(oleh Mifti Anjani dan Erwanudin)

Narasi

Simbah Nur Ahmad, seorang sepuh yang saya temui pada sore itu. Dari rumah sudah saya niatkan untuk sowan beliau, menanyakan seputaran sholawatan jowo yang saat ini di sepuhi oleh Mbah Nur ini. Sore itu saya berangkat pukul 15.30, berharap sore itu simbah sudah pulang dari ladang. Sesampainya di rumah mbah nur, rumah masih suwong, menandakan pemilik rumah sedang tidak ada di rumah.

“kulonuwun, mbah…” seru ku di depan dan di samping rumah beliau.

Kemudian terdengar sautan dari kejauhan,

“mbak mifti?” Tanya orang tersebut, seorang ibu paruh baya yang rumahnya di samping rumah mbah nur.

“enggeh, mbah nur enten mboten nggeh?” tanyaku menjawab pertanyaan

“mbah nur jeh besik, neng ngalas kulon kae. Pinarak gen kulo riyen”

Saya berjalan mendekati ibu tersebut, jujur saya tidak tahu nama beliau walau beliau mengenali saya. Saya salami ibu tersebut, disambutnya uluran tangan dari saya. Kami pun berbincang-bincang sambil menunggu mbah nur pulang dari ladang.

Waktu sudah semakin sore tapi mbah nur belum juga terlihat pulang dari ladang. Sempat saya berpikir untuk pulang dulu dan kembali esok hari. Tetapi tidak lama kemudian mbah Mur pulang, tidak membawa rumput hanya berjalan santai menuju rumahnya. Saya sapa beliau, dan kemudian beliau memohon diri untuk membersihkan badan terlebih dahulu.

Selang sekitar 20 menit, mbah Nur membukakan pintu rumahnya, mempersilahkan untuk masuk ke dalam rumah beliau. Rumahnya dari luar sudah terlihat seperti rumah modern, tetap di dalamnya masih sangat terasa rumah jawanya, dimana tengah-tengah rumah terdapat 4 pilar besar yang dinamakan soko guru, ruang tamunya luas sangat identic dengan rumah jawa. Di sudut ruang tamu terdapat satu set meja dan kursi yang terbuat dari kayu. Dipersilahkan saya untuk duduk di bangku kayu tersebut.

Hari sudah semakin sore, dan langsung saja saya tanyakan kepada beliau seputar berbagai hal tentang apa itu Sholawatan Jowo.

Kitab al Barzanji

Menurut mbah nur, sholawatan jowo merupakan sebuah kesenian sholawatan kuno. Syair-syairnya menggunakan kitab al barzanji. Tetapi meskipun tulisanya arab cara menyanyikannya tidak berbahasa arab, melainkan dengan aksen jawa. Alat musiknya menggunakan terbang, ketipung dan Jedor. Ada yang menyanyi dan ada pula yang memainkan alat musiknya.unikya dalam memainkan alat musik tersebut, menurut beliau tidak ada rumus khusus, hanya yang penting enak di dengar.

Mbah Kastomo

Awal mula dahulu di Desa Kenalan ada sholawatan jowo itu diajarkan oleh seorang sepuh bernama Mbah Kastomo. Menurut Mbah Nur sendiri, kesenian sholawatan jowo ini sudah diajarkan sejak Mbah Nur kecil, sedangkan usia Mbah Nur saat ini sudah memasuki usia 72 tahun. Sejak beliau kecil selapan sholawatan jowo ini sudah dirintis dan masih lestari sampai saat ini.

Selapan sekali

Selapanan sholawatan jowo ini dilaksanakan pada tiap malam minggu (legi) dengan penanggalan jawa. Selapanan ini terbuka bagi siapa saja, bahkan bagi masyarakat nonmuslim dusun Gempal juga ada yang menjadi kelompok tetap dalam kesenian tersebut. Lokasi rumah yang digunakan sebagai tempat selapanan tidak pernah bergantian, selalu di rumah Bu Sum (Kemloko I, Desa Kenalan), atau tepatnya di bawah rumah Mbah Nur.

Nguri-uri

“yang muslin, yang non muslim masih mau nguri-uri budaya sholawatan jowo ini.. tetapi hanya yang tua-tua. Yang muda belum ada yang konsisten mengikuti, ya kadang ada yang ikut tapi hanya sesekali” tutur Mbah Nur saat saya tanyakan bagaimana kondisi atau peran anak muda setempat pada kesenian tersebut. “mungkin karena durasi kegiatanya lumayan lama jadi yang muda-muda belum mau ikut, yak an biasanya kalau anak muda pengenya yang cepet-cepet to?” sampung Mbah Nur dengan memberikan pertanyaan kepada saya.

“hehehe, enggeh mbah.. nek pun kesuwen sitik mangkeh njok sami ngantuk”  jawab saya pada beliau.

4 sd 5 jam

Menurut mbah nur, salah satu alasan mengapa kaum muda belum mau berpartisipasi adalah karena durasi pelaksanaan kegiatan tersebut lumayan lama sekitar 4-5 jam jadi wajar yang muda-muda itu belum sabar kalau mengikuti prosesi yang lama seperti itu.

Roso Guyup

Sedangkan alasan mengapa masyarakat muslim dan nonmuslim ini dapat bersama-sama melestarikan budaya ini adalah karena adanya Roso guyup antar masyarakat satu sama lain. Serta karena sholawatan ini adalah unsur kesenian dan kebudayaan, yang mana di dalamnya terdapat nasihat-nasihat sebagai bekal menjalani kehidupan bersosial dengan sesama mahkluk-Nya.

Gambar

Lokasi

map

Narasumber

  • Mbah Nur, 72 tahun, sesepuh desa, pelaku budaya, desa Kenalan

Agenda rutin

  • Tiap Ahad/ Minggu Legi, Selapan (penanggalan jawa) sekali

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...