(Narasi oleh Nurul Amin H. dan Wasis)
Narasi
Hitungan kalender Jawa memiliki penyebutan yang berbeda dengan penyebutan kalender Masehi. Dalam perhitungan kalender Jawa, awal tahun baru jatuh pada wulan Suro, sasi Suro, atau Asyuro. Perayaan tahun baru Jawa yang juga merupakan tahun baru Islam ini disebut dengan suran. Secara umum, rangkaian pelaksanaan suran oleh masyarakat Desa Kembanglimus terdiri atas permintaan doa pergantian tahun, pembacaan berjanjen, istighasah, kirab budaya, puncak suran, dan jamasan.
Doa Pergantian Tahun
Doa Akhir Tahun
Ritual yang pertama kali dilakukan dalam menyambut tahun baru di bulan Suro adalah memanjatkan doa akhir tahun. Sebagaimana dianjurkan dalam syariat Islam, sebelum ditutupnya tahun yang sedang berjalan, sebaiknya memanjatkan doa penutup tahun. Bertempat di masjid Al-Ihlasul Iman, ibadah tersebut juga dilaksanakan oleh masyarakat Desa Kembanglimus. Para leluhur Desa Kembanglimus memanjatkan doa tutup tahun ini pada sore hari sebelum suruping srengenge (tenggelamnya matahari), sedangkan saat ini ibadah doa penutup tahun dilaksanakan setelah Ashar menjelang Maghrib.
Doa Awal Tahun
Ritual selanjutnya adalah memanjatkan doa awal tahun bersama-sama, menyambung ibadah doa tutup tahun yang dilakukan sebelumnya. Doa awal tahun yang dipimpin oleh Bapak Kaum atau sesepuh dusun ini juga dilakukan secara komunal di masjid. Karena masih merupakan satu rangkaian dengan ibadah doa tutup tahun, doa awal tahun ini biasanya dilakukan selepas salat maghrib bersama warga yang masih ingin melaksanakannya. Sebagaimana doa tutup tahun, tidak ada perbedaan waktu pelaksanaan yang signifikan antara dulu dan sekarang. Dulu, para leluhur memanjatkan doa awal tahun pada sore hari setelah suruping srengenge (tenggelamnya matahari), sedangkan saat ini dilaksanakan setelah Maghrib sebelum Isya.
Berjanjen
Membaca Kitab Al-Barzanji dengan Iringan Rebana
Tradisi suran dilanjukan dengan kegiatan berjanjen atau pembacaan kitab Al-Barzanji. Diiringi tabuhan rebana, masyarakat Desa Kembanglimus melantunkan isi Kitab Al-Barzanji dengan irama tertentu. Di dalam kitab ini, dikisahkan riwayat hidup Nabi Muhammad SAW. mulai dilahirkan hingga diangkat menjadi Rasul. Di dalamnya juga berisi pujian/sanjungan dan mahabah kepada Muhammad sang Rasul. Kegiatan berjanjen ini dilakukan sebagai wujud ekspresi atas kecintaan kita kepada Rasulullah Nabi Muhammad SAW.
Istighasah
Setelah memanjatkan doa awal tahun kepada Allah SWT. dan melantunkan puji-pujian kepada Nabi Muhammad kekasih Allah, ritual dilanjutkan dengan kegiatan Istighosah pagi pada keesokan harinya. Diawali denganbertawasul atas Nabi Muhammad SAW, Syekh Abdul Qodir Jaelani, Nabi Khidir AS, dan Nabi Ilyas, kemudian dilanjutkan dengan bertawassul atas Cikal Bakal (Kiai Gombong dan Nyai Gombong), pepunden Kiai Karing dan Nyai Karing, simbah Mudhakir, dan arwah leluhur mbah buyut ke atas dan mbah buyut kebawah, almarhum ibu dan/atau bapak, serta kepada semua leluhur yang sudah mendahului.
Setelah itu kegiatan dilanjutkan dengan membaca Al-Fatihah, Al-Falaq, An-Nas, Al-Ikhlas, Selawat Nariyah dan Selawat Nabi, membaca tahlil, kemudian ditutup dengan doa khusus istighasah.
Kirab Budaya
Festival Budaya dan Kirab Potensi Desa Kembanglimus
Bentuk perayaan Suran selanjutnya adalah kirab budaya dusun-dusun se-Desa Kembanglimus. Dalam kirab ini ditampilkan bermacam-macam potensi kesenian, kuliner, kerajinan, dan pertanian Desa Kembanglimus. Selain potensi dusun, kadang kala ditampilkan pula ogoh-ogoh agar kirab yang dilaksanakan lebih menarik dan meriah. Biasanya, kegiatan ini dilaksanakan dan dipusatkan di Balkondes Desa Kembanglimus di bawah monitoring Kepala Desa (Kades) dan perangkat desa. Sayangnya, untuk sementara waktu kegiatan ini tidak dapat dilaksanakan sejak adanya pandemi Covid-19.
Puncak Suran
Mujahadah, Kembul bujono
Puncak Suran terjadi pada tanggal 10 Suro atau 10 Muharam. Kegiatan yang dilakukan biasanya berupa mujadahan (mujahadah) atau ritual mengirim doa kepada Allah SWT. dan permohonan maaf untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan para leluhur. Mujahadah kemudian diakhiri dengan kembul bujono atau makan bersama. Kembul bujono dimulai dengan memakan jenang suro, meskipun hanya sepucuk sendok, barulah dilanjutkan dengan kegiatan makan bersama. Biasanya, pada tanggal 10 Suro ini masyarakat melakukan usapan dan memberi shodaqoh (sedekah) atau santunan kepada anak yatim. Kegiatan ini bisa di lakukan sendiri atau bersama-sama, baik di pondok-pondok pesantren atau di tempat yang sudah disepakati.
Santunan anak yatim
Kegiatan menyantuni anak yatim tersebut dilakukan sebagai pengingat rasa duka dan prihatin atas terbunuhnya cucu Nabi Muhammad SAW. dan keluarganya pada tanggal 10 Muharram. Selain itu, perhatian yang diberikan kepada anak yatim melatih kepekaan sosial dan solidaritas kepada sesama, khususnya anak yatim piatu. Sebelum adanya pandemi Covid-19, kegiatan ini dulunya biasa dilakukan di desa Kembanglimus yang berpusat di Dusun Bumen.
Bagi sebagian masyarakat Jawa, bulan Suro memiliki arti penting sebagai bulan yang sakral. Oleh karena itu, ada laku tersendiri yang biasa dikerjakan oleh sebagian masyarakat Desa Kembanglimus dalam menyambut tahun baru Jawa tersebut, yang terangkum dalam tradisi suran. Sebagian masyarakat masih meyakini bahwa tradisi suran adalah sarana untuk lebih mendekatkan diri pada Sang Hyang Agung dan memperbarui kekuatan diri yang sering disebut nuakke.
Mandi 7 Mata Air
Tradisi suran ini bersifat sakral dan tertutup bagi beberapa orang. Di Desa Kembanglimus, suran diawali dengan ritual mandi dari tujuh mata air, yaitu Kali Gede, Kali Njumbleng, Kali Cangkring, Dong Tampah, Air Sumur, Mbelik Ndolawe dan Kali Pancuran atau Ngebuh. Air yang telah dikumpulkan dari ketujuh tempat tersebut disatukan dalam satu wadah dan digunakan untuk mandi. Beberapa orang juga menambahkan mrico bolong (merica berlubang) yang sebelumnya telah direbus dengan air tujuh sumber tadi. Merico bolong ini umumnya dapat ditemui di toko rempah-rempah.
Makna ritual mandi
Bagi orang-orang yang melaksanakannya, ritual mandi ini memiliki tujuan yang lebih dari sekadar pembersihan badan. Selain untuk membersihkan kotoran yang ada pada raga, ritual ini juga bertujuan membersihkan kotoran yang ada di jiwa. Ritual mandi ini dipercaya dapat menolak bala sehingga dapat terhindar dari berbagai macam penyakit dan menentramkan jiwa. Adapun tambahan mrico bolong digunakan karena dipercaya dapat memperpanjang umur. Ritual mandi tujuh sumber air ini tepatnya dilakukan pada malam satu Suro pukul 24.00 WIB. Prosesi tersebut merupakan ritual pribadi dan tidak dilakukan secara komunal.
Tirakatan
Alm. Simbah Kromo Tani—Beliau meninggal pada usia 130 tahun—adalah salah satu orang yang mempraktikan ritual mandi merica bolong semasa hidupnya. Ritual mandi ini biasanya diikuti dengan ritual tirakatan hingga pagi hari. Tirakatan adalah proses meniatkan diri menahan kantuk (tidak tidur) sambil merapalkan beberapa doa. Dalam pelaksanaannya, seseorang tidak boleh melanggar molimo yaitu minum minuman keras, maling atau mencuri, madhat (menggunakan sabu-sabu dan obat terlarang lainnya), dan medok yang artinya mempermainkan perempuan agar kekuatan spiritual yang dimiliki tidak berkurang.
Jamasan Pusaka
Ritual menjamasi pusaka atau membersihkan pusaka, biasanya dimulai pada pagi hari pada tanggal 1 Suro, dan diselesaikan pada tanggal 10 Suro. Pusaka yang biasa dijamasi di antaranya, yaitu keris, tombak, dan pedang. Pusaka tersebut dapat dijamasi sendiri oleh pemiliknya, atau meminta orang lain untuk melalukan ritual tersebut. Tujuannya, antara lain adalah untuk nguri-uri atau merawat tinggalan leluhur, mengembalikan Pamor yang dimiliki pusaka tersebut supaya tetap lestari dan awet, serta mengembalikan dan menambah kekuatan khodam yang ada pada pusaka tersebut. Di samping itu, ada juga yang melakukan ritual jamasan karena weling atau ingat terhadap pesan/wasiat yang disampaikan pemilik pusaka sebelumnya sebelum meninggal.
Ngekum keris
Jamasan pusaka diawali dengan proses ngekum keris (merendam keris). Pusaka yang akan dijamasi dipisahkan dari rongko atau rangka dan gagangnya, setelah sebelumnya menyediakan tempat untuk merendam keris, tombak, dan pedang. Wadah air yang digunakan dalam prosesi jamasan dibuat dari satu ruas bambu gombong. Daun nanas yang di potong-potong kecil juga digunakan untuk menghilangkan teyeng atau kerak. Proses perendaman dilakukan dari tanggal 1-9 Suro. Setelah itu, keris diangkat, dibersihkan, sisikat menggunakan serabut kelapa, dan dibilas dengan air biasa. Pusaka yang telah dikeringkan selanjutnya dilumuri dengan perasan jeruk nipis. Pusaka kemudian dikeringkan dengan kain lap dan ditunggu hingga esok hari.
Air kembang setaman
Prosesi selanjutnya adalah menjamasi. Prosesi ini dilakukan pada tanggal 10 Suro. Dalam ritual jamasan, ada beberapa hal yang harus disediakan, di antaranya yaitu kembang setaman (kembang kantil, mawar, kenanga, melati), air kelapa, dan minyak. Pusaka yang sebelumnya telah di-kum selama sembilan hari kemudian dijamasi atau dicuci menggunakan air kelapa yang di campur wewangian berupa kembang setaman. Salah satu tujuannya adalah untuk membuat sang penunggu pusaka merasa nyaman. Setelah dijamasi dengan air kembang setaman, pusaka dikeringkan menggunakan kain putih atau mori dan diolesi menggunakan minyak dan kemudian disimpan kembali.