(Narasi oleh: Andy Anssah dan Vinanda Febriani)
Narasi
Cikal bakal atau sejarah berdirinya sebuah daerah tentu berbeda-beda. Ada keunikan tersendiri pada setiap cerita, yang kemudian menjadi khazanah sejarah bangsa Indonesia dengan keanekaragamannya. Salah satu bagian dari khazanah keanekaragaman tersebut ada pada dusun Sendakan atau secara administrasi tercatat sebagai dusun Sendaren 2 desa Karangrejo.
Tim kami berkesempatan untuk bertemu dengan sosok yang dituakan oleh warga dusun Sendaren 2, yakni Mbah Wiryo Indarto alias Wasitri. Umurnya tak lagi muda, namun juga tak terlalu tua. Pawakannya tinggi, kurus, giginya tak lagi utuh, namun ingatannya tentang kisah-kisah yang dituturkan secara turun-temurun kepadanya masih tersimpan jelas dalam memori otaknya. Luar biasa.
Mbah Wiryo Indarto alias Wasitri saat menjelaskan kepada kami tentang berbagai hal menyangkut dusun Sendaren 2. Pria yang berusia 59 tahun ini menceritakan bahwa pada ratusan tahun lalu, tatkala terjadi perang Gerilya yang dipanditani (dipimpin) oleh Kanjeng Pangeran Diponegoro, beliau (Pangeran Diponegoro) tindhak (pergi) dari Yogyakarta hendak ke sarasehan di Padepokan Bogelan, yang berada di Desa Kembanglimus Kecamatan Borobudur. Kedatangan beliau ke Padepokan Bogelan tak lain ialah untuk bertemu dengan Pepunden di sana, yakni Mbah Kiai Cipto Rogo dan Mbah Kiai Minto Rogo. Sarasehan tersebut hendak membahas tentang rencana penyerangan ke markas sekutu Belanda yang berada di Salaman.
Sesampainya Kanjeng Pangeran di Desa Karangrejo, beliau bertemu dengan pasukan tentara Belanda. Di desa inilah kemudian terjadi peperangan besar antara Pangeran Diponegoro dengan Pasukan Belanda. Di desa ini pula, ada mitra atau rekanan Pangeran Diponegoro yakni Kiai Sondoko dan pendhereknya (pengikutnya), yakni Kiai Tamim yang tak lain ialah Eyang dari Mbah Indarto. Pasukan Pangeran Diponegoro berhasil memenangkan peperangan tersebut. Seusai perang berakhir, pasukan beristirahat sejenak di sebuah tempat tak jauh dari bukit tempat peperangan berlangsung. Seketika itu, Pangeran Diponegoro mengeluarkan Sabda Dhalem:
“Ingsun sak prajuritku ana ing kene kapethuk barisane Walondo (Belanda). Alhamdulillah ana ing kene duweni kemenangan. Mbesuk ana rejaning jaman, gunung iki tak jenengi Gunung Barede, njur desa iki mbesuk ana ing rejaning jaman tak jenengi desa Senda’an”
Artinya: “Saya beserta prajuritku di sini bertemu barisan Belanda. Alhamdulillah di sini mendapati kemenangan. Besok suatu zaman, gunung ini saya beri nama Gunung Barede. Lalu desa ini besok suatu zaman, saya beri nama desa Senda’an”
Adapun nama Sendakan berasal dari istilah tindhakan, diberikan lantaran menjadi tempat peristirahatan Pangeran Diponegoro beserta prajuritnya selepas perang sebelum menuju ke Padepokan Bogelan. Sedang nama Barede sendiri berarti “Bubaring Perang Gedhe” (bubarnya perang besar). Dua nama tersebut diberikan langsung oleh Pangeran Diponegoro.
“Jadi yang memberi nama Senda’an dan (Bukit) Barede itu langsung oleh Pangeran Diponegoro,” jelas Mbah Indarto.
Gambar
Lokasi
map
Narasumber
- Mbah Wiryo Indarto / Wasitri, 59 tahun, Pemerhati budaya, Sesepuh desa Karangrejo