(Narasi oleh Beni Purwandaru dan Tatak Sariawan)
Narasi
Salah satu contoh adalah kegiatan spiritual masyarakat yang sampai saat ini masih dilestarikan, yaitu “Rebo Pungkasan/Rebo Wekasan” yang dilaksakan di setiap hari Rabu ahir bulan Sapar. Dinamakan Rebo Pungkasan karena seperti nama tersebut, Rebo adalah hari Rabu, dan Pungkasan artinya ahir, yang artinya Rebo Pungkasan adalah hari Rabu akhir. Upacara Rebo Pungkasan itu sendiri merupakan adopsi dari jaman Sri Sultan Hamungkubuana I pada tahun 1784 yang tujuannya adalah sebagai rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan sebagai ritual tolak balak agar kampung terhindar dari wabah penyakit, terhindar dari mala petaka.
Menurut Mbah Kromo, sesepuh dusun Brangkal yang sudah berusia 70 tahun ini menjelaskan Isi dari ritual Rebo Pungkasan yang memiliki tata cara sebagai berikut:
Jadi sebelum ritual dilaksanakan, sesepuh dusun mengambil air dari Sendang Bunder menggunakan wadah lalu dibawa ke masjid, dan dibacakan “do’a tolak balak, dan do’a selamat. Selain itu pada malam hari Rabu, para warga melaksanakan sholat tolak balak, yaitu sholat yang dilaksanakan dua rokaat – dua rokaat sebanyak empat kali dengan menghadap ke empat penjuru arah mata angin, yang sering disebut dengan nama “Sholat Kiblat Papat”. Kemudian air dibagikan kepada warga untuk dibawa pulang dan diminum kepada anggota keluarganya. Namun sebelum membawa pulang air tersebut, sebagai simbolis, agar warga memotong sedikit rambut mereka dengan maksud membuang sesuker atau membuang sial, juga membuang nafsu-nafsu yang kurang baik. Dan itu merupakan bentuk pengharapan mereka agar dijadikan kampung yang aman, ayom, ayem, tentrem, gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem kerta raharja, kalis ing rubeda, nir ing sambikala. Mbah kromo dan sesepuh dusun brangkal juga meyakini air tersebut adalah air yang paling enak bila di masak buat air minum dibandingkan air sumur.
Gambar
Narasumber
- Mbah Kromo, 70 tahun, sesepuh desa, dusun Brangkal desa Candirejo