(Narasi oleh Muhammad Ja’far Qoir dan Miftakhul Fauzi)
Narasi
Malam itu dari lubang genteng rumah, bulan purnama terlihat sangat terang, namun suasana ruangan terasa sangat panas, entah kenapa mata juga tidak bisa terpejam walau waktu menunjukan pukul 1 malam. Sambil bersantai dengan kipas dari kertas dan kopi hitam di meja, dari kejauhan terdengar suara gemuruh seperti segerombolan binatang sedang berlarian, semakin dekat, semakin dekat suara itu datang. Hingga membuatku berdiri dan menjatuhkan kipas ke tanah, “opo kae ?” tanyaku dalam hati, dengan jantung berdebar aku berfikir, “ora ono seng ngingu kewan neng kene“ tidak ada orang yang memiliki hewan peliharaan di sekitar sini, di sebelah rumahku sawah, jadi apa itu. Seketika suara itu lewat di depan rumah, dengan takut dan perasaan ingin tahu, aku membuka pintu rumah.
Dengan badan tidak bisa bergerak, tangan memegang erat pintu, dan dengan mata yang tidak berkedip. Aku tidak melihat apa apa, iya tidak ada apa apa disini, hanya suara gemuruh yang terus menjauh ke arah sungai. Tidak ada apa apa, bahkan tidak ada bekas di jalan. Dengan segera aku masuk ke rumah dan mengunci pintu erat erat. Malam itu kopi hitam belum kuhabiskan dan aku tidak bisa memejamkan mata hingga sinar pagi menerjang dari sela tembok rusukku.
Begitulah yang pernah diceritakan Pak Samhari (ketua Rt 4 Dusun Klipoh), dari cerita itu kami mengembangkan agar cerita menjadi semakin lengkap, kemudian kami kembali bertemu Bapak Markoni (tokoh masyarakat sekaligus budayawan Dusun Klipoh). Beliau menceritakan Di Dusun Klipoh terdapat bagian sungai kecil yang jarang dilalui masyarakat, warga menyebutnya Kedung Warak, karena pada zaman dahulu kedung tersebut sering digunakan warak atau badak untuk berendam. Warak sering datang bergerombol dari perbukitan menuju kedung tersebut dengan berlarian. Kini kedung yang jika musim panas terdapat lumuran cairan kuning dari lubang lubang tanah, hingga menutupi seluruh air yang menggenang.
Apabila unggas berenang disitu, baik itu bebek, ayam atau entok, sepulang dari sungai ,unggas tersebut akan dingkulen atau rasa sakit pada kaki hingga tidak bisa berjalan, berakibat berangsur angsur unggas kehilangan nyawanya.
Dahulu ada sebagian warga Karanganyar sekitar tahun 1960-an yang mempunyai kerbau, semua kerbau berkelamin betina tidak ada yang jantan. Dan saat siang hari, kerbau sering dilepas untuk berendam di lumpur atau sungai. Namun apabila musim birahi, atau kerbau dalam masa ingin kawin, dengan tanda perilaku kerbau dalam menggesekkan tubuh atau kelaminnya di kayu kandang, para pemilik kerabu membawa kerbau ke kedung warak. Mereka memandikan di Kedung Warak dan membiarkannya berendam, dan anehnya setelah berendam di Kedung Warak, para kerbau ini sudah tidak berperilaku birahi, dan tambah aneh lagi setelah beberapa bulan para kerbau melahirkan anak anaknya. tanpa bantuan kerbau jantan, dan saat itu belum ada dokter hewan. Jadi para pemilik ini menggunakan Kedung Warak untuk membuat kerbau hamil, dengan kejadian tersebut, mereka berkeyakinan bahwa badak badak dahulu berendam disitu yang membuat energi mereka masih disana dan mengawini kerbau kerbau warga Karanganyar.
Hingga apa yang diceritakan tadi, adalah roh atau siluman badak yang masih selalu beraktivitas seperti dahulu kala, mereka berdatangan dari bukit atas melewati perumahan warga yang dulunya hanyalah hutan atau kebun lapang menuju Kedung Warak.
Memang begitu, walau tidak bisa dimasukan dengan logika, tapi hidup kita itu selalu berdampingan baik dengan sesama atau dengan yang tak kasat mata, dengan yang ada dan tidak ada namun harus saling menjaga agar keseimbangan selalu menyertai kita.
Gambar
Lokasi
Narasumber
Relasi Budaya
Sumber Lain
Dari Kanal