(Narasi oleh Jiyomartono dan Nurudin)

Narasi

Bojong merupakan sebuah dusun di Desa Wringinputih masih memiliki banyak lahan pertanian dan perkebunan yang luas. Selain itu, banyak pohon bambu dan pohon besar lainnya yang tumbuh dengan subur sehingga membuat warga dusun ini hidup menyatu dengan alam. Suatu hari kami berjalan jalan menikmati perjalanan di kebun bambu yang rindang, beberapa kali kami berpapasan dengan seseorang yang menyunggi batu dan ibu-ibu yang menggendong tenggok berisi batu, membuat kami penasaran sehingga perjalanan dilanjutkan menyusuri jalan setapak menuju Sungai Progo. Air sungai ini berasal dari mata air gunung Sumbing dan penyatuan dari beberapa sungai kecil ribuan tahun lalu. Gunung yang aktif kemudian menghasilkan batu, kerikil, pasir dan abu sampai saat ini masih banyak terhampar di Sungai Progo terutama daerah yang menjadi pertemuan antara dua sungai yang sering disebut  Klathakan.

Klathakan

Klathakan ini merupakan sumber ekonomi sebagain masyarakat desa. Batu  yang melimpah dimemanfaatkan untuk diambil dan dibawa pulang sebagai bahan pondasi rumah atau membuat split yakni campuran bahan untuk cor bangunan berupa batu batu berukuran kecil yang di pecah.

Buruh Perempuan

Menurut Ibu Parini yang menekuni pekerjaan sebagai pemecah batu ini menjelaskan bahwa beliau mengambil batu ini dengan cara diletakan ditenggok kemudian digendong dengan pengikat berupa jarik. Setelah batu terkumpul di depan rumah beliau memulai memecah batu dengan mengambil alat kolong yang terbuat dari ban bekas. Beliau meletakkan batu kecil di atas batu besar sebagai alas agar batu  yang akan dipecah tidak bergeser dan setelah pecah tidak meloncat jauh sehingga tidak mengenai badan terutama mata. Tangan kiri mengambil batu kemudian memegang kolongan sedangkan tangan kanan memegang martil kemudian diayunkan dengan keras sehingga batunya pecah. Dengan irama dan kecepatan yang teratur, ibu ini memukul batu sehingga menimbulkan suara thik thik thik thik sehingga pekerjaan ini disebut thitik watu.

Ibu Rumah Tangga

Dalam kesehariannya, Ibu Parini bekerja sebagai ibu rumah tangga sehingga beliau mengerjakan tithik batu setelah pekerjaan sebagai ibu rumah tangga sudah selesai. Dalam waktu satu hari, beliau bisa memproduksi 3 tenggok batu pecah. Beliau menjual hasil tithik batu di pinggir jalan dekat rumahnya. Banyak masyarakat sekitar yang membangun rumah dengan membeli batu thithikan dari ibu Parini yang dibuat sebagai campuran cor bahkan terkadang ada pembeli jauh dari luar Desa Wringinputih.

 

Gambar

Lokasi

map

Narasumber

  • Ibu Partini, Pekerja Thitik watu, Dusun Bojong Desa Wringinputih

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...