(Narasi oleh Nurul Amin H. dan Wasis)

Narasi

 

Pada siang hari, Saya bersama Pak Wasis pergi ke rumah Ibu Royati (43 tahun) yang yang ada di Dusun Gombong, Desa Kembanglimus untuk mencari tahu cerita mengenai Tradisi Rebo Wekasan. Sesampainya kami sampai di rumah Ibu Royati, Beliau menyambut kami dengan sangat baik. Beliau langsung mempersilakan kami untuk duduk di ruang tamu dan menyuguhkan wedhang teh kepada kami. Beliau adalah salah satu orang di Desa Kembanglimus yang mengikuti ritual pemotongan rambut rebo wekasan. Ibu Royati mengutarakan bahwa tradisi ini mirip seperti ritual ruwatan yang dilakukan secara masal.

Sesuai namanya, rebo wekasan berarti Rabu terakhir. Ada dua versi mengenai penyebutan tradisi ini, yaitu rebo wekasan dan rebo pungkasan. Rabo wekasan ini adalah salah satu tradisi yang dilakukan pada hari rabu terakhir di bulan Rejeb atau Rajab, yang berisi ritual tolak bala memohon keselamatan kepada Tuhan YME. Tradisi rebo wekasan dilakukan di masjid sekitar. Dalam pelaksaannya, rebo wekasan diisi dengan salat hajat yang dilanjutkan dengan pembacaan Surah Yasin, tahlilan, serta pembacaan kalimatut thoyyibah dan doa keselamatan di dunia dan akhirat, pada hari Selasa malam Rabu di serambi masjid Al-Ikhlas Dusun Gombong. Tradisi ini diikuti oleh semua masyarakat Dusun Gombong, mulai dari anak-anak, remaja, hingga dewasa sebagai wakil dari tiap KK (Kartu Keluarga).

potongan rambut warga di jadikan satu di mangkok yang sudah di isi air dan bunga, selanjutnya rambut di pendem/ di tanam / di kubur di sekitar masjid.

Pada hari rabu siang, prosesi dilanjutkan dengan ritual pemotongan rambut sebagai simbol menghilangkan sukerto (bala). Ritual memotong sedikit rambut semua warga, mulai dari anak-anak hingga dewasa, yang mengikuti ritual ini dilakukan oleh tokoh agama (Kaum), sesepuh dusun, atau orang yang diberi mandat oleh sesepuh dusun. Setelah melakukan ritual potong rambut, masyarakat akan meminum salamun atau air sumur yang didalamnya telah direndamkan kertas rajah. Berdasarkan penuturan Ibu Royati, setelah melakukan ritual potong rambut ini, beliau merasakan lebih “mantep dan percaya diri”. Ibu Royati mengutarakan bahwa Beliau justru merasa takut terkena bala atau sukerto apabila rambutnya belum dipotong. Potongan rambut warga kemudian dijadikan satu di sebuah mangkuk yang sudah di isi air dan bunga, selanjutnya rambut dipendem atau ditanam di sekitar masjid. Kini, tradisi pemotongan rambut sebagai simbol tolak bala ini sudah mulai ditinggalkan, seiring dengan meninggalnya sesepuh-sesepuh desa yang memimpin prosesi ritual pemotongan rambut.

Selain ritual potong rambut, pada rebo wekasan, setiap warga umumnya akan membuat satu pancenan yang dipersembahkan untuk leluhur yang telah mendahului. Isi pancenan tersebut disediakan oleh pemilik rumah dan diletakan di dalam kamar nenek atau kakek yang sudah meninggal. Saat Kami mengunjungi kediaman Ibu Royati, Beliau mempraktikkan cara membuat pancen dengan bahan yang sudah ada dirumah. Isi dari pancenan tersebut adalah uncet (tumpeng), golong (kepalan nasi putih berbentuk bola), jajanan pasar, sayur, buah-buahan, air putih, kopi pahit, dan teh pahit. Disediakan juga uang sebesar Rp1.000,- serta satu batang rokok.

 

Gambar

Narasumber

  • Ibu Royati, 43 tahun, Pelaku budaya, Dusun Gombong Desa Kembanglimus

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...