoreh ini ada sebuah sumber mata air, dan ada warga yang mengendarai kuda beristirahat di sini namun sumber mata air tersebut diinjak-injak kudanya dan lubang mata air tersebut semakin membesar.  Karena takut membesar dan akan membanjiri daerah di bawahnya maka sumber mata air tersebut ditambal dengan “jadah” (makanan  khas Jawa terbuat dari ketan). Walhasil sumber mata air itu bisa mampet. Dan alat yang digunakan pada masa itu adalah dandang yaitu bejana terbuat dari tembaga berbentuk panci, kemudian kendil merupakan bejana seperti kuali terbuat dari tanah liat, dan kukusan adalah alat untuk mengukus berbentuk kerucut terbuat dari bambu anyaman, yang kemudian tempat ini dinamakan “Watu Kendil” dan sampai saat ini masih popular di daerah ini.

Mitos Watu Kendil

“Watu Kendil” memang sangat unik. Sebuah batu berbentuk lonjong ini terbentuk dari batuan cadas atau orang sekitar sering menamakan “Wadas Gudhik” yang terletak di puncak perbukitan Menoreh dengan posisi di pinggiran tebing yang seolah-olah hampir menggelinding ke bawah, namun batu ini kokoh. Disamping  keunikan  tersebut  Watu Kendil juga  dipercayai mempunyai nilai-nilai supranatural. Menurut mbah Nanto di tempat itu ada mahluk astral penunggunya. Sampai-sampai di setiap malam tanggal sepuluh bulan Suro diadakan do’a bersama, kemudian semenjak tahun 2003 ritual tersebut dirangkai dengan dilanjutkan sholawatan Jawa hingga menjelang subuh.

“saben malem sepuluh Suro nang papan iki digawe tirakatan karo sholawatan Jowo. Lha wingi kui malah nganti jam setengah telu”, tutur mbah Nanto.

Beliau menceritakan bahwa kemarin diadakan sholawatan Jawa di sana hingga jam setengah tiga pagi.  Kata beliau kenapa dinamakan sholawatan Jawa, karena sholawat ini merupakan bacaan sholawat Nabi namun dengan kharoat lidah orang Jawa pada umumnya.

“dadi sholawat Jowo kui sholawat kanggo kanjeng Nabi Muhammad nanging pancen pengucapane nganggo ucapane wong Jowo, sing kadang sok guang amek. Kadang dikurangi, kadang uga ditambahi. Dadi aja didelok seka ucapane, nanging delok saka niate sing becik. Mbiyen aku tau diwelingi karo bapak; “To! mbesok yen aku wis raono aja dilalekake sholawat iki merga iki perkara kang becik!”. Dadi ngene, perkara pangucapane ora fasih boso Arab nanging sholawat iki seni, yen pingin ngaji ya nang Masjid utawa pesantren”.

Kalau dijabarkan, sholawat Jawa memang bacaan sholawat untuk Nabi Muhammad namun kharoatnya menggunakan lidah orang Jawa yang kadang dikurangi dan kadang ditambahi, dan Mbah Nanto menuturkan bahwa beliau pernah dipesan sama ayahnya agar jangan pernah meninggalkan kegiatan sholawat Jawa itu, meski pengucapan-pengucapannya tidak sefasih Bahasa Arab, dan kata-katanya sering dikurangi dan ditambahi tidak apa-apa, karena ini adalah seni bukan ngaji, kalau mau ngaji ya di masjid atau pesantren. Mendengar penuturan mbah Nanto tersebut jadi ingat pada sholawat Jawa di dusunku juga. Iya memang benar aku sendiri juga sering mendengar lantunan sholawat Jawa yang memang dibaca medok seperti bahasa Jawa.

Ilmu Titen

Do’a bersama yang dilakukan di Watu Kendil bertujuan meminta kepada Tuhan Yang Maha Esa agar dusun mereka diberikan keselamatan, keberkahan dalam bercocok tanam, terhindar dari mara bahaya, atau agar menjadi dusun yang ayom, ayem, tenteram, gemah ripah lohjinawi, tata titi tentrem kerta raharja. Lalu di samping ritual bacaan do’a, perlu diketahui bahwa di Watu Kendil juga kadang sering terdengar suara burung puyuh yang manggung atau berbunyi pada malam hari yang dipercaya oleh sebagian warga sebagai pertanda akan terjadinya suatu hal kurang baik pada warga setempat. Kata mbah Nanto jika suara burung tersebut terdengar disaat warga dalam keadaan baik-baik saja maka itu pertanda akan terjadinya atau datangnya wabah penyakit, namun jika suara burung puyuh terdengar disaat ada penduduk atau salah satu warga yang lagi sakit, maka dipercayai akan ada orang yang meninggal dalam waktu dekat-dekat itu. Jadi memang kebanyakan orang Jawa pada jaman dulu sering menggunakan pertanda-pertanda alam untuk mendeteksi kejadian-kejadian alam yang akan terjadi yang sering disebut “ilmu titen”. Sebagai misa contoh lagi, jika ada ayam jago yang berkokok di sore hari itu menandakan di dusun itu ada “prawan meteng” atau gadis hamil. Akan tetapi itu semua kembali kepada kepercayaan kita masing-masing. Dan berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka sampai saat ini masih diadakannya ritual do’a bersama dan sholawatan di Watu Kendil yang memang unik itu.

Pusarnya bumi

Kalau dalam versi cerita rakyat yang secara tutur tinular, Watu Kendil merupakan tutup “pusering bumi” yang mana puser bumi itu berupa sumber mata air besar dan ditutup dengan sebuah batu besar agar air tidak kemana-mana. Dan konon diceritakan andai Watu kendil sampai menggelinding ke bawah, maka dusun di bawahnya akan menjadi lautan. Cerita itu tidak tahu sumbernya dari mana dan semenjak aku kecil cerita tersebut sering menjadi sebuah dongengan malam disaat kami bercengkrama bersama teman-teman menjelang tidur di serambi masjid bersama mereka. Berdasarkan cerita ini serasa tidak masuk akal, dan itu hanya merupakan dongengan anak belaka. Namun jika kita gali lagi , hal tersebut bisa saja terjadi. Coba kita belajar memahami  cerita di atas, yang inti ceritanya dusun di bawah Watu Kendil akan menjadi lautan jika  menggelundung ke bawah.  Sedangkan batu itu  meskipun kelihatan hampir menggelundung karena  posisi di pinggir tebing, namun batu itu tetap kokoh, dan hanya kekuatan maha dahsyat sajalah  rasanya yang bisa menggeser ataupun menggerakkan batu tersebut. Dalam hal ini kekuatan itu selain alat berat, atau kekuatan teknologi, ada yang  sangat mengerikan lagi yakni kekuatan gempa bumi ciptaan Tuhan Yang Maha Dahsyat yang akan bisa menggelindingkan batu atau Watu Kendil itu. Dan semisal gempa, maka gempa tersebut juga pasti kekuatannya juga besar, yang artinya jika kekuatan gempa yang besar maka akan sangat berpotensi terjadinya Tsunami yang mungkin akan menjangkau di dusun yang berada di bawah Watu Kendil. Fenomena seperti itulah yang diceritakan dalam cerita rakyat dengan istilah dusun di bawah Watu Kendil menjadi lautan. Mungkin ini hanya sebagai otak atik gathuk saja, dan mudah-mudahan hal-hal seperti di atas tidak akan pernah terjadi selagi kita yang diciptakan sebagai makhluk Tuhan ini masih bisa melaksanakan tugas kita sebagai titah agar tetap bisa menjaga keseimbangan alam seisinya.

Itulah sedikit oleh-oleh kami dalam jelajah Desa Candirejo. Tuhan menciptakan alam seisinya itu untuk bisa diambil manfaatnya bagi manusia, maka jadilah bagian dari golongan orang-orang yang bermanfaat agar hidup ini akan lebih bermakna.

 

Gambar

Lokasi

-7.6353212,110.2147341

Narasumber

  • Mbah Nanto, sesepuh desa, dusun Butuh desa Candirejo

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...