(Narasi oleh Jiyomartono dan Nurudin)
Narasi
Sore itu, kami bertiga memiliki janji akan bertemu di rumah teman yang berada di Dusun Srigentan, Desa Wringinputih, Kecamatan Borobudur. Saya sendiri tidak tahu apa maksud dan tujuan undangan ini. Sampai di tujuan, rupanya sudah ada Pak Irfan dan tuan rumah Pak Nurudin. Sesaat kemudian datang temannya Pak Nurudin yang ikut gabung dengan kami. Setelah ngobrol lama, saya baru tahu ternyata beliau ini adalah Pak Slamet, seorang seniman yang sangat mencintai seni khususnya topeng ireng. Dari beliau inilah kemudian kami belajar dan menggali kesenian topeng ireng.
Dalam ceritanya, Pak Slamet mengenalkan diri sebagai seorang petani, penjahit, dan pengrajin keranjang yang tinggal di Dusun Sri Gentan. Disela-sela hidupnya sebagai petani, beliau menyempatkan waktu untuk belajar kesenian topeng ireng di tetangga Desa Ngadiwinatan yang jarak dari rumahnya kira-kira 5 km. Setelah dirasa cukup menimba ilmu dan karena rasa cintanya pada kesenian topeng ireng, beliau mulai memperkenalkan dan mengajarkan pada masyarakat di kampungnya sekitar tahun 2000-an. Antusias dan semangat warga dalam berlatih, satu tahun kemudian kesenian rakyat ini diresmikan sebagai kelompok kesenian bernama Anak Rimba.
Seiring dengan berjalanya waktu, kelompok kesenian Anak Rimba ini akan di ikutkan tampil dalam perlombaan kesenian rakyat, untuk memenangkan perlombaan ini sang perintis membuat ‘desain kostum penari’ yang lain dari kostum yang umumnya dipakai yang dijahit sendiri.
Dari kekompakan dan semangatya yang tinggi, “Anak Rimba” akhirnya nenunai hasil dapat memenangkan perlombaan sebagai juara pertama dan semakin terkenal, sampai sang artis Titik puspa tertarik untuk menampilkanya di Istana Negara dan beberapa hotel dijakarta. Bahkan Ibu Titik Puspa juga pernah pesan dibuatkan beberapa “kuluk” untuk group kesenianya “Puspa Rimba” yang akan pentas di Eropa.
filosofi
Ketika kami menanyakan maksud tujuan mendirikan kesenian ini, dan untuk apa?. Dengan berapi api, beliau menuturkan : selain sebagai hiburan, kesenian ini hanyalah media yang mudah untuk mengumpulkan warga, setelah kumpul kemudian diberi pitutur dalam bentuk gerak dan tembang. Jadi semua tembang atau lagu yang dinyanyikan selama pentas ini adalah tentang pitutur luhur.
Pementasan
Suatu ketika, saya dapat info dari tetangga yang jualan penthol bakso keliling, akan ada pentas Topeng Ireng Anak Rimba di dusun Sri Gentan, tepatnya dirumah Pak Slamet yang sedang punya hajatan mantu (pernikahan) anaknya. Pada waktu berangkat nonton, saya ngajak anak karena mau jajan dan istri saya pesan dibelikan geblek untuk dibawa pulang. Ditengah perjalanan sudah terdengar suara jedor, bendhe dan seruling. Sesampainya di tempat pertunjukan sudah ramai dan meriah, banyak anak anak, orang dewasa, dan orang tua, disudut sudut halaman rumah dan pinggir jalan juga banyak orang berjualan makanan, mainan dengan menggunakan alat penerang teplok. Ini benar benar hiburan rakyat yang murah meriah.
Mahkota kuluk
Karena sudah kenal dengan yang punya hajat, saya menemui Bapak Slamet untuk melihat lihat persiapan para penari di dalam rumah. Saya menyaksikan para penari lagi sibuk merias untuk persiapan tampil, ada yang sedang merias wajah dengan bedak warna hitam dan dicoret coret warna putih dan merah seperti orang dayak/pedalaman, maka masyarakat menyebutnya ndayakan, terus berganti sebutan topeng ireng. Sebagian penari sibuk memakai mahkota dari bulu enthok dan bulu ayam jago yang disusun rapi yang disebut “kuluk”. Tiba tiba seseorang datang ketempat rias dengan membawa dos besar sepertinya berat sekali, ternyata setelah dibuka berisi aksesoris, hiasan seperti badhong, borci dan klinting’ kemudian saling berebut untuk memakainya karena sudah terdengar suara peluit yang ditiup oleh komandan anak rimba. Kepala suku mulai mengatur barisan anggotanya untuk siap siap keluar sambil komat kamit membaca do’a.
12 Penari
Di arena pertunjukan penonton sudah berjubel, tidak sabar menanti keluarnya penari, sehingga keamanan / hansip meminggirkan para penonton yang menutup akses jalan penari. Sesaat kemudian, komandan menyanyikan lagu “selamat datang” pertanda pentas anak rimba segera dimulai dan siap menghibur masyarakat. Semua mata penonton tertuju ke pintu masuk arena pentas, karena tidak mau terlewatkan tampilan para penari pada waktu memasuki arena pentas. Dengan terdengarnya lagu “selamat datang” yang kedua kali para penari yang berjumlah 12 orang memasuki arena pentas.
Rapalan doa
Dengan semangat komandan menyanyikan lagu lagu pengiring tarian yang pada intinya mengajak kerukunan dan kebaikan. Jenis dan ragam gerak tari dipimpin oleh kepala suku sesuai dengan lagu yang didengungkan. semua penonton terpesona dengan tari tarian yang ditampilkan, tidak terasa tarian babak pertama sudah berakhir dan para penari kembali ke ruang rias. Kemudia kepala suku menemui komandan kesenian untuk persiapan ritual babak selanjutnya dengan rapalan do’a “tunggal guru ojo ngganggu, tunggal konco ojo nggoda” karena babak ini akan menampilkan tarian yang dapat membuat orang termasuk penonton ndadi.
Kewan kewanan
Tidak lama kemudian komandan menyanyikan lagu “kewan kewanan” yang dibarengi masuknya kepala suku dengan membunyikan pecut yang diikuti para penari dengan kostum berbentuk hewan, seperti singa, harimau, kuda, kerbau dan sapi. Mereka menari sesuai kostum hewan yang dipakai, kepala suku digambarkan sebagai penggembala atau penakluk hewan hewan tersebut. Ada kejadian aneh salah satu penari keluar dari arena dan susah untuk digiring masuk ke arena karena mempunyai kekuatan yang lebih, bahkan ada yang minta makan kembang, inilah suasana para penari sudah kesurupan dan akan di jinak kan “ditambani” agar sadar kembali. Dengan terdengarnya lagu “Gilang sepatu gilang” pertanda pertunjukan kesenian anak rimba sudah selesai.
Gambar
Narasumber
- Bapak Slamet, 50 tahun, Dusun Sri Gentan Desa Wringinputih