(Narasi oleh Nurul Amin, Wasis, dan Kartika Aulia Utami)
Narasi
Pada jaman dulu, di Desa Kembanglimus terdapat banyak sekali permainan tradisional yang dimainkan oleh anak-anak. Permainan tersebut ada yang membutuhkan alat/perlengkapan, ada pula yang tidak. Beberapa permainan tersebut antara lain, yaitu perang-perangan, egrang, layangan, gobak sodor, engkling, jlumpet, ganepo, cus-cusan, bedhil-bedhilan, gangsingan, yunyunan, bentik, bal-balan, kasti, pingsut, hompimpah, kempyeng, gateng, dan pasaran.
Â
Kempyeng
Ada banyak cara untuk memainkan kempyeng, salah satunya adalah permainan lempar tangkap berikut ini. Dalam permainan ini, dibutuhkan 5 keping tutup botol soda (kempyeng), uang logam, atau koin. Jumlah pemain sedikitnya adalah dua orang. Untuk memulai permainan ini, para pemain duduk berhadapan atau melingkar. Pemain yang sedang mendapat giliran selanjutnya melempar kelima kempyeng tadi secara bersamaan kemudian menangkapnya dengan punggung tangan, dilakukan hingga lima putaran (lima kali percobaan). Permainan dianggap mati apabila kelima kempyeng jatuh/tidak dapat ditangkap menggunakan punggung tangan sebelum putaran kelima. Dengan demikian, permainan digantikan oleh pemain lain secara bergilir searah jarum jam. Pemenang ditentukan dari banyaknya kempyeng yang berhasil ditangkap. Sebaliknya, pemain yang paling banyak menjatuhkan kempyeng atau sama sekali tidak berhasil menangkap kempyeng dianggap kalah.
Gateng
Gateng adalah permainan yang menggunakan batu sebagai kelengkapan. Dalam permainan ini, para pemain hanya perlu menyediakan lima batu berukuran kecil (kerikil). Dibutuhkan dua orang atau lebih agar permainan gateng dapat dimulai. Setelah para pemain duduk berhadapan atau melingkar (apabila jumlah pemain lebih dari dua orang), pemain pertama mulai dengan melempar secara perlahan kelima kerikil yang sudah disiapkan ke atas lantai. Selanjutnya, pemain tersebut mengambil salah satu kerikil dan melemparnya ke atas. Pemain tersebut harus bisa mengambil satu kerikil yang telah disebar di lantai sebelum kerikil yang dilempar ke atas jatuh. Namun, apabila pemain tidak berhasil mengambil kerikil yang ada di atas lantai sebelum kerikil yang dilempar menyentuh lantai, maka permainan dihitung mati. Permainan kemudian dilanjutkan oleh pemain lain. Proses tersebut diulang hingga mengambil lima kerikil sekaligus.
Pasaran
Sebagaimana namanya, permainan ini memeragakan kegiatan jual-beli bagaikan berada di pasar. Anak-anak yang turut dalam permainan harus menyiapkan barang yang akan diperjual-belikan, sekalipun barang-barang tersebut hanya berupa kerikil, pecahan genteng, pelepah daun pisang yang dipotong-potong, ranting-ranting kecil, dan sebagainya. Untuk melakukan transaksi, dibutuhkan alat tukar berupa uang. Dalam permainan ini, dedaunan (daun teh-tehan/daun meresede/kleresede) digunakan sebagai pengganti uang. Biasanya, hanya dengan bermodalkan sepuluh lembar uang-uangan daun, seorang pemain bisa mendapatkan banyak barang. bahkan, para pemain yang pandai mengatur uang yang dimiliki bisa mendapatkan banyak barang sekaligus uang yang banyak pula. Permainan ini terlihat sederhana, namun sebetulnya bagus untuk mengedukasi anak sejak dini tentang ekonomi dasar, pemasaran, dan perputaran uang.
Cublak-Cublak Suweng
Cerita tentang permainan cublak-cublak suweng kami dapatkan dari Bapak Sumarjo (73 tahun) dari Dusun Gombong, Desa Kembanglimus. Beliau baru saja pulang dari kebun pada saat kami meminta beliau berbagi pengalaman bermain permainan tradisional cubla-cublak suweng. Akhirnya, beliau pun menceritakan pengalamannya mengenai permainan tersebut. Menurut cerita bapak Sumarjo, dulu permainan ini tidak hanya dimainkan oleh anak kecil, melainkan juga orang dewasa. Permainan ini biasanya dimainkan pada waktu bulan purnama di musim kemarau. Tidak ada batasan gender dalam bermain cublak-cublak suweng, baik laki-laki dan perempuan, semuanya bisa bergabung dalam permainan. Selain itu, tidak ada batasan jumlah pemain, bergantung pada berapa banyak anak yang ingin ikut bermain. Biasanya, cublak-cublak suweng dimainkan di halaman masjid yang cenderung luas.
Egrang
Egrang merupakan alat permainan tradisional berupa sepasang bambu yang masing-masing memiliki pijakan pada salah satu ujungnya. Egrang biasanya dimainkan pada sore hari atau setelah pulang sekolah sampai mendekati adzan maghrib sekitar pukul 17:00 WIB. Permainan ini dimainkan oleh anak-anak mulai dari usia tujuh tahun hingga usia remaja. Bapak Adhi (33 tahun) adalah salah satu warga Desa Kembanglimus dari Dusun Wonotigo yang berbagi pengalamannya bermain dan membuat egrang saat masih kanak. Biasanya, egrang yang dimainkan Beliau buat sendiri. Cara membuatnya pun sangat mudah. Bahan yang diperlukan adalah dua batang bambu berukuran 150 cm dan dua batang bambu yang berukuran 25 cm. Bambu yang biasa digunakan adalah bambu Pringapus atau bambu tali. Bambu yang berukuran kecil tadi dimasukkan ke dalam ruas bambu yang telah dilubangi, kira-kira 30 cm dari ujung bambu (dari tanah). Bambu yang dipasangkan harus tegak lurus dengan bambu yang berukuran panjang. Menurut Bapak Adhi, semasa kecilnya dulu, harga egrang berada pada kisaran Rp5.000,-. Menurutnya, bermain egrang tidak hanya menyenangkan, tetapi juga dapat melatih keseimbangan dan kegigihan. Agar bisa bermain egrang dengan lancar tanpa jatuh, dibutuhkan waktu untuk berlatih dan mencoba.
Gambar
Tembakan Debog Pisang
Egrang bambu
Narasumber
- Mbah Sumarjo, 73 tahun, Dusun Gombong Desa Kembanglimus
- Bapak Adhi, 33 tahun, Dusun Wonotigo, Desa Kembanglimus