(Narasi oleh Rangga Tsalisul A. dan Loh Sari Larasati)

Narasi

Sudah lima kali mengunjiungi rumah Mbah Kaum tak pernah bisa bertemu. Akhirnya sore ini saya berniat kembali mengunjungi rumah beliau. Seperti biasanya beliau belum ada di rumah. Dengan niat yang membara saya pun diberitahu oleh istri beliau kalau Mbah Kaum sedang di sawah. Tanpa berpikir panjang saya langsung menuju sawah beliau. Menoleh kanan kiri tampak dari jauh itu seperti Mbah Kaum saya langsung menghampiri beliau.

“Mbah, maaf menggangu waktunya,” ucap saya.

“Iya mas, bagaimana?” sambil tersenyum.

“Ini Mbah, saya mau tanya-tanya mengenai tradisi ngapati Mbah, dari kemarin ke rumah simbah tidak ketemu-ketemu,” ucap saya sambil nyengir kepada simbah.

“Hehehe iya mas, saya itu ada banyak kerjaan ini,” jawab simbah sambil terkekeh.

“Ya mbah maaf menggangu waktunya sebentar boleh?”

“Ya boleh-boleh, ayooo duduk sini dulu,” Mbah Kaum mengajak saya untuk duduk di tepi sawah dengan sinar sore bergerak meredup.

Ngapati itu bagaimana to Mbah?” tanya saya.

“Jadi gini Mas, Ngapati itu berasal dari kata papat yang artinya empat. Maksud empat yaitu umur 40 hari bayi di kandungan ibu,” kata Mbah Kaum.

Menurut Mbah Kaum, bayi di alam kandungan di umur 40 hari itu ‘pepetaning manungsu iku wes komplit’ artinya bayi di dalamnya sudah seperti wujud manusia. Selain itu, di umur 40 hari malaikat meniupkan roh di alam kandungan yang artinya nyawa (sudah hidup). Disebut ngapati juga merupakan perjanjian waktu diberikannya roh di alam kandungan. Perjanjian ini berisi seperti jenis kelamin yang dimiliki (laki-laki atau perempuan), nasibnya seperti apa, berapa umur di dunia ini itu dijanjikan oleh Tuhan di saat Ngapati.

“Ohhh nggih Mbah, lajeng ubarampe wajib wonten ing Ngapati niku nopo Mbah?” tanya saya.

“Yaiku kudu onten kupat boto, kupat tumpuk, pindang boyong, jongkong srintil dan dua kelapa gading. Pindang boyong atau Talas hitam sak daune sak oyote di masak mugo mugo sok paringi lahir gampang sak ubarampene. Jongkong srintil, maksudnya nanti saat lahir diberikan kelancaran seperti semrintil koyo dijongkongake seperti klepon. Kupat Boto yaitu manembah kiblat sekawan lor kidul wetan kulon, artinya kalau mengandung tidak boleh memiliki pikiran buruk (lor, kidul, wetan, kulon) harus selalu yakin berdoa kepada Tuhan dengan satu tekad dan tujuan agar bayi terlindungi. Kupat Tumpuk menggambarkan bersatunya cinta dua anak manusia anatara ibu dan bapak. Dua kelapa gading menggambarkan seorang ibu agar lancar dalam menyusui bayinya,” Mbah Kaum menjelaskan secara rinci.

Beliau juga menambahkan bahwa dalam pelaksanaan ngapati, doa yang dipanjatkan yaitu doa keselamatan dan membaca beberapa doa tambahan yang diarahkan oleh Mbah Kaum.

Saya merasa sudah cukup dengan penjalasan singkat dari Mbah Muhadi dan suasana juga semakin gelap. Akhirnya kami pun beranjak dari sawah bersama dan pulang. Tak lupa saya ucapkan terimakasih kepada Mbah Kaum saat akan berpisah di jalan.

 

Gambar

Narasumber

  • Muhadi, 62 Tahun, Sesepuh desa, dusun Tingal Kulon desa Wanurejo

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...