(Narasi oleh Haidar Imama dan Habib Safrodin)

Narasi

Masyarakat Jawa dalam proses momen kehidupannya selalu memiliki tradisi yangg harus dilaksanakan. Hal ini dilakukan selain bentuk syukur juga sebagai doa agar terhindar dari keburukan dalam proses kehidupannya. Desa Ngadiharjo memiliki beberapa tradisi daur hidup yang sampai sekarang masih dilestarikan, seperti mapati.

Mapati

Upacara mapati atau ngapati adalah ritual upacara adat untuk ibu yang sedang mengandung pada usia 4 bulan yang berupa selamatan kenduri yang umumnya digelar di rumah orang tua ibu calon bayi atau tempat tinggal pasangan suami istri. Isi sesaji selamatan berupa nasi megono, bubur abang putih, dan kupat sumpel. Walau isinya sama-sama beras, perbedaan kupat biasa dan sumpel adalah bentuknya yang berupa limas segitiga, wajik, arem-arem, klepon, kue mendut, dan cenil. Yang membedakan tradisi ini dari upacara adat kehamilan lainnya yakni terdapat sajian kupat. Pada kenduri ngapati, kupat dimasukkan ke dalam besek (wadah dari bambu) yang dibawa pulang oleh tamu undangan. Upacara adat ngapati atau mapati ini harus diselenggarakan pada hari yang baik menurut perhitungan tanggal Jawa.

Mitoni

Mitoni adalah ritual upacara adat untuk ibu yang sedang mengandung pada usia 7 bulan. Bayi dalam kandungan yang berusia 7 bulan dianggap sudah melampaui masa kritis, maka perlu dilakukan upacara peringatan yang disebut dengan mitoni. Istilah mitoni sendiri berasal dari bahasa Jawa “pitu” atau tujuh. Unsur-unsur dalam upacara Mitoni selalu berjumlah tujuh. Inilah yang melambangkan usia bayi dalam kandungan ibu. Perlengkapan upacara mitoni yaitu seperti jenang 7 buah, 7 tumpeng pada bulan kehamilan ketujuh, mengenakan 7 macam motif kain dan yang terakhir adalah disiram dengan air dari 7 sumber yang berbeda. Selain itu ada ritual khas di acara mitoni yaitu mecah kendil yang sudah diisi beberapa sesaji.

Mendhem ari-ari

Pasca melahirkan, maka tradisi yang perlu dilakukan adalah mendhem air-ari. Sebuah prosesi menguburkan ari–ari dengan memasukkannya ke dalam kendil dan dibungkus dengan kain putih dan daun talas, biasanya dilakukan oleh sang ayah. Selanjutnya tempat mengubur ari–ari diberikan tutup dan lampu agar tidak dimakan hewan dan agar mendapatkan pencerahan dan bisa selalu menuntun sang bayi ke arah yang baik. Biasanya diberikan pencahayaan berupa lampu minyak selama 35 hari.

Puputan

Kemudian tradisi puputan merupakan tradisi yang dilakukan dalam rangkaian kelahiran seorang anak. Upacara ini menandai putusnya tali pusar si bayi (puput). Waktu untuk penyelenggaraan upacara ini bergantung pada lama dan tidaknya tali pusar si bayi lepas dengan sendirinya. Sesajian (makanan) yang disediakan dalam upacara puputan antara lain nasi gudangan yang terdiri dari nasi dengan lauk pauk, sayur-mayur dan parutan kelapa, bubur merah, bubur putih dan jajan pasar. Puputan ini juga ditandai dengan dipasangnya sawuran (bawang merah, dlingo bengle yang dimasukkan ke dalam kupat), dan aneka macam duri kemarung di sudut-sudut kamar bayi. Selain sawuran, dipasang juga daun nanas yang diberi warna hitam putih bergaris-garis, daun apa-apa, awar-awar, girang, dan duri kemarung. Di halaman rumah dipasang tumbak sewu, yaitu sapu lidi yang didirikan dengan tegak. Di tempat tidur si bayi diletakkan benda-benda tajam seperti pisau dan gunting.

Tedak siten

Tedak siten adalah tradisi yang dikenal sebagai upacara turun tanah bagi bayi yang berusia sekitar tujuh atau delapan bulan.. Berasal dari kata tedak yang berarti turun dan siten berasal dari kata siti yang berarti tanah. Upacara tedak siten ini dilakukan sebagai rangkaian acara yang bertujuan agar anak tumbuh menjadi anak yang mandiri. Prosesi tedak siten dimulai pada pagi hari dengan serangkaian makanan tradisional untuk selamatan. Makanan tradisional tersebut berupa jadah sebanyak tujuh warna, tumpeng serta perlengkapannya seperti ayam utuh dan sayur kacang panjang.

Jadah 7 warna

Setelah acara selamatan dengan mengumpulkan para undangan telah dilakukan, rangkaian acara tedak siten dilanjutkan dengan prosesi menapakkan kaki bayi di atas jadah tujuh warna. Selanjutnya adalah prosesi naik tangga. Tangga tradisional yang dibuat dari tebu jenis arjuna dengan dihiasi kertas warna-warni. Ritual ini melambangkan harapan agar si bayi memiliki sifat kesatria layaknya Arjuna (tokoh pewayangan yang dikenal bertanggung jawab dan tangguh). Dalam bahasa Jawa, tebu merupakan kependekan dari antebing kalbu yang bermakna kemantapan hati.

Tetakan

Saat dewasa, maka anak bagi laki-laki harus melakukan supitan atau tetakan yaitu sunat. Tindakan memotong sebagian kulit pada ujung kelamin laki-laki ini merupakan suatu kewajiban dalam agama Islam yang diadaptasi menjadi tradisi Jawa, termasuk masyarakat Desa Ngadiharjo. Adat istiadat sesepuh masyarakat Ngadiharjo mengadaptasi dari dakwah Kanjeng Sunan Kalijaga yang menetapkan upacara supitan menjadi hal penting bagi setiap anak laki-laki. Dalam dakwahnya, Kanjeng Sunan Kalijaga mengajarkan masyarakat di jaman itu untuk melakukan salah satu Sunah dengan rangkaian upacara.

Majang tarub

Upacara majang tarub (menghias tarub) merupakan pemasangan hiasan gapura dan atap yang disebut tarub dan dilakukan satu hari sebelum upacara supitan. Gamelan akan ditata dan dibunyikan sebentar pada sore hari. Saat bersamaan, para kerabat putri memasuki kamar si anak untuk menata dan menghias tempat tidur yang akan digunakan untuk supitan. Setelah majang tarub, lalu dilakukan siraman bagi anak laki-laki yang akan menjalani supitan di tempat Bong Supit (tukang sunat) atau dirumah anak tersebut. Tujuannya untuk membersihkan lahir dan batin sang anak.

Midodareni

Sebelum disunat terdapat tradisi persiapan yang perlu dilakukan oleh si anak laki-laki, seperti upacara midodareni ini dilakukan setelah siraman, sekitar pukul 7 malam. Para orang tua dan kerabat laki-laki berkumpul untuk membesarkan hati sang anak sehingga tidak ada rasa takut dan ragu dalam menjalani supitan. Dilanjutkan dengan upacara ngabekten. Upacara ini dilaksanaan pagi hari di ruang utama atau di teras rumah, dan anak yang akan melakukan supitan akan dipanggil untuk melakukan sungkem memohon restu kepada orang tua. Lalu upacara gres merupakan inti acara yang dilaksanakan setelah ngabekten. Anak laki – laki yang akan disupit masuk ke dalam kerobongan atau bilik yang digunakan untuk supitan di depan rumah si anak atau Bong Supit di sisi selatan. Sang anak akan dipangku oleh kerabat laki-laki yang dituakan untuk kemudian dilakukan supitan oleh petugas yang disebut Bong Supit.

Dalam keyakinan masyarakat tradisi supitan biasa dilakukan antara umur 7 bulan – 11 tahun. Selain untuk memohon keselamatan, tradisi ini juga berfungsi untuk menandai saat anak laki-laki beranjak dewasa. Tradisi supitan sampai saat ini masih dilakukan tetapi untuk serangkaian prosesi ritual atau upacara adat tersebut yang dahulu selalu dilaksanakan, kini berangsur mulai ditinggalkan.

Pernikahan

Sanggan

Setelah dewasa maka selanjutnya akan memasuki masa pelaminan atau pernikahan. Dalam prosesnya, pernikahan terdapat berbagai rangkaian yang harus dilakukan. Seperti penyerahan sanggan, yaitu setelah persiapan dan waktu yang direncakan untuk menikah, pengantin wanita keluar dari dalam rumah dan duduk di kursi pengantin berhias indah. Kemudian pengantin pria tiba, diapit oleh sesepuh pria dan dilakukan penyerahan sanggan. Sanggan diberikan pihak mempelai pria kepada kedua orangtua mempelai wanita sebagai bentuk tebusan putri mereka. Sanggan terdiri dari satu tangkep atau dua sisir pisang raja matang dari pohon, sirih ayu, kembang telon yang berisi bunga mawar, melati dan kenanga, serta benang lawe.

Balangan

Tahapan upacara panggih dalam pernikahan adat Jawa selanjutnya adalah upacara balangan gantal. Balangan artinya melempar, sedangkan gantal artinya daun sirih yang diisi dengan bunga pinang, kapur sirih, gambir, dan tembakau yang diikat dengan menggunakan benang lawe. Upacara ini dilakukan dari arah berlawanan, berjarak sekitar dua meter. Mempelai pria melemparkan gantal ke dahi, dada, dan lutut mempelai wanita. Lalu dibalas oleh mempelai wanita yang melempar gantal ke dada dan lutut mempelai pria. Ritual ini bertujuan untuk saling melempar kasih sayang.

Panggih

Upacara ranupada menjadi tahapan selanjutnya dalam prosesi panggih di pernikahan adat Jawa. Ranupada berasal dari dua kata yaitu ranu yang berarti air dan pada artinya kaki. Perlengkapan yang dipakai untuk ranupada terdiri dari gayung, bokor, baki, bunga sritaman dan telur. Pemaes (juru rias) mengambil telur ayam yang kemudian disentuhkan di dahi pengantin pria terlebih dahulu. Kemudian telur ayam juga disentuhkan di dahi pengantin wanita tiga kali. Setelahnya telur ayam dipecahkan di kaki pengantin pria dan pengantin wanita serta membasuh kaki pengantin pria dengan air bersih. Pembasuhan ini mencerminkan wujud bakti istri kepada suami agar rumah tangga bahagia dan harmonis.

Kanthen asta

Prosesi panggih dalam pernikahan adat Jawa dilanjutkan dengan tahapan kanthen asta. Pada prosesi ini kedua pengantin berdiri berdampingan dan bergandengan tangan sambil mengaitkan jari kelingking, wanita di sebelah kiri dan pria di sebelah kanan. Kedua mempelai kemudian berjalan bersama ke pelaminan.

Selimut slindur

Saat sampai di pelaminan, prosesi panggih dalam pernikahan adat Jawa dilanjutkan dengan upacara selimut slindur. Pada tahapan ini orang tua dari pengantin wanita menyelimuti kedua lengan pengantin dengan kain sindur. Setelah itu kedua pengantin berjalan pelan-pelan menuju tempat duduk pengantin, diikuti oleh kedua orangtua.

Pangkon

Upacara pangkon, timbangan, atau tanem jero. Setelah sampai di pelaminan, upacara panggih berlanjut dengan kedua mempelai tetap berdiri berdampingan dengan posisi membelakangi pelaminan atau menghadap tamu undangan. Dengan disaksikan ibu mempelai wanita, ayah mempelai wanita mendudukan kedua mempelai ke kursi pengantin sambil memegang dan menepuk-nepuk bahu keduanya. Prosesi ini memiliki makna bahwa kedua mempelai telah “ditanam” agar menjadi pasangan yang mandiri.

Kacar kucur

Dilanjutkan dengan upacara kacar kucur atau tampa kaya, dalam pernikahan adat Jawa melambangkan bahwa suami berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan nafkah kepada istri. Biasanya upacara ini menjadi bagian dari prosesi panggih. Prosesi kacar kucur ini dilakukan dengan mempelai pria menuangkan isi keba ke pangkuan wanita dan diterima dengan kain sindur. Keba yaitu kantong tikar anyaman yang berisi beras kuning, kacang, kedelai, uang logam serta kembang telon seperti bunga mawar, melati, dan kenanga. Prosesi ini harus diatur sedemikian rupa agar isi keba tidak habis sama sekali dan tidak ada barang satupun yang tercecer.

Dulangan

Selanjutnya upacara dulangan dalam pernikahan adat Jawa memilik makna yang melambangkan kerukunan dan keserasian antara suami dan istri. Dalam upacara ini kedua pengantin baru saling menyuapi nasi satu sama lain. Pada upacara dulangan ini mempelai pria membuat tiga kepalan nasi kuning dan diletakkan di atas piring yang dipegang oleh pengantin wanita. Serta disaksikan mempelai pria, mempelai wanita juga memakan satu per satu kepalan nasi. Lalu mempelai pria memberikan memberikan segelas air putih kepada mempelai wanita. Prosesi ini menggambarkan kerukunan suami istri akan mendatangkan kebahagiaan dalam keluarga.

Ngunjuk rujak

Setelah dulangan, prosesi panggih dalam pernikahan adat Jawa dilanjutkan dengan upacara ngunjuk rujak yang artinya minum rujak degan. Pada upacara ini kedua mempelai dan orangtua mempelai wanita harus mencicipi rujak degan, yakni minuman yang terbuat dari serutan kelapa muda dicampur gula merah, sehingga rasanya manis dan segar. Prosesi ini memiliki makna kerukunan dan kebersamaan. Bahwa segala sesuatu yang manis tidak dinikmati sendiri, melainkan harus dibagi bersama dengan seluruh anggota keluarga. Prosesi berikutnya dari panggih dalam pernikahan adat Jawa adalah mapag besan yang artinya menjemput besan. Prosesi ini dilakukan karena orang tua mempelai pria tidak diperkenankan hadir selama prosesi panggih sampai upacara ngunjuk rujak degan.

Sungkeman

Prosesi yang terakhir dalam panggih adalah sungkeman. Prosesi ini dilakukan sebagai wujud bahwa kedua mempelai akan patuh dan berbakti pada orangtua mereka. Pada prosesi ini, kedua mempelai bersembah sujud kepada kedua orangtua untuk memohon doa restu serta memohon maaf atas segala khilaf dan kesalahan. Kedua mempelai memohon doa dan restu kepada orangtua agar menjadi keluarga yang bahagia. Setelah acara panggih selesai barulah kedua mempelai melaksanakan acara resepsi. Pada resepsi ini kedua mempelai akan menyapa tamu-tamu yang hadir

Kematian

ngesur tanah

Dalam proses kehidupan pada akhirnya akan menemui kematian atau meninggal. Bagi masyarakat Jawa, kematian juga memiliki berbagai tradisi sebagai bentuk penghormatan orang yang meninggal dan pengingat kepada yang masih hidup. Seperti upacara ngesur tanah (surtanah) yang dilakukan pada hari meninggalnya mendiang. Ngesur artinya menggeser, memiliki maksud bergesernya kehidupan fana ke alam baka. Bahwa semua manusia berasal dari tanah dan akan kembali menjadi tanah. Sajian upacara ngesur tanah antara lain nasi gurih, ingkung, urap, cabai merah utuh, krupuk rambak, kedelai hitam, bawang merah, bunga kenanga, garam halus dan tumpeng yang dibelah.

Nelung dina

Lalu upacara nelung dina, dilakukan pada tiga hari setelah hari kematian. Selamatan ini dilakukan sebagai penghormatan para ahli waris kepada seseorang yang meninggal. Sebab masyarakat Jawa meyakini bahwa sampai pada hari ketiga, roh seseorang yang meninggal masih berada di rumah. Kemudian mulai mencari jalan keluar yang termudah untuk meninggalkan keluarga dan kediamannya.

Mitung dina

Upacara mitung dina dilakukan tujuh hari setelah meninggalnya seseorang. Hal ini dilakukan untuk memperlancar keberangkatan roh seseorang yang meninggal, dan secara simbolis genteng atau jendela akan dibuka sebelum selamatan dimulai. Hidangan yang biasa hadir pada selamatan mitung dina adalah kue apem, nasi asahan, daging goreng, pindang merah yang dicampur dengan kacang panjang serta pindang putih.

Matang puluh

Pasca 40 hari meninggalnya seseorang akan diperingati dengan selamatan matang puluh. Selain untuk penghormatan, upacara ini dilakukan untuk mempermudah perjalanan roh menuju alam kubur. Uba rampe matang puluh antara lain benang lawe, jodog, sentir, cupak, minyak klentik, botol, sisir, minyak wangi, cermin, kapas, pisang raja, beras, gula kelapa, jarum dan bala pecah

Nyatus

Nyatus adalah upacara untuk memperingati 100 harinya orang yang meninggal. Tradisi seratus hari merupakan acara kirim doa dari ahli waris kepada orang yang meninggal tersebut. Dalam kepercayaan masyarakat Desa Ngadiharjo, acara seratus hari ini biasanya dilaksanakan dengan mengundang kerabat dan tetangga yang berjumlah 100 orang. Sebelum memulai acara tahlil, asinan, dan doa akan terlebih dahulu disuguhkan teh pahit. Tapi seiring berjalannya waktu, acara 100 hari tidak selalu mengundang orang dengan jumlah seratus orang karena kemampuan masyarakat yang berbeda-beda.

Mendak

Mendak adalah upacara peringatan setahun orang meninggal. Tahun pertama disebut dengan mendak pisan, dan tahun kedua disebut mendak pindo. Acara mendak biasanya diadakan pada sore hari selepas waktu asar atau pada malam hari selepas waktu isya. Melalui tahlil dan bacaan Surat Yasin yang biasa dipimpin oleh salah satu pemuka, serta masyarakat ikut mendoakan anggota keluarga yang sudah tiada di rumahnya. Esensi lain dari tradisi ini adalah dzikrul maut, yaitu ingat pada kematian karena setiap orang akan menemuinya entah kapan waktunya. Diharapkan dari tradisi mendak masyarakat dapat mengingat kematian selalu, sehingga harus banyak berbuat kebajikan dan meninggalkan kejahatan. Selain memiliki nilai religius, tradisi ini juga dapat membuat hubungan masyarakat semakin dekat. Biasanya pada acara peringatan mendak itu disajikan makanan yang dibuat bersama-sama oleh para ibu. Semua ibu akan turun tangan untuk memasak walau tanpa diberi imbalan.

Nyewu

Tradisi nyewu merupakan tradisi upacara 1000 hari setelah kematian. Tradisi ini biasa dilakukan oleh keluarga dan masyarakat setempat secara bersama-sama. Pada umumnya acara ini akan mengundang tokoh agama untuk memimpin upacara tersebut dengan beberapa tahapan acara. Sebut saja seperti pembacaan doa, tahlilan, pembacaan Al Quran dan Surat Yasin yang bertujuan untuk memanjatkan doa kepada Allah SWT agar roh yang sudah meninggal diberikan ketenangan, diampuni dosa-dosanya dan ditempatkan di sisi-Nya, serta keluarga yang ditinggalkan mendapatkan berkah. Selain itu, pada akhir acara nyewu akan diakhiri dengan menyajikan hidangan seperti pisang raja, ingkung dan beberapa sesaji untuk kelengkapan doa. Setelah doa dan selesai acara maka diberikan sedekah berupa hidangan yang diberikan kepada tamu undangan.

 

Narasumber

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...