(Narasi oleh Lukman Fauzi Mudasir dan Diyah Nur Arifah)

Narasi

Pagi yang cerah aku sengaja berjalan-jalan menyusuri tegalan untuk bertemu Mbah Saodah. Beliau adalah seorang petani yang mengerjakan tanah bengkok dari pemerintah Desa Borobudur yang berada di Dusun Kaliabon. Lokasi tanah bengkok itu biasa disebut sumber.

Sek nopo mbah? Kok kiambakan.” (lagi apa mbah?) tanyaku sebagai sapaan atau pembuka pembicaraan ketika bertemu dengan Mbah Saodah di tegalan. “Iki lagi ngresiki suket, hayo iki ndengaren kok do ora nang tegal mbuh nopo” (ini lagi membersihkan rumput, ya ini tumben kok tidak pada tidak ke tegal entah kenapa) jawabnya singkat. Kemudian aku duduk menghampiri beliau dan kami mengrobrol. Aku menanyakan mengenai tanah bengkok yang terkenal angker “werit” tersebut. Usut punya usut ternyata tanah bengkok itu ada hubungan erat dengan kelurahan Borobudur. Terlebih pada bulan sapar yang biasanya pemerintah Desa Borobudur wajib mengadakan tasyakuran berupa arak tumpeng dan wayangan. Apabila pemerintah Desa tidak melakukan itu maka penunggu sumber tersebut akan mengamuk. Biasanya yang kena adalah keluarga yang “nggarap” sawah atau tegalan bengkok tersebut. Pernah suatu ketika pemerintah Desa tidak mengadakan wayangan ketika bulan sapar, alhasil anak dari ibu Saodah mengalami gangguan mistis yang sampai dicarikan obat kesana kemari (srono) tidak mempan karena penunggu sumber sangatlah kuat dan banyak. Tidak hanya itu, salah satu warga Desa Borobudur juga ada yang menjadi korban. Dia digantung di pucuk pohon beringin yang berada di kawasan Candi Borobudur oleh makhluk tak kasat mata. Semenjak kejadian itu setiap bulan sapar pemerintah Desa Borobudur tidak berani meninggalkan tradisi arak tumpeng dan wayangan.

Belik

Di samping sumber terdapat mata air. Masyarakat lokal menyebutnya belik dan pancuran. Kedua tempat tersebut sering digunakan bersih-bersih oleh orang yang berada di sawah bahkan mandi dan mencuci pakaian warga dusun sekitar karena akses jalan sudah memadai. Belik dan pancuran tersebut tidak kalah mistis sebab dalam belik terdapat ular yang sangat besar dengan tubuh tidak sempurna yaitu tidak memiliki ekor. Ular gaib itu sering muncul ketika malam hari dan tidak semua orang bisa melihat penampakan ular tersebut. Ular gaib ini diyakini sebagai penunggu belik tersebut.

Pohon Pule

Dulu disamping belik tepatnya pojok kanan atas terdapat pohon beringin besar yang diyakini warga sekitar banyak penunggunya. Namun 2 tahun yang lalu (2019) pohon tersebut roboh dan merusak bangunan belik disampingnya. Menurut Mbah Saodah penunggu pohon tersebut sekarang dipindahkan ke pohon pule yang berada di atas pancuran. Ada yang unik di pohon pule yang dianggap sebagai perpindahan tempat tinggal mahluk penunggu sumber dan belik tersebut. Setiap pukul 10.00 pagi menjelang siang banyak burung emprit yang berterbangan hilir mudik di atas pohon pule tersebut. Proses pemindahan mahluk gaib penunggu sumber dan pohon beringin dilakukan oleh almarhum suami Mbah Saodah dengan berbagai ritual. Salah satunya adalah dengan membakar menyan dan menyiapkan sesajen kembang boreh. Dengan tujuan supaya mahkluk penjaga tidak mengganggu warga sekitar. Tak lama setelah pohon beringin roboh suami mbah Saodah pun wafat. Menurut mbah Saodah suaminya wafat karena terkena sawan dari sumber (makhluk gaib penunggu sumber dan belik).

“Mbahmu kui pas digowo nang rumah sakit posisi raisoh opo-opo kok iso-isone omong arep ngajak gelut, terus tangi seko peturon” (simbahmu itu saat dibawa ke rumah sakit kondisinya tidak bisa apa-apa kok bisa-bisanya bilang akan mengajak bertarung, terus bangun dari tidur) ceritanya sangat yakin. “Aku terus tulung-tulung karo kamar sebelahe wong panik yo wedi, bola bali nyebutke sumber terus” (Aku terus minta tolong sama kamar sebelahnya karena lagi oanik ya takut, berkali-kali menyebutkan sumber terus) pungkasnya.

Tumpeg among-among

Beliau juga bercerita mengenai bahayanya apabila melanggar tradisi yang sudah ada dan dijalankan untuk menghormati penjaga sumber. Mengingat penjaga sumber sangat sensitif maka beliau selalu menjalankan tradisi-tradisi yang disuruh suaminya. Sejak Mbah Saodah menikah hingga suaminya meninggal ia tidak pernah meninggalkan tradisi untuk menghormati penunggu sumber tersebut. Setiap panen maka beliau membuat wiwit dan genduren di rumahnya dengan mengundang tetangga sekitar. Setiap akan panen pula beliau membuat among-among untuk menghormati penunggu belik (ular yang tak sempurna) supaya air tetap berlimpah dan semua terlindungi dari mara bahaya.

Angker

Angkernya tempat tersebut membuat tidak banyak orang yang sanggup untuk merawat (nggarap) sawah bengkok tersebut. Ditambah luas sawah yang orang jawa biasa menyebutnya rong kesuk yaitu sangat luas kurang lebih 2000 meter. Namun setelah meninggalnya Mbah Saripin (suami Mbah Saodah) kini bengkok tersebut dikelola oleh orang luar dusun Kaliabon mengingat mbah Saodah juga sudah sepuh. Saat saya tanya berapa umurnya bahkan dia tidak tahu, dia hanya mengatakan waktu gestok PKI beliau sudah kelas 5 SD. Jadi saya simpulkan umur beliau sekarang kurang lebih 68 tahun.

 

Gambar

Lokasi

[map

Narasumber

  • Mbah Saodah, 68 tahun, sesepuh desa Borobudur

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...