Cerita tentang Daur Hidup Manusia Meurut Budaya Jawa Desa Borobudur

(Narasi oleh Lukman Fauzi Mudasir dan Diyah Nur Arifah)

Narasi

Indonesia merupakan negara yang kaya akan tradisi dan adat istiadat. Berbagai macam tradisi hadir dari berbagai penjuru daerah. Tradisi yang melekat  pada setiap daerah merupakan tradisi yang turun temurun dari nenek moyang. Salah satu daerah yang masih kaya akan adat dan tradisi adalah Pulau Jawa. Adat dan tradisi masyarakat sangat erat hubungannya dengan ritual, seperti dalam pelaksanaan tradisi dan adat menggunakan ritual sebagai simbol yang sarat akan makna pesan.

Ngapati

Salah satu tradisi yang mencerminkan daur hidup manusia adalah ngapati. Tradisi ngapati hingga sekarang masih dilestarikan dengan menggunakan simbol yang syarat akan makna. Ngapati adalah acara yang diselenggarakan pada saat kehamilan berusia empat bulan atau 120 hari. Tradisi dilakukan pada saat kandungan berusia empat bulan karena roh mulai dimasukkan ke dalam tubuh calon bayi. Acara ini bertujuan untuk mengucap rasa syukur dan memohon doa supaya anak yang dikandung dapat lahir dengan selamat dan lancar. Acara ini diisi dengan kegiatan seperti membaca Al-Quran dan melantunkan pujian kepada Allah SWT serta Nabi Muhammad SAW. Selain kegiatan tersebut dianjurkan juga melakukan amalan sosial seperti bersedekah kepada anak yatim piatu dan kaum duafa atau kepada sanak saudara dan tonggo teparo (tetangga sekitar).

Quran dan Shalawat

Menurut Kyai Matrudin yang merupakan tokoh agama di Dusun Kaliabon, pada saat pelaksanaan ngapati ini biasanya mengundang keluarga besar, tetangga, dan kerabat dekat untuk bersama-sama mendoakan sang ibu dan calon bayi yang ada di dalam kandungan. Ayat Al-Quran akan dibacakan secara beriringan  pada saat acara  berlangsung, seperti Surat Luqman, Surat Maryam, Surat Yusuf, Surat Kahfi, Surat Yasin,  Ar-Rahman, Al-Waqiah,  dan Al-Mulk. Pembacaan Surat Luqman, Surat Kahfi, Surat Yasin, Ar-Rahman, Al-Waqiah, dan Al-Mulk dibacakan dengan tujuan supaya calon bayi terlindung dari bahaya dan tumbuh berkembang sesuai usia serta kelak lahir dengan lancar, selamat, dan roh yang dimasukkan merupakan roh yang baik. Sedangkan Surat Maryam dibacakan supaya calon bayi kelak mempunyai paras cantik dan berbudi pekerti atau kepribadian seperti Maryam yang pintar dan lemah lebut. Surat Yusuf dibacakan supaya calon bayi kelak ketika lahir mempunyai paras tampan dan berkepribadian seperti Nabi Yusuf yang bijaksana. Selain itu membaca Al-Quran tersebut, ada juga yang membacakan selawat Barzanji atau Diba, dan membacakan Manaqib.  Hal ini bertujuan agar sejak dalam kandungan sang jabang bayi sudah didoakan dan saat nanti proses persalinan semua berjalan dengan lancar serta anaknya lahir kelak menjadi anak sholeh dan sholeha.

Ingkung ayam jago

Makanan yang biasa dihidangkan pada saat acara ngapati adalah ingkung ayam jago. Hal ini bertujuan supaya proses mengandung berjalan lancar karena ingkung ini menjadi simbol kekuatan dan bentuk mengucap rasa syukur. Cara memakan ingkung ini tidak boleh diiris menggunakan pisau, melainkan dengan cara mengambil sedikit-sedikit daging ayam yang ada. Hal ini bertujuan supaya kelak ketika lahir sang ibu tidak merasakan sakit yang berlebihan. Selain ingkung ayam jago, ketupat, dan jajan pasar menjadi menu yang wajib dihadirkan dalam acara ini.  Jajan pasar yang disajikan harus berjumlah empat tidak boleh kurang atau lebih. Kupat dan jajan pasar harus berjumlah empat, sebab istilah ngapati berasal dari kata papat yang dalam bahasa Jawa artinya empat dan ada yang menyebutnya ngupati yang artinya kupat sehingga tradisi ini menggunakan simbol-simbol tersebut.

Mitoni

Belum selesai sampai disini, siklus orang yang hamil dalam adat Jawa masih terdapat satu ritual lagi yang disebut mitoni. Mitoni adalah acara (slametan atau selamatan) yang dilakukan ibu hamil ketika usia kandungan tujuh bulan. Mitoni merupakan ungkapan rasa syukur dan permohonan supaya diberi perlindungan dan keselamatan untuk bayi yang ada dalam kandungan dan ibu yang mengandung. Tradisi ini berbeda dengan ngapati, mitoni memiliki rangkaian acara yang lebih kompleks. Masyarakat Borobudur khususnya meyakini adanya mitos yang menyatakan bahwa jika tidak melakukan mitoni, maka dikhawatirkan akan terjadi hal-hal buruk pada ibu hamil dan sang bayi. Kehadiran kepercayaan ini nampaknya muncul dikarenakan tradisi mitoni yang sudah kental dan sudah berlangsung sejak dahulu di masyarakat.

Rangkaian Mitoni

Menurut Mbah Yatimah (76 tahun) seorang warga Desa Borobudur, dalam acara mitoni terdapat beberapa rangkaian seperti siraman, kenduri  (slametan), pantes-pantes (ganti busana 7 kali), pembacaan surat-surat Al-Quran dan lain sebagainya. Pelaksanaan acara ini biasanya dihadiri oleh sanak keluarga, tetangga, para sesepuh, tokoh agama, dan tokoh adat. Serangkaian acara yang diselengggarakan pada ritual mitoni secara garis besar dan pada umumnya dilakukan masyarakat Borobudur adalah sebagai berikut:

1.Membuat rujak

Dalam tradisi jawa membuat rujak dilakukan oleh ibu yang sedang mengandung. Membuat rujak bermakna untuk mengetahui calon bayi akan lahir berjenis kelamin apa, sebab dipercaya apabila rujak ini asin maka bayi yang akan lahir adalah laki-laki.

2.Siraman

Siraman dilakukan oleh keluarga yang lebih tua dan dilakukan sebanyak tujuh kali dengan orang yang berbeda-beda. Calon ibu akan memakai tujuh kain jarit yang dijadikan kemben kemudian disiram menggunakan air kembang. Biasanya bunga yang digunakan untuk menyiram calon ibu adalah mawar merah dan mawar putih. Pertama calon ibu akan disiram oleh suaminya dalam posisi duduk. Kemudian dilanjutkan dengan kedua orang tua dan keluarga lain hingga genap berjumlah tujuh. Hal ini bertujuan untuk mencuci semua kotoran dan hal negatif serta memohon doa restu supaya suci lahir batin.

3.Pecah telur

Pecah telur dilakukan dengan cara sang suami berdiri hadap-hadapan dengan calon ibu kemudian menjatuhkan telur ayam kampung dari atas perut calon ibu. Menjatuhkan telur ini dilakukan di tempat siraman sebagai simbol harapan agar bayi lahir dengan lancar dan selamat.

4.Ganti busana 7 kali

Acara ini merupakan acara yang dilakukan dengan cara mengganti busana calon ibu dengan kain batik bermotif yang berbeda-beda sebanyak 7 kali. Tujuan mengganti busana pada mitoni berkaitan dengan pengharapan dan keselamatan lahirnya bayi. Motif kain batik yang akan dipakai harus yang terbaik dengan harapan si bayi kelak memiliki sifat kebaikan sesuai lambang kain tersebut. Kain batik yang pertama sampai yang ke enam merupakan busana yang menunjukkan kemewahan dan kebesaran, sedangkan yang ketujuh melambangkan kesederhanaan. Tamu yang hadir dalam acara mitoni ketika ditanya apakah calon ibu pantas memakai baju-baju tersebut dapat memberikan jawaban “dereng  pantes” (belum pantas) dari busana pertama sampai ke enam. Setelah dipakaikan busana ke tujuh yang berupa kain lurik dengan motif sederhana, maka para tamu yang hadir bisa menjawab “pantes” (pantas). Hal tersebut bertujuan untuk mendoakan supaya sang bayi nantinya menjadi orang yang sederhana. Angka 7 melambangkan 7 lubang tubuh (2 mata, 2 telinga, 1 hidung, 1 mulut, dan 1 alat kelamin) yang harus selalu dijaga kesucian dan kebersihannya. Pengertian lain dari angka 7 secara keratabasa (akronim) dapat diartikan menjadi pitu-lungan (pertolongan).

5.Memecah kelapa gading

Dua butir kelapa gading yang masing-masing telah digambari Dewa Kamajaya dan Dewi Ratih, gambar tokoh wayang menjadi doa dan harapan agar nantinya si bayi jika laki-laki akan setampan Dewa Kamajaya dan jika perempuan dapat secantik Dewi Ratih. Kedua dewa dan dewi ini merupakan lambang kasih sayang sejati. Sang ibu menyerahkan dua kelapa gading tersebut yang kemudian akan dibelah oleh calon ayah (suaminya) menggunakan bendho (sejenis golok). Hal ini melambangkan, bahwa  jenis kelamin apapun nantinya anak mereka akan diserahkan pada kuasa Tuhan dan mereka tetap akan menerima serta merawatnya.

6.Selamatan atau tasyakuran

Tasyakuran dilaksanakan setelah melalui beberapa ritual yang disebutkan diatas. Rangkaian acara tasyakuran biasanya hanya berdoa dan ramah tamah. Beberapa surat yang sering dipilih dalam acara mitoni antara lain Surat Luqman, Surat Maryam, Surat Yusuf, Surat Kahfi, Surat Yasin, Surat Toha, Ar-Rahman, Al-Waqiah, Al-Mulk, dan An-Nur. Surat-surat yang dipilih tidak lepas dari makna dan harapan-harapan kepada bayi yang akan dilahirkan kelak. Misalnya surat Yusuf, pembacaan surat ini diharapkan bahwa anak yang kelak lahir adalah anak yang tampan dan memiliki sifat-sifat baik seperti Nabi Yusuf,  pembacaan Surat Maryam bertujuan agar bayi yang dilahirkan jika  perempuan akan menjadi wanita suci dan solihah, begitu juga dengan surat-surat lainnya. Untuk jamuan yang disediakan dalam acara slametan biasa berupa cendol dawet dan jajan pasar yang berjumlah tujuh.

Brokohi

Setelah bayi lahir, budaya Jawa masih menjalankan tradisi yang disebut brokohi. Brokohi adalah slametan yang dilakukan saat bayi lahir. Tradisi ini biasa dilaksanakan bersama dengan hari lahirnya sang jabang bayi. Dalam brokohi hanya dibuatkan nasi kluban sebagai simbol rasa syukur karena bayi yang ada dalam kandungan telah lahir ke dunia dalam keadaan selamat. Nasi kluban ini biasanya akan dibagikan ke tetangga sekitar setelah didoakan. Berharap bayi yang lahir mendapat berkah dari semua doa yang telah dipanjatkan. Masyarakat Borobudur biasanya masih menggunakan tempelan untuk membagikan nasi kluban yang dibuat untuk brokohi tersebut. Tempelan adalah tempat atau wadah yang terbuat dari daun pisang.

Aqiqah

Setelah bayi berusia empat sampai tujuh hari biasanya tali pusar akan lepas dari perutnya. Orang tua akan melakukan upacara puputan. Puputan adalah lepasnya tali pusar sang bayi. Orang tua akan mengadakan slametan yang biasanya dibarengi dengan memberi nama bayi, mencukur rambut bayi dan aqiqah. Aqiqah dilakukan dengan penyembelihan kambing. Apabila anak laki-laki maka akan disembelihkan dua kambing jika perempuan satu kambing. Proses pelaksanaan aqiqah biasanya mengundang sanak saudara dan kerabat untuk mendoakan sang bayi supaya tumbuh menjadi anak yang berbakti dan berguna bagi semuanya. Aqiqah merupakan simbol mengucap rasa syukur melalui pengorbanan hewan ternak. Acara ini biasanya berlangsung sakral karena dibarengi dengan lantunan selawat Nabi beserta doa-doa yang baik. Daging kambing yang sudah disembelih dan dimasak akan dibagikan kepada orang-orang yang menghadiri acara tersebut. Saat proses mencukur rambut, bayi akan digendong oleh sang ayah kemudian tamu undangan semua akan berdiri dan mencukur rambut bayi secara bergantian. Ketika bayi digendong dan diajak memutar mengelilingi semua tamu undangan, maka dibarengi dengan lantunan selawat. Setelah mencukur rambut dilanjutkan dengan meniup ubun-ubun sang bayi. Aqiqah ini biasanya dilakukan pada hari ke tujuh setelah bayi dilahirkan karena itu merupakan waktu terbaik untuk melakukan aqiqah menurut sunah Nabi.

Tedhak sinten

Waktu terus berjalan, tumbuh kembang anak semakin hari semakin bertambah mulai dari berubahnya ukuran tubuh sampai ke perkembangan tingkah laku sang anak. Saat anak mulai bisa tengkurap, merangkak, kemudian belajar berjalan, maka ada upacara adat lagi yang perlu dilakukan oleh orang tua sang anak. Upacara ini sering disebut upacara tedhak siten (turun tanah). Tedak siten dilakukan ketika bayi sudah berusia tujuh sampai delapan bulan. Tedhak siten berasal dari dua kata bahasa Jawa, yaitu tedhak yang artinya menapakan kaki dan siten dari kata siti yang artinya bumi atau lemah. Upacara tedhak siten dilakukan saat bayi mulai belajar duduk dan berjalan. Tujuannya agar anak menjadi mandiri di masa depannya.

Jadah 7 warna

Pada upacara tedhak siten, dimulai dengan menapaki jadah 7 warna. Jadah adalah makanan yang terbuat dari beras ketan yang dicampur dengan parutan kelapa muda, ditambah sedikit garam agar gurih. Ketujuh warna itu mempunyai makna sendiri-sendiri, seperti putih melambangkan watak dasar, biru melambangkan jati diri, hijau melambangkan kehidupan, jingga melambangkan matahari, merah melambangkan semangat dan berani, kuning melambangkan harapan akan cita-cita, dan hitam melambangkan keagungan. Makna yang terkandung dalam jadah merupakan simbol kehidupan yang akan dilalui oleh sang anak, dimulai dari saat menapakan kakinya pertama kali di bumi hingga sampai dewasa. Sedangkan, warna-warna tersebut merupakan gambaran dalam kehidupan anak dengan banyak pilihan dan rintangan yang harus dilaluinya. Jadah 7 warna disusun mulai dari warna yang gelap ke terang.

Rangkaian tedhak sinten

Setelah menapaki jadah, masih ada beberapa tahap lainnya dari rangkaian acara tedak siten. Antara lain menaiki tangga, manapaki tanah, masuk ke dalam kurungan (kandang) ayam, mengambil jajan pasar, dan mengambil pala pendem. Setelah semua prosesi tersebut, barulah memotong tumpeng. Setiap prosesi pada dasarnya memiliki makna, seperti jajanan pasar melambangkan kondisi anak yang nantinya akan berinteraksi dengan berbagai karakter manusia. Anak diharapkan mampu bersosialisasi dengan baik. Kurungan ayam mencerminkan dunia atau kehidupan bermasyarakat luas. Anak diharapkan kelak mampu menyesuaikan diri dan mematuhi segala peraturan bermasyarakat. Dalam kurungan ayam juga disediakan mainan, uang, dan lain sebagainya yang anak akan ambil, hal itu dianggap sebagai simbol gambaran anak kelak ketika dewasa. Selanjutnya adalah menaiki tangga yang terbuat dari tebu wulung atau tebu arjuna yang berwarna ungu. Tebu ini mempunyai makna anteping kalbu atau ketetapan hati anak dalam mengejar cita-citanya agar lekas tercapai. Pala Pendem atau umbi-umbian dalam tedak siten melambangkan harapan orang tua agar anak memiliki sifat andhap asor dalam bahasa Jawa berarti tidak sombong. Rangkaian acara yang terakhir adalah memotong tumpeng yang melambangkan permohonan orang tua kepada Tuhan agar anak mereka menjadi orang yang berguna. Dalam tumpeng terdapat sayuran seperti sayur kacang panjang yang maknanya bahwa harapannya agar sang anak berumur panjang, kecambah melambangkan kesuburan, dan kangkung mencerminkan anak yang mampu bertumbuh dan berkembang.

Sunatan

Sunat telah dikenal oleh sebagian kalangan sebagai proses adat dan pembersihan diri sebelum beranjak dewasa bagi anak laki-laki. Masyarakat terdahulu telah menjaga budaya dan menganggap proses ini merupakan salah satu bentuk menjalankan ibadah sebagai umat muslim, karena merupakan tuntunan Nabi.

Prosesi nikah

Setelah melalui semua proses diatas, anak akan tumbuh dewasa dan tiba saatnya untuk mencari jati diri dan memulai kehidupan baru bersama pasangan yang dipilih (menikah). Sebelum prosesi akad nikah akan ada sejumlah upacara yang dilakukan dalam adat Jawa, seperti tarub (pasang tratak), memasang dekorasi kembar mayang (dekorasi panggung), pasang tuwuhan (2 tundung pohon pisang raja yang ditaruh di pintu masuk), midodareni (dandan supaya telihat seperti bidadari).

Ritual-ritual pernikahan

Masih ada ritual-ritual yang bertujuan untuk kebahagiaan dan keberlangsungan rumah tangga kedua mempelai. Menurut ibu Amanah (47 tahun) warga Dusun Kaliabon yang berprofesi sebagai perias pengantin, ritual yang pertama adalah upacara pernikahan. Upacara ini sangat sakral karena dalam prosesi ini kedua mempelai berhadapan dengan penghulu dan wali nikah. Sepasang calon pengantin akan menggunakan pakaian berwarna putih dengan adat Jawa yang melambangkan kesucian. Setelah sepasang pengantin mengucapkan ijab kabul maka akan diadakan upacara panggih, yaitu saling bertemunya orang tua dari kedua mempelai dibarengi dengan mempelai laki-laki menyerahkan seserahan berupa kebutuhan seperti busana, makanan, hingga kosmetik atau alat kecantikan.

Balang gantal

Selanjutnya adalah acara balang gantal, yaitu melempar gantalan sirih yang diikat benang putih. Pengantin laki-laku akan melempar gantal sirih ke dada mempelai wanita sebagai tanda bahwa sang pria telah menaklukan hati mempelai wanita. Sedangkan wanita akan melemparkan ke lutut pria sebagai makna akan berbakti kepada sang suami.

Ngidak endhog

Lalu acara selanjutnya adalah ngidak endhog, yaitu mempelai laki-laki akan menginjak telur mentah kemudian sang istri akan berlutut membersihkan kaki suami. Hal ini menunjukkan kesopanan istri kepada sang suami setelah itu sang suami akan membantu istri untuk berdiri sebagai makna penghargaan kepada sang istri. Setelah itu ada acara sinduran, kedua mempelai berjalan ke pelaminan dengan menggunakan kain sindur berwarna putih dengan hiasan merah yang melambangkan berani dan gairah dalam menjalani rumah tangga. Sesampainya di pelaminan kedua mempelai akan disuruh duduk diatas pangkuan sang ayah mempelai wanita dan akan ditanya berat mana, kemudian sang ayah menjawab sama berat. Hal ini berarti bahwa kasih sayang untuk kedua mempelai sama, tidak dibeda-bedakan.

Kacar-kucur

Dilanjutkan dengan acara kacar-kucur yaitu mempelai pria mengucurkan uang receh serta biji-bijian kepada sang wanita sebagai lambing bahwa akan bertanggung jawab menafkahi keluarga dan mempercayai istri untuk mengelola keuangan keluarga. Setelah kacar kucur kedua mempelai akan saling dulang-dulangan (suap-suapan) yang bermakna kedua pengantin saling pengertian, rukun, dan tolong menolong dalam menjalani rumah tangga. Kemudian acara selanjutnya adalah sungkeman, kedua mempelai akan berlutut di hadapan kedua orang tua sebagai bentuk penghormatan atas segala jasa karena sudah membesarkan mereka. Acara yang terakhir adalah kirab pengantin. Pengantin akan mengganti busana yang dikenakan untuk menemani tamu undangan hingga akhir acara dan biasanya diakhiri dengan sesi foto bersama baik dengan keluarga besar maupun dengan teman atau tamu undangan.

Upacara pemakaman

Setelah menikah sepasang kekasih akan berharap hidup sampai tua bersama pasangannya hingga ajal memisahkan. Ketika salah satu diantara mereka meninggal maka secara adat Jawa juga akan ada upacara-upacara khusus untuk menghormati orang yang sudah meninggal. Menurut Mbah Amin, sesepuh Dusun Kaliabon, pada saat orang meninggal jasadnya akan dimandikan dan dibersihkan supaya suci ketika menghadap Sang Pencipta. Selesai dimandikan, maka jasad akan dibungkus dengan mori kemudian disalatkan. Selepas disalatkan jasad akan dimasukkan kedalam keranda dan kemudian dibawa ke makam untuk diletakkan dalam rumah abadi, liang lahat yang berukuran 2 x 1 m. Sebelum jasad akan diletakkan dan dimakamkan, akan ada sebuah upacara brobosan, yaitu upacara yang dilakukan sebelum jenazah diberangkatkan menuju makam. Setelah keranda diangkat semua sanak saudara akan menerobos (melewati bawah keranda) sebanyak 3 kali dan searah jarum jam dimulai dari saudara laki-laki yang lebih tua terlebih dahulu kemudian diikuti yang lebih muda atau anak-anak. Upacara brobosan bertujuan sebagai penghormatan terakhir dari keluarga kepada jenazah sebelum dimakamkan. Sebelum anggota keluarga melakukan brobosan, pemangku (pamong desa/sesepuh) biasanya akan mengawali dengan sambutan dan ucapan belasungkawa. Setelah itu keranda dibawa ke makam. Urutan untuk mengiringi jenazah ke makam juga ada aturannya, seperti yang berada persis di belakang keranda adalah penabur sawur (beras kuning dan uang) kemudian dibelakang itu adalah penabur bunga, dan pembawa kendi yang berisi air untuk disiramkan ke makam. Sesampainya di makan semua alas kaki dilepas di gerbang makam, dan bagi wanita yang sedang berhalangan dilarang memasuki area pemakaman.

Mitung dina

Kemudian keluarga yang ditinggalkan akan mengirim doa berupa membacakan surat yasin dan tahlil dengan tujuan bahwa dengan berdoa dapat meringankan beban orang yang sudah meninggal ketika berada di alam kubur. Biasanya masyarakat akan mendoakan selama 3 (nelung dina) sampai 7 hari (mitung dina) dengan mengundang sanak saudara dan tetangga sekitar. Setelah itu keluarga akan mendoakan sendiri, namun ada hitungan hari tersendiri yang akan mengundang sanak saudara dan tetangga sekitar untuk bersama-sama mendoakan orang yang sudah meninggal.

Metangpuluh, Nyatus & Nyewu

Acara itu akan dilaksanakan pada hari ke 40 (matangpuluh dina), 100 (nyatus), dan 1000 (nyewu). Ada juga yang mendoakan tepat pada hari dan tanggal orang tersebut meninggal. Hal itu disebut mendak yang hanya dilakukan setiap setahun sekali dalam 3 tahun awal pasca meninggal. Acara paling terakhir adalah kol (haul), merupakan acara satu tahun setelah mendak berakhir. Kol dilakukan tepat pada tanggal dan bulan orang itu meninggal. Pada saat memperingati kol biasanya diadakan bersama acara kenduri dan doa bersama. Setelah semua rangkaian tersebut dilakukan maka keluarga akan secara pribadi mendoakan orang yang telah meninggal tersebut.

Nyadran

Namun ada satu agenda khusus yang mengharuskan sanak saudara atau keturunan datang mengunjungi makam, yaitu pada saat nyadran yang dilakukan pada bulan ruwah atau sebelum bulan puasa bagi umat islam. Pada saat nyadran, sanak saudara atau keturunan orang yang sudah meninggal akan mengunjungi makam dan mendoakan orang yang sudah meninggal, disertai dengan membersihkan makam dari rerumputan.

Demikianlah seluruh prosesi daur hidup manusia menurut budaya Jawa yang sudah menjadi adat kebiasaan dan ditetapkan menjadi norma masyarakat yang sampai sekarang masih dilakukan di Desa Borobudur.

 

Gambar

Narasumber

  • Mbah Yatimah, 76 tahun, sesepuh desa Borobudur
  • Kyai Matrudin, Tokoh masyarakat, desa Borobudur
  • Mbah Amin, Sesepuh dusun Kaliabon desa Borobudur

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...