(Narasi oleh Salma Salsabila R. dan M. Shodek)
Narasi
Masyarakat Desa Majaksingi sampai sekarang masih melakukan tradisi seperti mapati, mitoni dan puputan. Informasi mengenai tradisi tersebut berhasil didapatkan dari narasumber seorang sesepuh yaitu Bapak Harno. Mapati merupakan upacara yang diselenggarakan pada saat bulan keempat masa kehamilan. Tradisi mapati terinspirasi dari dalam kepercayaan agama Islam saat usia kandungan memasuki usia empat bulan maka sang jabang bayi sudah ditiupkan ruhnya, sehingga dimulailah kehidupan dan saat itulah ditentukan bagaimana berkehidupan selanjutnya di dunia sampai akhirat.
Mitoni adalah salah satu tradisi dalam masyarakat Jawa. Berasal dari kata mitoni, yang berasal dari kata pitu yang artinya tujuh. Tradisi ini dilaksanakan ketika usia kandungan memasuki 7 bulan kehamilan. Acara mitoni adalah sebuah doa agar calon ibu dilancarkan selama mengandung hingga melahirkan janin. Mitoni ini juga disertai doa agar kelak si anak menjadi anak yang baik dan berbakti kepada orang tua.
Puputan merupakan tradisi yang dilakukan dalam rangkaian kelahiran seorang anak. Tradisi ini menandai lepas (puput) atau putusnya tali pusar si bayi. Waktu untuk penyelenggaraan upacara ini tidak ada ketentuan yang pasti, hal ini bergantung pada lama dan tidaknya tali pusar si bayi lepas dengan sendirinya. Tali pusar bayi dapat lepas sebelum seminggu bahkan bisa lebih dari seminggu. Sehingga keluarga si bayi harus siap mengadakan tradisi puputan jika sewaktu-waktu tali pusar tersebut lepas.
Menurut narasumber, dalam tradisi mapati, mitoni atau puputan ini, ada dua hal yang dapat diambil pelajarannya, yakni tradisi berdoa dan bersedekah. Diketahui bahwa doa dan sedekah adalah dua kekuatan yang bisa menembus takdir. Tradisi berdoa mejadi wujud sikap bersyukur, ketundukan dan kepasrahan dengan mengajukan permohonan kepada Allah agar nanti anak sehat, yang dianugerahi rezeki yang baik dan lapang, berumur panjang yang penuh dengan nilai-nilai ibadah, serta beruntung di dunia dan akhirat. Kemudian, tradisi sedekah menjadi penyempurna jika dalam tradisi mapati ini selain meminta sejumlah orang untuk berdoa dan mendoakan, sekaligus berbagi rasa syukur dengan memberi makanan atau yang lainnya kepada masyarakat sekitar. Selain memohon agar janin senantiasa berkembang dan dapat lahir ke dunia dengan selamat dan dengan takdir yang baik, juga melatih janin sedari dini untuk belajar berbagi kepada sesama. Prosesi acara mapati, mitoni, maupun puputan di Desa Majaksingi biasanya diselenggarakan dengan mengadakan kenduri atau selamatan yang dihadiri oleh kerabat dan tetangga terdekat. Dengan dipimpin oleh kyai membaca doa dan diakhiri membagikan nasi berkatan yang berisi nasi putih, lauk dan sayur.
Berbeda dengan mapati dan mitoni, puputan memiliki tambahan yaitu bubur merah dan putih. Menurut narasumber yang kami tanya, ada dua alasan pemberian warna tersebut yaitu pertama adalah warna merah melambangkan sel telur pada wanita, sedangkan warna putih diibaratkan sebagai sperma pada pria. Lalu keduanya bertemu, maka akan lahir seorang bayi yang membanggakan. Makanya disajikan dalam satu wadah. Sedangkan alasan kedua, warna putih melambangkan doa dari kedua orang tua. Sedangkan warna merah berarti melambangkan seorang ibu harus memaafkan kesalahan anaknya di masa mendatang. Disajikan dalam satu wadah yang memberikan harapan dari orang tua untuk si bayi yang baru lahir. Hal ini menjadi rasa syukur dari keluarga yang mendapatkan anggota baru kepada tuhan. Filosofi bubur merah putih ini juga sebagai keberanian dan kesucian sama seperti simbol bendera negara kita merah putih. Pembagian bubur merah putih pada akhir acara sekaligus menjadi wujud pembagian rezeki kepada sesama karena telah diberikan seorang anak sebagai pelengkap dalam keluarga. Tidak lupa pembagian bubur sembari bayi digendong berjalan, dan orang-orang melantunkan selawat nabi dan biasanya kepala bayi tersebut ditiup.
Gambar
Lokasi
map