Cerita Ddibalik Sebuah Kuliner Keong Sawah

(narasi oleh Alia Noviardita)

Narasi

Dengan kemajuan teknologi zaman sekarang, adanya handphone seolah telah merebut waktu anak anak untuk bermain diluar. Anak -anak menjadi kurang untuk bersosialisasi, jika mereka bermain keluar bersama teman temannya mereka justru menghabiskan waktu mereka untuk memainkan handphonenya. Adanya teknologi ini memang menguntungkan semua pihak dan sangat bermanfaat untuk kemajuan bangsa, namun terlepas dari itu kesehatan mental dan pola pikir anak anak juga harus diperhatikan.

Pagi itu, saya berjalan jalan menuju sawah di Desa Bigaran bersama 4 anak di Desa Bigaran yaitu Junia, Lidia, Azizah dan Rizki. Mereka terlihat sangat antusias berjalan mengikuti saya. Ketika saya sedang melihat-lihat Warga Bigaran yang sedang mengurus sawahnya, ada yang matun, nandur, macul dan lain lainnya, empat anak tersebut justru pergi ke lahan sawah milik Bapak Supami yang sudah dipanen. Bapak Supami memberitahu kepada mereka bahwa disana ada keong sawah yang amat banyak, mendengar hal itu mereka berjalan dengan membawa kantong menuju lahan yang disarankan oleh Bapak Supami. Mereka terlihat sangat senang dan antusias.

Mereka menggulungkan celananya ke atas, tanpa ragu mereka menceburkan tubuhnya ke dalam kotak sawah itu yang masih berlumpur dan ada airnya. Mereka mencari setiap  bagian sawah, di bawah tanaman padi atau di bawah air yang berlumpur. Mereka mengambil dengan tangannya dan melangkahkan kaki mereka dengan kondisi tanah yang berlumpur, tidak jarang kaki mereka susah untuk melangkahkan kakinya.

Dengan kaki dan tangan dipenuhi banyak lumpur yang menempel, mereka tetap terlihat bahagia ketika mendapatkan keong. Tidak ada rasa lelah mereka terus mencari hingga mendapatkan banyak keong sawah.

Hari semakin panas, mereka membersihkan kaki mereka di aliran air sawah. Sesampainnya di halaman rumah salah satu dari mereka, mereka istirahat. Setelah itu berencana untuk memasak keong sawah yang sudah mereka cari.

Mengolah keong

Siang harinya, mereka mulai membersihkan keong sawah. Mencuci sampai berulang kali sampai keong lebih bersih. Sedangkan yang lainya, menyiapkan tempat untuk memasak, mereka mengambil batu bata lalu dirangkai menjadi sebuah luweng kecil yang bisa digunakan untuk memasak keong. Bumbu dan alat-alat disiapkan dari rumah mereka masing-masing, ada yang bawa gula, garam, cabai, cowek dan lainnya.

Banyak anak lain menghampiri mereka untuk membantu ataupun sekedar melihat. Banyak juga ibu-ibu dan bapak-bapak yang ikut menyaksikan apa yang mereka lakukan, mereka juga memberi saran dan juga membantu persiapan memasak keong seperti mencarikan kayu bakar, menyalakan api dan lainnya.

Kemudian mereka merebus keongnya agar racun pada keong hilang dan kuman-kuman juga akan mati. Sembari menunggu, mereka saling membantu membuat bumbu-bumbu. Setelah menunggu lama keong akan terangkat semua ke permukaan dan mereka segera mengangkat keong.

Kemudian mereka memecahkan cangkang atau mengambil bagian isi dari keong tersebut dengan menggunakan lidi. Setelah semua sudah diambil daging keongnya, mereka mulai untuk memasak, yang pada hari itu akan dibuat menjadi rica-rica keong. Setelah matang, mereka meletakkan rica-rica menggunakan daun pisang yang diambil langsung di sekitar halaman.

Godog Godogan

Bersamaan dengan aktivitas ini tiba-tiba mengingatkan seorang sesepuh bernama Mbah Mulalvi untuk bercerita kepadaku mengenai keseruannya dulu saat bermain godog godogan atau masak-masakan bersama teman-temannya dulu sewaktu kecil. Menurut cerita Mbah Mulalvi, 68 tahun, zaman dulu anak anak bermain di sebuah lahan yang banyak ditumbuhi bambu atau papringan. Sebelum mereka bermain, mereka menyapu lahan tersebut sehingga tempatnya bersih lalu dibuat godog godogan. Setiap selesai bermain seperti engkling, atau lainnya, mereka merasa capek kemudian mereka masak, mereka godog godogan singkong, jangan janganan dan juga mereka suka membuat rujak menggunakan kepek diberi babal madu kucing menurut beliau, rasanya enak dan segar. Bumbunya hanya menggunakan garam, gula dan cabai yang rasanya sudah sangat enak pada zaman dulu. Mereka juga membuat lothisan menggunakan telo pendem malothok, kathes, mangga dan timun.

Godog godogan dapat diartikan kegiatan seperti memasak pada umumnya, namun anak-anak menganggapnya sebagai sebuah permainan. Di zaman dahulu, menurut cerita Mbah Mulalvi, tempat memasak untuk godog godogan menggunakan batok atau tempurung kepala.. Daun yang biasa digunakan untuk godog godogan adalah daun so, bayem, lompong dan lain lain. Ada cerita lucu dari Mbah Mulalvi yaitu tidak jarang batok mereka terbakar dan makanan yang dibuat itu juga ikut tumpah.. Zaman dulu mereka membagi alat yang akan dibawa dan bahannya. Ada yang bawa garam, cabai, dan juga yang bawa alatnya seperti cowek dan munthu.

Kebersamaan & Kreativitas

Saya senang sekali di Desa Bigaran masih ada anak anak yang mau bermain ke sawah dan tidak merasa jijik dengan kondisi sawah yang ada lumpurnya. Mereka bahkan sangat senang menikmati kebebasan dalam menuangkan ide-ide mereka dalam mencari keong sawah ini. Adanya teknologi justru tidak menghalangi mereka untuk bermain di luar bersama teman-temannya. Dengan kegiatan seperti ini dapat mengasah kreativitas mereka dan meningkatkan pengetahuan mereka.

Tidak hanya itu, dari kegiatan ini saya dapat melihat bahwa kebahagiaan zaman sekarang untuk anak-anak tidak hanya didapat dari permainan handphone saja, namun mereka bisa juga melakukan hal-hal yang mereka inginkan di lingkungannya bersama temannya adalah hal yang menyenangkan untuk seorang anak anak. Teknologi sangat bermanfaat tetapi sosialisasi dengan teman, orang tua, dan lainnya adalah sebuah budaya yang harus dilestarikan. Dari kegiatan tersebutlah tercipta tolong-menolong antar sesama, begitulah wujud dan bentuk lingkungan dalam masyarakat yang sebenarnya.

Cerita ini memberi angin segar bagi nilai-nilai budaya, karena dari ini kita tahu bahwa budaya dalam masyarakat yang harmonis, tolong menolong, berkumpul, bertukar cerita antargenerasi masih ada. Senang rasanya jika Desa Bigaran menjadi desa yang masih memperhatikan nilai budaya tersebut, walaupun teknologi sudah ada dan sudah berkembang didalam masyarakat desa namun harapannya mereka masih bisa melestarikan budayanya baik anak anak, dewasa, maupun orangtua.

Gambar

Relasi Budaya

Narasumber

  • Anak-anak Desa Bigaran
  • Mbah Mulalvi, 68 tahun, sesepuh desa ; Jaman dulu anak-anak bermain di papringan yang menjadi tempat bersama memasak keong sawah sehabis bermain.

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...