(Narasi oleh: Andy Anssah dan Vinanda Febriani)

Narasi

Syawal merupakan bulan yang istimewa bagi umat Islam. Pasalnya, 1 Syawal merupakan peringatan Hari Raya Idul Fitri yang sangat sakral. Pada tanggal 1 bulan Syawal, masyarakat melaksanakan salat Idul Fitri di masjid dusun. Namun, sebelum itu, pada pagi hingga menjelang sore penghujung bulan Ramadhan, masyarakat muslim melaksanakan kewajiban membayar zakat fitrah terlebih dahulu di masjid terdekat. Setelah itu, pada malamnya, mereka melaksanakan takbir keliling dusun dengan pawai obor. Di masjid, suara takbir menggema menggetarkan dada tiap insan yang mendengarnya.

Pagi hari pukul 06:00 WIB, masyarakat Dusun Kurahan berbondong-bondong menuju masjid untuk melaksanakan salat Ied. Masjid terlihat sesak, bahkan karpet digelar hingga ke halaman masjid sebab penuh oleh masyarakat dusun dan keluarganya yang mudik dari tanah rantau. Wajah para jemaah tempak ceria dan berseri-seri merayakan bulan yang suci.

Selepas salat Ied, biasanya sebelum pulang beberapa sesepuh dusun melaksanakan tahlilan dan ngepung kenduri berupa nasi tumpeng, kluban, dan ingkung di masjid. “Jadi, dari masyarakat sebagian ada yang membuat kepungan atau ambeng lalu dimakan dan dikembul setelah salat Idul Fitri,” ungkapnya.

Selesai ngepung, mereka kembali ke rumahnya masing-masing kemudian bersiap untuk badan mengelilingi kampung dari rumah ke rumah untuk bersilaturahmi dan saling meminta maaf. Badan sendiri berasal dari kata berbahasa Arab ba’da yang bermakna selesai, sehingga tradisi badan ini dilaksanakan seusai salat ied. “Tradisi badan biasanya masyarakat keliling dari satu rumah ke rumah lain untuk saling silaturahmi dan memohon maaf. Ngaku lepat, maka disimbolkan dengan kupat. Maka kalau orang bisa mengambil pelajaran dari kupat, tidak ada masyarakat yang mau menang sendiri,” lanjut Pak Huri.

Dalam badan, masyarakat mendahulukan unggah-ungguh atau tata krama dalam bertamu dan berbicara terhadap orang yang lebih tua. “Cara orang muda menghormati orang yang lebih tua dengan menggunakan bahasa halus yang tidak menyinggung kepada orang lain, diantaranya “Sepindah kawula sowan mriki ngaturaken sembah sungkem (Saya datang ke sini untuk memberi hormat)”. Artinya, kita memberikan hormat kepada yang lebih tua.Kaping kalih ngaturaken sedoyo kalepatan ingkang dzahir saha bathos, saestu nyuwun agenging pangapunten (Yang kedua adalah mengakui semua kesalahan yang tampak dan tidak tampak, benar-benar meminta maaf sebesar-besarnya)”, itu sebagai  implementasi dari kupat atau ngaku lepat. Kemudian yang ketiga adalah memohon doa dan restu kepada orang tua,” imbuhnya.

Namun, Pak Huri menyayangkan, anak-anak sekarang sudah jarang diajari tata krama demikian. Pada saat badan biasanya mereka hanya diajarkan untuk salim saja. “Tapi anak sekarang cuma salaman aja, karena orang tua kurang memberikan pengetahuan kepada anak-anaknya,” pungkas Pak Huri.

Gambar

Narasumber

  • Pak Ashuri, Dusun Kurakan

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...