(Narasi oleh Haidar Imama dan Habib Safrodin)

Narasi

Merti desa merupakan salah satu upacara ritual yang sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Jawa. Tradisi ini sebagai bentuk upacara ritual oleh masyarakat Desa Ngadiharjo dilaksanakan pada setiap setahun sekali, sebagai tradisi dan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Merti desa juga merupakan ritual untuk mengucapkan terimakasih atas hasil panen yang telah diterimanya, serta sebagai wahana melestarikan budaya nenek moyang yang dilaksanakan secara turun temurun kepada generasi selanjutnya.

Nguri-uri tradisi

Merti desa dilaksanakan dalam berbagai rangkaian acara seperti upacara yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat, dipimpin oleh pemerintah daerah pada wilayah desa tertentu, diikuti oleh masyarakat setempat dan pamong desa. Upacara merti desa juga sekaligus dapat digunakan sebagai media mengajak masyarakat untuk melestarikan dan nguri-uri tradisi warisan nenek moyang serta mengajak masyarakat mengambil hikmah dan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi merti desa. Dalam upacara ritual tersebut akan dijumpai berbagai macam sesaji.

Eling lan waspodho

Diharapkan masyarakat dapat menikmati hiburan atau tontonan dan mendapat tuntunan serta mengambil nilai filosofis yang terkandung di dalamnya. Seperti manusia harus selalu eling lan waspodho (ingat dan waspada), mengingat dan mengucapkan terima kasih kepada bumi yang telah memberi segalanya untuk kebutuhan manusia. Ruwatan desa dilaksanakan dengan pertunjukan wayang kulit purwa sebagai upacara tradisi masyarakat yang perlu dilestarikan.

Ziarah makam

Acara merti desa di Desa Ngadiharjo berlangsung selama 3 hari. Hari pertama melakukan ziarah ke makam masing-masing dusun. Lalu pada malam harinya akan diadakan doa bersama yang diadakan di tengah desa dengan beberapa sesaji, cok bakal, dan uba rampe yang biasa digunakan secara turun temurun.

3 Macam Sesajen

Pada dasarnya, sesajen dibagi menjadi tiga macam. Pertama, sesajen bancakan yang diperuntukkan bagi manusia dalam rangka selamatan atau doa permohonan. Biasanya berupa tumpeng atau hidangan khusus yang menimbulkan selera makan. Kedua, sesajen bebono yang merupakan sesajen yang tidak berbentuk hidangan untuk dimakan. Sesajen ini berisi bunga setaman, minyak wangi, kemenyan, dlingo, maupun bengle. Tujuannya adalah untuk menghargai makhluk hidup yang tidak kasat mata. Ketiga, sesajen pisungsung yang diperuntukkan sebagai wujud bakti kepada leluhur. Tidak selalu berupa fisik, pisungsung bisa juga berupa ucapan terima kasih atau sembah bekti. Bahkan bisa pula dilakukan dengan berziarah dan membersihkan pusara leluhur disertai dengan nyekar.

Gacok bakal

Cok (cikal) bakal (permulaan) atau gacok bakal bermakna simbol permulaan hidup yang melibatkan hubungan Tuhan dengan manusia atau sangkan paraning dumadi. Masyarakat Jawa menggunakan cok bakal sebagai media awal sebelum melakukan suatu kegiatan sebagai sarana sedekah dan rasa syukur agar diberi kelancaran. Beberapa acara atau ritual yang menggunakan cok bakal seperti awal tanam dan panen padi, pernikahan, pembangunan rumah baru, bersih desa atau sedekah bumi, tujuh bulanan, ruwahan, serta ritual adat yang lain. Beberapa barang yang digunakan untuk cok bakal berupa telur, bunga setaman, buah-buahan, jajan pasar, bumbu dapur, dan jamu atau tanaman obat yang ditempatkan dalam takir. Keberadaan telur juga bermakna awal mula kehidupan.

Uba rampe

Uba rampe mengacu pada seperangkat makanan, minuman, peranti, atau alat yang digunakan untuk ritual. Sesajen, cok bakal, atau uba rampe biasanya dimaknai sama saja. Namun sebetulnya, uba rampe adalah seluruh peranti yang dibutuhkan dalam sesajen. uba rampe digunakan untuk menyebut peranti yang dibutuhkan dalam ritual sesajen seperti kemenyan, bunga setaman, kelapa muda, tumpeng, ingkung, dan lain sebagainya. Berbeda dengan cok bakal, merupakan sajen khusus yang tidak bisa ditawar, khususnya keberadaan telur sebagai peranti utama.

Kirab

Acara di hari kedua adalah kirab yang dimulai dari Balkondes Ngadiharjo berkeliling desa dan kembali lagi ke balkondes kembali. Kirab tersebut yaitu kirab gunungan atau juga disebut kirab tumpeng menjadi rombongan iring-iringan yang membawa gunungan yang berisi hasil pertanian dan juga tumpeng. Untuk barisan terdepan adalah rombongan dengan pakaian pengantin atau pakaian tradisional diikuti dengan pembawa gunungan dan tumpeng. Di baris selanjutnya ada para sesepuh desa dan semua anggota kesenian rakyat yang ada di Desa Ngadiharjo, disusul dengan rombongan beberapa elemen masyarakat seperti lembaga pendidikan dari tingkat PAUD hingga SMA. Pada barisan terakhir ada para warga yang antusias mengikuti rombongan kirab tersebut. Setelah kirab selesai maka dilakukan ngalap berkah (berebut gunungan hasil pertanian) dan kembul budjono yang dilaksanakan di area balkondes ngadiharjo.

Wayang kulit

Pada hari ketiga akan dilaksanakan hiburan masyarakat yaitu pentas kesenian dari 5 kelompok kesenian tradisional, dan pentas seni dari semua sekolah yang ada di Desa Ngadiharjo, mulai dari PAUD hingga SMP, serta ibu-ibu PKK. Rangkaian acara merti desa atau sedekah bumi yang ada di Desa Ngadiharjo akan ditutup dengan pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Dalang dari wayang kulit tersebut juga akan memberikan 1 buah wayang kulit kepada Kepala Desa sesuai dengan tokoh utama yang akan diceritakan pada saat pertunjukan tersebut.

 

Gambar

 

Narasumber

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...