(Narasi oleh Nurul Amin H. dan Kartika Aulia Utami)

Narasi

Berdasarkan penuturan Bapak Wasis (47 tahun) yang merupakan tokoh masyarakat Dusun Gombong, Kembanglimus, pada saat beliau masih kanak, ada banyak sekali permainan tradisional yang dimainkan oleh anak-anak seusianya. Beberapa di antaranya, yaitu permainan empyeng (atau kempyeng), gateng, pasaran, Boneka-bonekaan, perang-perangan, egrang, payangan, gobak sodor, ngkling, jlumpet, ganepo, cuscusan, bedil-bedilan, gangsingan, yunyunan, bentik, balbalan, kasti, pingsut, hompimpah, dan cublak-cublak suweng.

 

Empyeng

Permainan ini menggunakan 5 keping uang logam/koin

Cara permainanya adalah, dua anak atau lebih duduk saling berhadapan, kemudian koin logam tadi diletakan di telapak tangan. Koin-koin itu harus dipindahkan ke punggung tangan dengan cara dilempar ke atas bersamaan. Langkah tersebut dilakukan secara berulang hingga lima kali lemparan. Peraturannya, koin-koin tersebut tidak boleh jatuh dari punggung tangan. Satu kali permainan dihitung “mati” atau selesai apabila telah melakukan lima kali percobaan, atau semua koin jatuh dari punggung tangan sebelum percobaan kelima. Pada saat permainan mati, pergantian pemain digilir memutar searah jarum jam. Penentuan pemenang dan pihak yang kalah ditentukan dari seberapa banyak ia berhasil menangkap koin. Orang yang paling banyak menangkap koin menggunakan punggung tangan adalah pemenangnya, sedangkan orang yang menjatuhkan koin terbanyak adalah pihak yang kalah.

Bekel

Alat permainan ini adalah 1 (satu) bola karet kecil dan 5 kerikil

Cara permainanya, 2 (dua) anak atau lebih duduk saling berhadapan dan berjarak kurang lebih 50 cm. Bola kecil tadi dipantulkan ke lantai dengan menggunakan tangan. Anak yang melemparkan bola harus bisa menangkap bola itu lagi dengan tangan yang sama. Namun, sebelum bola jatuh dan ditangkap, si anak tadi harus mengambil 1 kerikil. Lerikil yang telah diambil harus dikembalikan di tempat yang berbeda, dengan sebelumnya memantulkan kembali bola karet. Setiap putaran pantulan, kerikil yang diambil harus bertambah hingga akhirnya kerikil tersebut habis. Apabila pemain tidak bisa menangkap bola setelah dipantulkan, permainan dianggap mati dan harus berganti pemain. Pemenangnya adalah mereka yang bisa mengabil dan memindahkan kelima kerikil tanpa menjatuhkan bola karet.

Pasaran

Permainan ini bagaikan berada di pasar

Para pemain harus menyiapkan barang yang akan diperjual-belikan, walaupun barang-barangnya tadi hanya dari kerikil, pecahan genteng, pelepah daun pisang yang di potong – potong, ranting ranting kecil, dan sebagainya. Alat tukar yang digunakan pun hanya memakai dedaunan (daun teh-tehan/daun meresede). Dengan bermodalkan uang-uangan dari 10 lembar daun, si pemain bisa mendapatkan banyak hal. Bahkan, Pemain yang cerdik bisa mendapat banyak barang dan uang yang banyak juga. Permainan ini sebetulnya bagus untuk edukasi perputaran uang, termasuk mengajarkan ilmu pemasaran dan ekonomi bagi anak-anak.

 

Cublak Suweng

Informasi mengenai permainan cublak-cublak suweng ini Kami peroleh melalui wawancara dengan Bapak Sumarjo yang berusia 73 tahun dari Dusun Gombong, Desa Kembanglimus. Beliau baru saja pulang dari kebun pada saat Kami temui. Beliau adalah sosok yang ceria, dan masih menggunakan bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari. Beliau pun menceritakan pengalamannya mengenai permainan tersebut. Dulu, permainan ini tidak hanya sering dimainkan oleh anak kecil saja, tetapi juga dimainkan oleh orang yang sudah dewasa. Permainan ini biasanya dimainkan pada waktu bulan purnama dan musim kemarau. Para pemainnya terdiri atas laki-laki maupun perempuan. Tidak ada batasan jumlah pemain, siapapun dapat bergabung selagi mau. Biasanya, permainan coblak-cublak suweng dimainkan di halaman masjid.

Egrang

Informasi mengenai permainan egrang Kami dapatkan dari Bapak Adhi (33 tahun) yang beralamat di Dusun Wonotigo Desa Kembanglimus. Menurut penuturan Beliau, egrang biasanya dimainkan pada waktu sore hari atau setelah pulang sekolah sampai lelah atau mendekati adzan maghrib sekitar pukul 17:00 WIB. Permainan ini dimainkan oleh anak-anak berumur 7-12 tahun, remaja, bahkan juga orang dewasa. Biasanya, beliau membuat egrang sendiri waktu kecil dan cara membuatnya pun sangat mudah yaitu membutuhkan 2 bambu besar berukuran sekitar 150 cm dan 2 bambu kecil berukuran 25 cm. Bambu yang biasa digunakan adalah bambu Pringapus atau bambu tali. Bambu yang berukuran kecil tadi diberi lubang atau diserut. Tinggi bambu dari tanah berukuran 30 cm. Waktu beliau kecil, harga egrang semacam ini dijual dengan harga sekitar Rp5.000,-. Menurut Bapak Adhi, ermain egrang sangat menyenangkan dan melatih keseimbangan. Pada saat pertama kali mencoba dan belum terbiasa, pak Adhi sering terjatuh. Namun, seiring berjalannya waktu beliau pun bisa memainkan egrang tanpa jatuh.

Engkling

Engkling adalah permainan tradisional yang dimainkan dua hingga lima orang. Ibu Sari (31 tahun) dari Dusun Wonotigo adalah salah satu orang yang semasa kecilnya sering bermain engkling. Biasanya, engkling dimainkan pada sore hari sekitar pukul 15.00 sore hingga lelah. Permainan engkling bisa dimainkan oleh anak laki-laki maupun perempuan. Bentuk engkling sendiri beragam. Ada yang bentuk kotaknya seperti kitiran yang memiliki sembilan kotak, ada pula yang berbentuk gunungan yang memiliki tujuh kotak. Untuk bermain engkling, dibutuhkan pecahan genteng atau gacuk untuk menggambar kotak. Setelah kotak berhasil digambar, pecahan genteng tersebut digunakana untuk dilemparkan di setiap kotak tanpa menyentuh garis hingga menang.

 

Gambar

Narasumber

  • Bapak Wasis, 47 tahun, Dusun Gombong Desa Kembanglimus
  • Mbah Sumarjo, 73 tahun, Dusun Gombong Desa Kembanglimus
  • Bapak Adhi, 33 tahun, Dusun Wonotigo, Desa Kembanglimus
  • Ibu Sari, 31 tahun, Dusun Wonotiga, Desa Kmebalimus

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...