Narasi

Desa Bigaran memiliki beberapa omah tua atau rumah kuna berbentuk joglo. Seperti rumah milik Mbah Cip, yang
sudah ada sejak zaman mbah buyutnya bernama Joyo Menggolo dan diperkirakan dibangun pada tahun 1800-an.
Rumah ini sebagian besar dibuat dengan kayu nangka. Rumah kuno Mbah Cip memiliki empat saka guru yang
strukturnya terbuat dari beberapa jenis kayu seperti weru, sengon dan dadab.

Gebyok

Simbah mengalah, terus diikat di kursi, minyak yang ada di sentir disiram ke simbah

Menjadi salah satu penggalan kalimat cerita ketika kami mulai menanyai mengenai sejarah rumah yang ditinggali Mbah Cip, sesepuh dari Dusun Wonojoyo berusia 70 tahun, yang memiliki rumah tua dan masih tradisional sekali dengan gebyok. Penggalan di atas mengarah pada cerita bahwa dulu rumah pernah terkena garong/maling di tahun 1964, kala itu Mbah Cip masih duduk dibangku SMP, kemudian oleh garong atau maling Mbah Cip diikat dan disiram minyak di sekujur tubuhnya seakan-akan siap untuk dibakar hidup-hidup.

Rumah ini sudah ada sejak zaman mbah buyut dari Mbah Cip, yakni Simbah Joyo Menggolo, kemudian turun ke simbah dari Mbah Cip bernama Prawiro Senjoyo, lalu ayah dari Mbah Cip dan saat ini sampai ke Mbah Cip yang lahir tahun 1950 an. Berdasarkan sejarahnya usia bangunan ini telah mencapai kurang lebih 150 tahunan, kurang lebih pada tahun 1800an resmi dibangun, dan renovasi terakhir pada tahun 2015.

Dadap Serep

Dahulu kala Simbah Joyo Menggolo membangung tiga joglo dengan lokasi berbeda-beda di Desa Bigaran, tiga joglo tersebut dibuat untuk tiga putra dari Mbah Joyo Menggolo, salah satunya untuk Prawiro Senjoyo (mbah buyut dari Mbah Cip). Bangunan ini dibuat mayoritas dengan kayu nangka seperti gebyoknya, kemudian terdapat sekat/sekesel yang berfungsi membagi ruang menjadi dua tempat, biasanya di tengah aslinya itu kain yang membentang, namun kemudian diganti blabak oleh simbah. Seperti rumah joglo pada umumnya terdapat empat saka guru. Dahulu menggunakan kayu weru, sengon dan kayu dadap. Rumah ini dulu hanya memiliki satu pintu yang dibelakangnya terdapat engsel gede, di pintu ada tumpangane, jadi mesti jangkah atau semacam melangkahi kayu jika masuk.

“Tapi tak pikir nek ada kayu itu, semacam, jenenge dadap, dadapnya serep, serep itu artinya dingin, jadi menambah suasana dingin di dalam rumah” Mbah Cip menerangkan mengenai filosofi penggunaan kayu dadap dalam bangunan rumah

 

Gambar

Lokasi

 

Relasi Budaya

Narasumber

  • Mbah Cip, 70 tahun, Sesepuh Desa. Penggunaan kayu dadap serep untuk bangunan rumah; “Serep itu artinya dingin, jadi dadap serep ini menambah suasana dingin di dalam rumah

Sumber Lain

 

Dari Kanal

 

 

 

Ulasan...