(Narasi oleh Ahmad Saeful M dan Zulfikar Maulana M)
Narasi
Kamis 19 Agustus 2021 kami mengikuti Mujadahan malam Jumat yang dilakukan oleh masyarakat Dusun Serut di kediamaan Simbah Asmain (67 tahun). Kegiatan ini dilakukan secara bergilir setiap rumah seminggu sekali pada malam Jumat. Dengan rasa yang hikmat saya mengikuti acara tersebut. Di penghujung acara saya menanyakan beberapa pertanyaan kepada sesepuh yaitu Simbah Parijo (78 tahun) sebagai tokoh masyarakat Dusun Serut.
“Punapa to mbah mujadahan niku?? “, tanyaku
“Mujadahan kuwi yo semedi !!“, sahutnya dengan suara lantang. Menurut belau mujadahan cara jawanya itu semedi meminta keselamatan, kesehatan dan ampunan kepada yang maha kuasa Allah SWT juga merupakan bukti pengabdian atau mendoakan kepada leluhur yang sudah meninggal.
Semedi
Kata beliau mujadahan tersebut bisa dilakukan secara sendiri, atau menurut cara Budha disebut bertapa. Dalam melakukannya dengan cara mengamalkan doa-doa yang telah diajarkan Nabi Muhammad SAW.
Saya pun makin penasaran lanjut bertanya, “kapan to mbah mujadahan iki ono ???”
“Wah ha nek kuwi ket jaman kakek buyut mu…!!” Simbah Parijo pun menjawab dengan nada yang halus dan jelas.
Simbah Parijo melanjutkan cerita, simbah buyut saya bernama Simbah Rais, Simbah Rais adalah cucu dari Simbah Demang Jagan yang merupakan pendatang jaman dulu yang bertugas sebagai penjaga jalan. Simbah Rais meninggal pada tahun 1956 usia 73 tahun. Sedangkan Mbah Parijo waktu itu masih kecil. Jadi di perkirakan mujadahan tersebut sudah ada sejak tahun 1930-!940an. Daerah tersebut juga merupakan pelopor kegiatan mujadahan di antara daerah-daerah lain di sekitarnya. Namun perbincangan kami pun terhenti karena simbah parijo pamit pulang untuk mendengarkan wayangan di radio
Shalawat Adrikni dan Tunjinah
Selang hari saya bertanya pada sesepuh lain yang juga merupakan keturunan Ki Demang Jagan yaitu Simbah Abu Chori (92 tahun). Saya menanyakan kembali apakah benar mujadahan di Dusun Serut itu memang pelopor di untuk desa lain, ya memang benar jawab simbah. Simbah pun bilang susunan acara kegiatan tersebut tidak pasti, sering gonta ganti. Dulu acaranya tahlil setelah itu membaca sholawat adrikni dan Solawat tunjinah namun juga pernah ganti setelah tahlil membaca surat yasin dan sekarang setelah tahlil membaca solawat tunjinah sebanyak 1000 kali.
Saya pun lanjut bertanya, “Napa mbah kok kudu malam jumat le mujadahan???”
“Yo mergo malem jumat iki malem sik suci”, Kata simbah dengan saut keras.
Simbah Abu Chori pun melanjutkan cerita, mujadahan dulu dilakukan hanya di langgar (musola) saja. Sajian makanannya pun hanya ketela godog dan wedang teh, mengapa karna dulu jaman penjajahan untuk mencari makan pun susah tidak seperti sekarang yang sudah banyak jenis makanan ringan tinggal beli di pasar, dan menurut simbah ini merupakan salah satu laku prihatin orang jawa. Ketela ini juga diambil dari warga sekitar yang menanamnya sendiri
Begitulah cerita sejarah singkat kegiatan mujadahan yang ada di Desa Bigaran. Terimakasih.
Gambar
Lokasi
Jadwal
- Tiap malam Jumat,
Relasi Budaya
Narasumber
- Simbah Asmain, 67 tahun, Sesepuh Desa Bigaran
- Simbah Parijo, 78 tahun, tokoh masyarakat Dusun Serut, Sesepuh Desa Bigaran
- Simbah Abu Chori, 92 tahun, Sesepuh Desa Bigaran