Masyarakat Jawa hidup berlandaskan budaya spiritual Memayu Hayuning Bawana, dan memiliki tujuan hidup yang jelas, sesanti harjaning kahendran lan harjaning pati (Serat Piwulang Bahasa Jawa dalam Muslich 2016). Memayu Hayuning Bawana memiliki makna mempercantik keindahan alam semesta atau mengkonservasi alam semesta. Konsep ini sangat menekankan keselarasan hidup antara manusia dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam semesta guna memperoleh keseimbangan hidup yang berkelanjutan. Perpaduan menjaga alam secara fisik dan spiritual ditujukan untuk mendapatkan sesanti harjaning kahendran atau keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia dan harjaning pati atau menghadapi kematian dan hidup di akhirat dengan penuh ridho saking Gusti ingkang moho widi (Tuhan Yang Maha Esa).
Budaya spiritual Memayu Hayuning Bawana di tengah masyarakat Jawa menciptakan manusia yang sadar sebagai salah satu bagian dari alam semesta. Kesadaran tersebut seyogyanya menciptakan sikap yang santun, berhati-hati dan tepa sliro (tenggang rasa) dalam memperlakukan sesama manusia, alam dan segala yang ada di ngarcopodo (alam semesta). Konsep tersebut diturunkan dari generasi ke generasi di dalam masyarakat Jawa sebagai sebuah cerminan perilaku yang menyelaraskan tatanan kehidupan yang berdasar pada konsep jagad gumelar utowo jagad gede (makrokosmos) dan jagad gemulung utowo jagad cilik (mikrokosmos) (Benedict Anderson, 2008).
Berkaitan dengan konservasi air kemudian lahirlah falsafah-falsafah turunan dari konsep Memayu Hayuning Bawana diantaranya Memayu Hayuning Tirto, Memayu Hayuning Wono, dan Memayu Hayuning Samodro (Nugroho, 2018). Memayu Hayuning Tirto memiliki makna bahwa semua komponen masyarakat berkewajiban untuk menjaga, merawat atau mengkonservasikan sumber mata air seperti sungai, danau, tuk, kali, sendang dan lain sebagainya. Konservasi sumber mata air termasuk di dalamnya memanfaatkan ari dengan bijaksana sehingga bisa dinikmati oleh anak cucu di generasi mendatang.
Memayu Hayuning Wono (hutan) memiliki makna bahwa seluruh komponen masyarakat berkewajiban untuk menjaga dan merawat hutan demi terjaganya kemakmuran bersama. Karenanya manusia dilarang merusak hutan misalnya dengan cara menebang pohon atau membakar hutan secara sembarangan. Rusaknya hutan akan menyebabkan hilangnya mata air, rusaknya ekosistem dan kelangsungan hidup. Jika hutan rusak maka bencana bagi kehidupan manusia.
Sementara Memayu Hayuning Samodro (samudra) diartikan sebagai upaya memperindah, menjaga, melestarikan potensi bahari. Kekayaan yang terkandung di perairan laut seyogyanya dimanfaatkan dengan bijak lestari agar ekosistem laut tetap terjaga dengan baik. Falsafah-falsafah Jawa adalah kekayaan pengetahuan masyarakat Jawa yang mengandung unsur-unsur lokal namun bisa diimplementasikan secara universal atau biasa disebut sebagai kearifan lokal. Kearifan lokal merupakan gambaran terkait anggapan masyarakat tentang hal-hal yang berkaitan dengan struktur dan fungsi lingkungan, reaksi alam terhadap tindakan manusia dan hubungan yang sebaiknya tercipta antara manusia dan alam (Zakaria dalam Arafah, 2002).
Budaya spiritual Memayu Hayuning Bawana memanifestasi dalam laku hidup keseharian masyarakat Jawa, menjadi simbol-simbol yang memiliki makna. Masyarakat Jawa pada dasarnya tidak menyukai perkataan yang terus terang dan karena itu lebih menyukai permainan simbol atau sasmita yang memiliki makna terselubung. Dengan demikian, simbol bagi masyarakat Jawa adalah manifestasi pikiran, kehendak dan rasa yang halus. Pemikiran, sikap dan tingkah laku masyarakat Jawa banyak yang tersamar, disembunyikan namun memiliki arti jelas. Hal tersebut dikarenakan simbol dan pemaknaannya sudah disepakati bersama sebagai sebuah kontrak sosial atau konsensus (konsep kontrak sosial JJ. Rousseau) sehingga penanda dan petanda menjadi sesuatu yang sudah jelas bagi masyarakat Jawa (konsep semiotika Rolland Barthes).
Karakteristik masyarakat Jawa yang menyukai penggunaan simbol-simbol dalam menyampaikan pemikiran dan perasaan bahkan menciptakan istilah sendiri yang populer dalam budaya Jawa. “Wong Jawa anggoning rasa, padha gulenge ing kalbu, ing sasmita amrih lantip, kumawa nahan hawa nafsu kinemot manoting driya (orang Jawa itu tempatnya di perasaan, mereka selalu bergulat dengan kalbu atau suara hati, agar pintar dalam menangkap maksud yang tersembunyi dengan jalan menahan hawa nafsu sehingga akal dapat menangkap maksud yang sebenamya)” (Muslich, 2016).
Budaya spiritual Memayu Hayuning Bawana khususnya yang berkaitan dengan konservasi air (Memayu Hayuning Tirta, Memayu Hayuning Wana, Memayu Hayuning Samodro) mewujud menjadi simbol-simbol dalam berbusana. Menurut Dedi P. Suprabowo, salah satu representasi dari Dinas Kebudayaan dan Pendidikan Kabupaten Magelang, masyarakat Jawa memposisikan dan memuliakan air dengan sangat tinggi karena fungsinya yang sangat vital sehingga mewujud ke berbagai aspek baik sandang, pangan, papan dan bahkan dalam sebuah ritus.
Dalam aspek sandang, nilai-nilai konservasi air mewujud dalam pemakaian pengiket (ikat kepala) bagi pria dan semekan atau kemben bagi perempuan yang berupa kain jarik. Untuk pria, pengiket memiliki dua bentuk yakni pengiket polos dan yang memakai blumbangan. Blumbangan berasal dari kata blumbang dalam Bahasa Jawa yang berarti wadah air, bisa dimaknai sebagai kali, sendang, tuk, belik dan berbagai penyebutan wadah air lainnya. Letak simbol blumbangan seperti pada pengiket dengan motif sido mukti berada di tengah dan berbentuk persegi empat yang menandakan bahwa air memiliki fungsi yang sangat vital dalam kehidupan.
Selain pengiket dengan simbol blumbangan, juga ada pengiket tanpa simbol blumbangan atau polos. Baik pengiket dengan simbol blumbangan maupun polos sama-sama memiliki makna tersendiri. Bagi masyarakat Jawa tempo dulu, pemakaian pengiket memiliki fungsi penyampaian identitas karena pengiket dengan simbol blumbangan hanya boleh dipakai oleh pria yang sudah berumah tangga, dan pengiket polos tanpa simbol blumbangan hanya boleh dipakai bagi pria yang belum berumah tangga. Pengiket dengan simbol blumbangan, memiliki makna wadah air yang berarti bahwa pria yang sudah berumah tangga memiliki kewajiban untuk nguripi. Sementara bagi pria yang belum berumah tangga, pengiket harus berbentuk polos tanpa blumbangan seperti pengiket motif baladewa. Bentuk pengiket polos memiliki gambar di setiap tepinya yang menyimbolkan api dan bermakna sebagai semangat hidup.
Demikianlah betapa budaya spiritual masyarakat Jawa Memayu Hayuning Bawana terutama yang berkaitan dengan konservasi air (memayu hayuning tirto, memayu hayuning wono, memayu hayuning samodro) sangat dijunjung tinggi dan dimuliakan. Bentuk penghargaan terhadap air mewujud dalam berbagai aspek kehidupan, salah satunya yakni aspek sandang seperti yang dicontohkan pada pengiket pria. Dengan menggunakan pengiket yang memiliki simbol blumbangan, harapannya bisa menjadi pengingat bagi siapapun dan khususnya bagi pemakainya untuk selalu menerapkan budaya spiritual Memayu Hayuning Bawana.
Referensi:
Arafah, N. 2002. Pengetahuan Lokal Suku Moronene Dalam Sistem Pertanian Di Sulawesi Tenggara. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Benedict, Anderson, (2008). Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, Jejak Yogyakarta.
Muslich, M. (2016). Pandangan Hidup dan Simbol-Simbol Dalam Budaya Jawa. Millah: Jurnal Studi Agama, 3(2), 203-220.
Nugroho, S. S., & Elviandri, E. (2018). Memayu hayuning bawana: Melacak spiritualitas transendensi hukum pengelolaan sumber daya alam berbasis kearifan masyarakat Jawa. Prosiding Seminar Nasional & Call for Papers Hukum Transendental.
Simbol air dalam pengiket disampaikan oleh Dedi P. Suprabowo dalam Sarasehan Paguyuban Wedhang Roso: “Membangun Kehidupan Berkelanjutan Melalui Pelestarian Mata Air”. Sarasehan di lakukan pada Sabtu, 12 MAret 2022, pukul 09.00-12.00 WIB di kediaman Ki Wasis Kembang Limus.
Oleh: Chusnul C