(Narasi oleh: Andy Anssah dan Vinanda Febriani)
Narasi
Pada saat bayi berusia tujuh bulan, pada saat Ia sudah mulai belajar merangkak, masyarakat desa Karangrejo sebagian masih melaksanakan tradisi ngedun-dunke atau dalam bahasa lain disebut sebagai tedak siten. Tradisi ini merupakan perwujudan doa dari orang tua zaman dahulu kepada anak perempuan ataupun laki-lakinya agar kelak menjadi anak yang mampu berbakti kepada orang tua.
“Jadi, kalau ngedun-dunke itu ada ayam yang nantinya dibeirkan ke dukun bayi yang mendoakan. Jika ayam tersebut kelak manak di tempat dukunnya, berarti nanti rezeki si anak akan melimpah,” jelas Ibu Yani. Lalu si anak tersebut dijagongke di jadah yang diletakkan di sebuah wadah dari anyaman bambu supaya ketika nanti mencari rezeki, bisa kraket layaknya jadah dan tidak boros. Saat menginjak jadah, sambil dibacakan seolawat Nabi. “Kuwi supaya tekane gedhe bisa ngaji, bekti karo wong tuwa,” imbuhnya.
Jika bayi yang diberkati laki-laki, maka si bayi dipanjatkan ke tangga dari tebu. Masyarakat percaya bahwa hal tersebut bermakna agar si anak saat dewasa lebih tanggung jawab dan lancar rezekinya. “Rejekine lancar, bisa naik-naik-naik, seperti tangga,” jelas perempuan itu.
Adapun ubarampe yang digunakan adalah Jadah, larakan selengkapnya, beras kuning, jenang abang putih, kembang 7 warna, kurungan pitik, sego kluban untuk among-among. Ada juga sesajen untuk si bayi, yakni Gelang emas dan sisir supaya jika bayi perempuan menjadi cantik dan pintar bersolek, uang supaya kelak si anak pintar mencari rejeki, bolpoin, buku, potlot (pensil) agar si anak pintar sekolah, serta Al-Quran supaya kelak si anak pintar mengaji.
Gambar
Narasumber
- Ibu Yani, warga desa Karangrejo