(Narasi oleh Nurul Amin H. dan Wasis)
Narasi
“Jarene Simbok… urip ki ora iso dewe, tetep butuh liyane”. (Kata Ibu.. hidup itu tidak bisa sendiri, tetap butuh yang lain).
Manusia tidak bisa hidup sendiri. Kita membutuhkan keberadaan orang lain bahkan untuk hal yang paling pribadi sekalipun: keberadaan kita. “…butuh dua orang berbeda jenis dan saling melengkapi agar terjadi kehamilan. Orang hamil butuh ngidam…”, begitu kia-kira secara harfiah Ibu Mujinah (50 tahun) menyampaikan pesan bahwa sejak dalam rahim ibu hingga dikuburkan dan kembali ke tanah, manusia selalu membutuhkan orang lain. Petuah yang sudah sering didengar, namun rasanya sulit disadari dan dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu, dalam masyarakat Jawa, ada ritual-ritual tertentu yang dilakukan dalam setiap tahap kehidupan yang dilalui manusia. Salah satunya sebagai bentuk rasa syukur dan pengingat bahwa sebagai manusia tidak boleh hidup mementingkan diri sendiri namun peduli dan berbagi dengan lingkungan sekitar. Ritual-ritual tersebut dilakukan mulai dari dalam tahap kandungan, tahap dilahirkan hingga usia kanak, tahap dewasa, dan tahap tutup usia.
Dalam Kandungan
Ngapati
Ritual-ritual yang dijalankan dalam tahap awal kehidupan manusia ini diperoleh dari penjelasan seorang Dukun Bayi dari Dusun Gombong, Desa kembanglimus, Ibu Mujinah. Ritual pertama yang dilakukan dalam siklus hidup manusia adalah peringatan 4 bulan yang disebut ngapati. Ngapati bisa dilakukan dalam dua cara, cara Jawa dan cara Islam. Keduanya memiliki tata cara dan uborampe atau kelengkapan masing-masing.
Secara Jawa, si ibu hamil dan bayi yang dikandungnya diselamati. Uborampe yang disediakan yaitu jenang merah putih, jenang baning, ambeng, golong-giling, lentho, krecek dan sego kluban dengan bumbu pelas. Pelas adalah parutan kelapa yang masih muda dicampur dengan garam, penyedap rasa, dibungkus daun jeruk bali, lalu dikukus dalam conthong. Pelas yang sudah matang menjadi nikmat dan gurih, cocok dimakan dengan sayur kluban.
Ibu Mujinah kemudian menjelaskan makna dari setiap sajian dalam uborampe. Jenang merah disediakan sebagai lambang dari darah dan daging agar tumbuh, berkembang, menyatu, dan normal. Jenang putih yang melambangkan tulang dari kaki hingga kepala agar tumbuh berkembang secara normal. Jenang baning sebagai simbol doa agar ibu dan anak yang dikandung yang masih dalam kandungan selalu mengingat dan menyembah Tuhan yang menciptakan dunia dan seisinya. Adapun sego kluban disajikan sebagai simbol pengharapan agar si jabang bayi kelak tidak pilih-pilih makan karena sudah dimasakkan dan disuapi oleh ibu; agar apabila hawa dingin, makan tadi tetap hangat dan sebaliknya; agar ibu dan si bayi terus sehat dan selamat.
Apabila mengikuti cara Islam, si bayi dibacakan dua kalimat syahadat, selawat nabi, Surah Ar-Rohman, Surah Yusuf, Surah Maryam, serta doa hajat dan doa selamat. Yang membacakan adalah si calon ayah sambil mengelus perut istrinya yang sedang hamil. Setelah itu, perut sang ibu ditiup sebanyak tiga kali, dengan doa agar si calon bayi tersebut terus beribadah kepada Allah SWT., mengikuti perintah Nabi Muhammad SAW., dan selamat jiwanya, selamat tubuhnya, normal pertumbuhannya, berparas tampan (jika laki-laki), berparas cantik (jika perempuan) dan dikaruniai sifat belas kasih.
Ritual kemudian ditutup dengan doa Allaahummakhfazd waladi madama mafii bathnihi washfihi antasyafin laa syifa a ilasyifa uka anlayughodirusaqomaa, allahumma shouwirhu hasanatan wasabbitz qolbahu iimanabika birosulika, allahumma akhrijhu mimbathnihiwaqtawiladati sahlang wataslima, Allahummajngalhu shachichan kamilan wa ngakilan chadiqon ngaliman ngamila, allahumma touwil ngumrohu wa shohih jasadahu wachsin khuluqohu wafshoch lisaanahu. Dalam ritual ngapati tidak ada dawet, kolak waloh, tidak ada clorot, dan tidak joko nginthil.
Mitoni
Mitoni dilakukan pada saat kandungan berusia 7 bulan, dilakukan pada hari Sabtu Wage atau Minggu Legi. Pada dasarnya, ritual mitoni hampir sama dengan ngapati. Hanya saja, pada ritual mitoni, uborampe yang disediakan lebih lengkap: uncet, ambeng, golong-giling, bolo pendem, bolo gumantung, pisang rojo, jajan pasar, kembang setaman, dawet, dan kluwo (kolak). Uncet berisi pengharapan agar sang anak kelak tunduk, menerima, dan ikhlas dengan kehendak Tuhan. Ambeng berisi doa agar si anak patuh terhadap Kanjeng Nabi Muhammad SAW., dan Golong-Giling agar si anak berbakti kepada para Sahabat, Auliya, dan para Alim. Sebagaimana uborampe dalam ritual ngapati, pada ritual mitoni juga disajikan jenang merah putih, jenang baning, lentho, krecek dan sego kluban dengan bumbu pelas.
Doa-doa dan ritual yang dilakukan apabila mengikuti cara Islam juga tidak jauh berbeda dengan ritual ngapati. Si calon ayah membacakan dua kalimat syahadat, selawat nabi, Surah Ar-Rohman, Surah Yusuf, Surah Maryam, serta doa hajat dan doa selamat sembari mengelus perut si ibu yang sedang hamil, kemudian meniup perut sang ibu sebanyak tiga kali, berharap semoga sang anak kelak terus beribadah kepada Allah SWT., mengikuti perintah Nabi Muhammad SAW., dan selamat jiwanya, selamat tubuhnya, normal pertumbuhannya, berparas tampan (jika laki-laki), berparas cantik (jika perempuan) serta dikaruniai sifat belas kasih.
Kelahiran
Babaran
Saat proses lahiran, dukun bayi bertugas niliki atau niteni (memperhatikan dengan tanda-tanda) waktu lahiran, melihat kesiapan sang ibu untuk melahirkan (tingkat bukaan), dan mengatasi apabila bayi sungsang, dengan cara diurut. Apabila masih sulit untuk melahirkan, biasanya dimintakan air yang sudah didoakan kepada sesepuh atau orang pintar: Kiai atau paranormal.
Setelah dilahirkan, bayi kemudian dipisahkan dengan ari-arinya, lalu dimandikan untuk menghilangkan darah dan air ketuban, yang berarti menghilangkan bala atau sukerto. Sukerto adalah sesuatu yang dapat mengakibatkan hal-hal buruk. Perut bayi kemudian diberi tapel dan lulur yang terbuat dari kapur sirih dan jeruk nipis agar mengeluarkan sisa-sisa sel darah putih dari tubuh bayi. Setelah itu ditutup menggunakan gurita (semacam kain untuk membalut tubuh bayi dengan banyak pengikat) bayi, dan terakhir dibalut dengan bedong.
Selama proses melahirkan hingga pasca melahirkan, seorang dukun bayi memegang peran yang penting. Setelah membantu sang ibu melahirkan, Ngurut (mengurut/memijat) bayi, makpungi bayi, mupuki bayi, mbarut (membungkus bayi dengan selimut/bedong) bayi, adalah perawatan terhadap bayi yang dilakukan oleh dukun bayi. Semu aktivitas tersebut dilakukan dengan tata cara tertentu.
Mendhem Ari-Ari
Ari-ari yang telah puput (lepas) diletakkan di dalam kendil yang telah ditutup kemudian ditanam/dikubur di sisi rumah. Kendil berisi ari-ari tersebut dikubur di sebelah kanan apabila si bayinya laki-laki, dan sebelah kiri apabila bayinya perempuan. Sebelum memindahkan dan mengubur ari-ari tersebut, sang bapak harus berpakaian bersih dan memakai payung, serta membawa kendil berisi ari-ari tersebut dengan posisi seperti menggendong bayi. Jika si anak perempuan menggunakan (membawa) aksesoris perempuan seperti baju kebaya dan kain jarik, dan apabila laki-laki memakai (membawa) surjan dan aksesoris laki-laki seperti iket atau blangkon.
Puputan
Apabila bayi telah berusia sepasar (35 hari), atau setelah tali pusarnya lepas, ritual selanjutnya adalah puputan (muputi). Dalam ritual puputan ini, tuan rumah mengundang para tetangga untuk ikut mendoakan si bayi. Bayi digendong sambil dipayungi lalu berputar di dalam rumah mengitari tamu undangan. Tamu undangan yang datang mendoakan sambil memotong rambut si bayi sebagai lambang membuang sukerto. Setelah itu, kepala si bayi diolesi minyak kernceng (minyak kelapa murni) sebagai lambang kejelekan yang menempel pada bayi sebelumnya telah dibuang. Selain itu, minyak kernceng tersebut berfungsi untuk membuat rambut si bayi hitam mengkilap.
Dalam ritual ini, orang tua memberikan nama kepada si bayi. Nama yang diberikan tentu nama yang baik, mengingat nama adalah doa, yang menurut pepatah Jawa, asmo kinaryo jopo (asma mengandung pengharapan). Pepatah lain mengatakan, harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, dan manusia mati meninggalkan nama. Oleh karena itulah pemberian nama merupakan sesuatu yang penting. Pada hari itu, orang tua si bayi menghidupkan lampu yang terang dari sore hingga pagi sebagai simbol memberikan nur atu cahaya kebaikan bagi si bayi dan keluarganya.
Tedhak Siti / Tedhak Siten
Ritual ini dikenal juga dengan istilah ngedun-dunke. Artinya, Sebelum bayi di-tedak siti-kan berarti belum boleh diletakkan atau dibaringkan di tanah. Adapun uborampe yang harus disediakan adalah jadah tangga dari tebu ireng, kurungan ayam, kitab suci, uang, buku tulis, bolpoin, potlot atau pensil, serta jajan pasar. Benda-benda tersebut diletakkan di depan bayi kemudian si bayi diminta untuk memilih salah satu benda tersebut. Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, benda-benda tersebut merupakan simbol dari masa depan si bayi. Misalnya, apabila si bayi memilih kitab suci, di masa depan si bayi tersebut akan menjadi ahli agama atau tokoh agama. Apabila benda yang diambil adalah alat tulis, maka Ia akan menjadi orang yang pandai.
Ritual tedhak siti ditutup dengan acara among-among dengan mengundang anak-anak dan orang tua untuk makan bersama. Among-among adalah makanan yang disajikan di atas eblek (tampah) yang sudah dialasi daun pisang. Adapun menu makanan yang disajikan antara lain nasi gurih sayuran urap (kacang panjang, kubis, daun buyung/daun kacang panjang, bayam, petek, yang sudah dilumuri parutan kelapa). Di atas nasi ditaburi krecek peyek yang dipotong-potong dan dilengkapi dengan telur ayam kampung rebus. Sebelumnya, di bawah alas daun pisang tersebut telah disisipkan uang dengan nominal yang tidak ditentukan (seikhlasnya). Among-among dimaksudkan sebagai pertanda bahwa anak yang tedhak siti tadi sudah sah turun ke tanah, serta agar si bayi suka bersedekah dan banyak rezeki.
Masa anak-anak memerlukan adanya fondasi yang kuat tentang ilmu agama dan akhlakul karimah atau budi pekerti yang baik. “Anak-anak nang mongso pertumbuhan… perlu dituntun supaya mlaku kanti jejek lan ora nunjang palang. Dadi perlu di wenei ngelmu sing agung (Anak-anak dalam masa pertumbuhan.. perlu dituntun agar bisa berjalan di jalan yang benar dan tidak saling tuding/menyalahkan. Jadi perlu diajari ilmu yang agung/baik)”, pungkas Ibu Mujinah.
Khitanan
Pada saat memasuki usia 9 tahun, anak laki-laki sudah waktunya untuk dikhitan (disupit/disunat). Khitan dilakukan untuk menghilangkan sukerto atau kejelekan pada anak. Alasan yang kedua, yaitu khitan merupakan penanda tanggung jawab kepada si anak. Setelah dikhitan, tanggung jawab perbuatan baik dan buruk, pahala dan dosa, sudah menjadi tanggung jawab anak, tidak lagi menjadi tanggung jawab orang tuanya seperti sebelum dikhitan.
Biasanya, sebelum dikhitan, keluarga mengadakan acara selamatan atau tasyakkuran dengan mengundang tetangga. Uborampe yang disediakan yaitu tumpeng, ambeng, ingkung, jenang abang putih, sayur dan lauk, lentho, kerupuk, dan peyek. Hidangan tersebut merupakan bagian dari sedekah kepada para tetangga. Sebaliknya, tetangga yang datang mendoakan keselamatan anak yang sedang dikhitan agar bekas khitan lekas sembuh.
Dewasa
Pada tahap ini, manusia mulai merasakan rasa suka terhadap manusia lain dan membangun rumah tangga.
Lamaran
Sebelum melamar, keluarga pihak laki-laki akan menanyakan kepada pihak perempuan terkait persiapan dan waktu lamaran akan digelar. Pada hari lamaran, uborampe yang dibawa adalah cincin tunangan dan perlengkapan lamaran yang biasanya berupa uang, seperangkat alat salat dan lain-lain, serta peningset (seserahan) dan barang-barang lain untuk diserahkan kepada pihak perempuan. Pada hari lamaran, biasanya juga dibahas tanggal pernikahan.
Ngantenan
Dalam adat masyarakat Jawa, upacara pernikahan terdiri atas serentetan acara/prosesi yang dimulai dari temon, ijab kabul, dan prosesi walimah. Pada malam sebelum hari pernikahan, diadakan acara ritual selamatan mengirim doa sekaligus meminta pangestu/izin kepada para leluhur agar acara pernikahan lancar. Acara ijab kabul yang dibimbing oleh penghulu dilaksanakan pada keesokan harinya. Selanjutnya, prosesi dilanjutkan dengan ritual temon manten. Dalam ritual ini, pengantin laki-laki diminta menginjak telur ayam jawa yang kemudian dibasuh oleh pengantin perempuan. Ritual ini dilakukan sebagai simbol kebaktian istri kepada suami. Prosesi selajutnya adalah melempar suruh (sirih) yang dimaksudkan bahwa pengantin ingin segera melihat kehidupan berdua. Prosesi ini dilanjutkan dengan ritual penyerahan beras dari pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan yang menyimbolkan kewajiban pengantin laki-laki untuk menafkahi pengantin perempuan. Barulah ke nafkah pada pengantin perempuan, selanjutnya kedua mempelai duduk berdampingan di pelaminan menjadi raja dan ratu sehari.
Dalam satu rangkaian acara pernikahan, dimulai dengan tarub, yaitu mengundang warga untuk membantu persiapan acara demi kelancaran pernikahan dari awal hingga akhir. Sebelum dibubarkan, di akhir kegiatan tarub biasanya ada acara membuat dan memakan jenang baning, yang sekarang disebut bubur sumsum, supaya warga yang membantu acara itu selalu sehat dan selamat, serta tidak ada yang terkena sawan.
Meninggal dunia
Dlingo bengkle
Setiap yang bernafas akan mati, begitu pula manusia. Pada saat terjadi kematian, informasi terkait berita duka tersebut disiarkan melalui pengeras suara di masjid. Secara sigap, masyarakat akan datang dan berkumpul di rumah duka untuk menyiapkan segala keperluan pemakaman. Setelah mendengar siaran, para ibu membuat ramuan dlingo bengkle yang di parut atau ditumbuk, kemudian dioleskan di tangan, kaki, kuping, serta ubun-ubun kepala sebagai tanda tolak bala.
Nyuceni
Ada pembagian tugas yang jelas antara laki-laki dan perempuan dalam ritual mengurus jenazah. Kelompok laki-laki biasanya menyiapkan tratag, bagi laki-laki memasang tratag, kursi dan meja, dan menyiapkan tempat nyuceni atau memandikan jenazah. Adapun kelompok perempuan (ibu-ibu) mengurus kebutuhan dapur, mulai dari belanja hingga masak.
Dikafani
Jenazah yang telah disucikan dibawa ke dalam rumah dan dibaringkan di atas meja untuk dikafani. Sisa air yang digunakan untuk memandikan jenazah biasanya digunakan untuk mencuci tangan, kaki serta wajah agar tidak terkena sawan. Setelah itu, ibu-ibu menyiapkan bunga dari sekitar rumah untuk dirangkai dan diletakkan di atas keranda. Selain bunga-bunga yang dironce, terdapat rangkaian bunga khusus yang dirangkai dengan daun pisang kemudian diletakkan di bagian kepala.
Bedah bumi
Di pemakaman, sebelum menggali tanah untuk liang kubur, dilakukan ritual bedah bumi. Ritual ini dilakukan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, yaitu temuan mayat lain di dalam tanah yang akan dijadikan lokasi kuburan tersebut. Pembuat lubang kuburan dibantu oleh warga sekitar dari berbagai dusun, khususnya antara Dusun Gombong dan Dusun Sendaren 2. Apabila orang yang meninggal merupakan warga Dusun Gombong, maka yang membuat tempat penguburan adalah orang Sendaren 2, begitu pula sebaliknya.
Menyampaikan pesan
Setelah dikafani, biasanya bapak-bapak akan menaburkan bedak yang terbuat dari kayu cendana dan kapur barus di sekeliling jenazah. Sebelum jenazah diberangkatkan ke kuburan, wakil dari keluarga memintakan maaf atas nama si meninggal serta menyampaikan pesan bahwa apabila ada pihak yang memiliki urusan yang belum diselesaikan dengan si meninggal, misalnya hutang-piutang, agar segera menyampaikannya kepada pihak keluarga.
Pengantaran & Penguburan
Proses pengantaran jenazah dipimpin oleh Mbah Kaum atau Mbah Modin. Tiga langkah pertama dimulai dengan pelafalan Surah A-Fatihah pada setiap langkahnya. Setelah tiga kali langkah dan tiga kali melafalkan Al-Fatihah, prosesi dilanjutkan dengan menggotong jenazah hingga pemakaman sembari melafalkan tahlil. Setelah sampai, jenazah diturunkan ke liang lahat dengan kepala di sebelah utara. Posisi jenazah dimiringkan ke kanan menghadap arah barat. Dalam posisi tersebut, kafan pada wajah dibuka sebagian lalu pipi sebelah kanan ditempelkan pada tanah, begitu pula dengan jempol kaki kanan. Pada bagian belakang jenazah diberi bulatan-bulatan tanah (gelu) yang berjumlah tujuh untuk jenazah laki-laki, dan sembilan untuk jenazah perempuan. Jenazah kemudian diadzani oleh Bapak Kaum atau Modin sebelum akhirnya dikubur. Selesai prosesi penguburan, para pengantar mendoakan jenazah agar dimaafkan segala dosanya, kemudian membaca tahlil dan kalimat toyyibah, ditutup dengan doa pengampunan. Sebelum pulang, pengantar mengambil bongkahan kecil tanah dari gundukan makam, dibacakan selawat yang ditiupkan pada bongkahan tersebut lalu ditaruh kembali di atas makam dengan maksud agar orang yang dikuburkan mendapat syafaat dari Nabi Muhammad SAW.
Genduren
Pada malam setelah jenazah dikuburkan, dilakukan acara pembacaan tahlil dan Surah Yasin yang ditujukan untuk mengirim dan memohonkan maaf bagi orang yang meninggal selama tujuh hari berturut turut. Selain itu, digelar juga genduren pada malam pertama, malam ketiga, dan malam ketujuh. Isi gendurnnya umumnya adalah tumpeng, ambeng, golong-giling, lentho, krecek, sayur, ingkung ayam jago, dan peyek. Selain itu, disediakan pula pancen. Semua yang dimasak diletakan di pancen walaupun hanya sedikit, ditambah dengan tiga jenis air (misalnya, air putih, kopi, dan teh tubruk), serta uang dan sebatang rokok. Pada malam kesatu, ketiga, dan ketujuh, umumnya ada bunga setaman yang ditiup setelah pembacaan Surah Yasin. Kalangan tua membaca tahlil, sedangkan yang muda membaca surat yasin. Setelah itu, ada acara-acara peringatan yang dilakukan untuk memperingati hari ke-40, hari ke-100 (nyatus), tahun ke-1 (mendak 1), tahun ke-2 (mendak 2), dan tahun ke-3 (mendak 3) atau nyewu (seribu hari), dilanjutkan dengan peringatan tahunan, yakni haul.
Gambar
Mitoni & Ngapati
Pernikahan
Meninggal
Narasumber
- Ibu Mujinah, 50 tahun, Desa Kembanglimus