Madya Siswa dan Gatholoco, duo Kesenian Lintas Zaman
(Narasi oleh: Andy Anssah dan Vinanda Febriani)
Narasi
“Madya siswa iki kumpulan, tahun nem sanga ngadek’e. Limolas nenem diresmeake, madya siswa jenenge..” begitu bunyi sepenggal nyanyian yang terus terngiang di kepala saya tiap mendengar nama kesenian Madya Siswa disebut.
Di dusun Kurahan desa Karangrejo, ada sebuah kesenian lokal yang sangat terkenal yakni Kubro yang diberi nama Madya Siswa. Madya berarti perkumpulan atau perhimpunan, sedangkan Siswa berarti murid. Kesenian ini diresmikan pada 15 Juli 1969 oleh masyarakat atas kesepakatan dari para Sesepuh Desa kala itu, yang kemudian mendatangkan seorang pelatih dari Mendhut. Anggota kesenian ini terdiri atas bapak, ibu, remaja, dan anak-anak yang pada awal mula keseluruhannya berjumlah kurang lebih 180 orang. Namun seiring perkembangan waktu, para pemain mulai mengerucut hingga tersisa tidak sampai 100 orang.
“Hem..,” saya jadi teringat kenangan masa kecil, di mana saat itu kakak pertama saya adalah penari Kubro. Saban malam Minggu pukul 20:00, mereka latihan di dekat langgar tempat saya dan kawan sebaya saya kala itu mengaji. Tempat latihannya tidak begitu luas, pinggirannya dipasang gethek atau pembatas yang dibuat dari bambu. Kami sering menonton dari Langgar yang kebetulan dindingnya bisa kami naiki.
“Heekkk… yaa,” sorak-sorai penari kubro yang menggelorakan hati. Lirik lagunya tak begitu sulit untuk dihapal, nadanya juga tidak serumit lagu-lagu K-Pop untuk dinyanyikan. Gerak tariannya cukup simpel. Dahulu para pemain menggunakan atribut yang penuh klenthingan. Sampai-sampai kalau sedang berjalan, keluar bunyi “Klinthing” yang keluar dari semacam lunceng di baju yang mereka pakai. Wajahnya cemong-cemong, di kepalanya terpasang dengan mahkota yang dihiasi bulu ayam yang ditata rapih dan dicat warna-warni, kami biasa menyebutnya sebagai pulung. Sayangnya, kini atribut itu telah ditinggalkan. Saat ini pemain Kubro perempuan rata-rata memakai berjilbab, pakaiannya pun cenderung panjang dan longgar. Tidak ada atribut semeriah dulu, kini pakaiannya hanya seragam kaos panjang dan celana training panjang berwarna hijau tua.
Tidak ada filosofi yang khas pada setiap gerakan dalam kesenian ini. Hanya saja gerakan tari dan sebagian nyanyiannya berkisah tentang penyebaran Islam di Tanah Jawa yang dilakukan oleh Walisongo, dan sebagian lain menceritakan tentang perang kemerdekaan Republik Indonesia. Hingga kini, kesenian Madya Siswa masih terus dilestarikan dan cukup digandrungi oleh kaula muda.
“Jadi, dahulu sebelum ada Kubro itu ada Namanya Gatholoco,” kisah Pak Timbul (61) kepada tim penulis yang berkesempatan berbincang santai di gubug sederhana miliknya yang masih serba kayu.
Kesenian tersebut, kata Pak Timbul, berdiri pada tahun 1950-an dan kerap melaksanakan latihan di halaman rumah Mas Cokromenjoyo atau Mas Njoyo. Kesenian ini menceritakan tentang pranatamangsa, metune lahire jabang bayi terus uripe menungsa nganti pati nganti nyoro tanah (lahirnya janin lalu hidup manusia sampai meninggal dan kembali ke Bumi).
“Jadi, zaman dulu itu kalau ada orang meninggal, dibuatkan ambeng kungkur, sebagai bentuk selametan saat menggali kubur. Ambeng kungkur yang berarti ngungkurke. Ambeng dibelah dua, di inger terus dikeduk blenduke. Itu harus yang ngepung orang-orang sepuh. Kalau tidak, dibagikan ke orang di situ yang sepuh. Supaya mayit ngungkurke yang masih hidup,” jelas pria berusia 61 tahun yang masih segar bugar ini.
Pada saat menyajikan ambeng kungkur, dibuat pula ancak untuk meletakkan ambeng tersebut. “Bentuknya harus persegi, ‘Kiblat papat lima pancer’, artinya 4 sudut dan 1 ambeng. Semuanya mengibaratkan doa kepada Allah SWT,” lanjutnya. Adapun ambeng kungkur tersebut berisi serundeng, baceman, sayur, lentho, pethek, lauk pauk, rempah, dan ingkung.
Saat ada orang mau menikah, masyarakat kerap menggunakan hitungan Ponco Sudro Kinaryo Nggatukaken. “Kalau mau jadi manten, calonnya diperhitungkan dulu hari kelahirannya kemudian dikurangi lima. Nanti dihitung jadinya berapa. Hasil akhirnya dicocokkan, Sandang, Pangan, Papan, Pati, atau Wirang (Isin),” lanjut Pak Timbul.
Kesenian Gatholoco sendiri, menurut penuturan Pak Timbul, pemainnya sangat banyak karena merupakan gabungan dari beberapa dusun, di antaranya Dusun Kurahan, Dusun Ngaliyan (Candirejo), Dusun Paren, dan Dusun Kuncen. “Dulu tidak ada biaya makanan. Kalaupun ada huma untuk membeli minyak dan lampu petromaks. Latihannya sering di Mas Njoyo, tapi juga bisa berpindah sesuai kesepakatan. Terakhir tampil itu tahun 1970-an,” kenang Pak Timbul kepada kami.
Gambar
Narasumber
- Mbah Timbul, 61 tahun, Sesepuh desa, Pelaku budaya, desa Karangrejo