(Narasi oleh Taufik Wahyono dan Abdul Majid)

Narasi

Nawu Sendang

Malam Satu Sura, umumnya masyarakat jawa melakukan laku tirakat lek-lekan atau tidak tidur semalam suntuk dan tuguran atau perenungan diri sambil memanjatkan doa, bahkan beberapa orang memilih tirakat di tempat sakral seperti pegunungan atau makam keramat. Memperingati malam satu Sura harus dijalani dengan khusyuk. Ritual dilakukan secara pribadi dengan dengan membersihkan diri secara lahir dan batin, intropeksi serta bersyukur kepada Allah dengan menyakini hanya Allah yang membuat hidup dan menghidupi dunia seisinya.

Puncak Suroloyo

Di Desa Giritengah, malam satu Sura diperingati  secara bersama-sama yang dilaksanakan di setiap masjid atau mushala yang ada di dusun. Peringatan malam satu Sura dimulai pada sore hari menjelang maghrib. Warga masyarakat membaca doa akhir tahun dan setelah sholat magrib membaca doa awal tahun dilanjutkan membaca Surat Yasin sebanyak tiga kali. Malam satu Sura juga dilakukan oleh warga secara pribadi di rumah masing-masing dan ada juga yang melakukan pendakian Puncak Suraloyo .

Eling lan Waspodo

Makna malam satu Sura bagi masyarakat jawa sebagai pengingat. Pada bulan Sura, sebagai masyarakat jawa memiliki keyakinan untuk tetap ‘eling lan waspodo’. Eling berarti ingat siapa dirinya dan di mana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan, sedangkan waspodo atau waspada berarti sebagai manusia harus terjaga serta waspada dari godaan yang menjerumuskan.

Sendang suruh

Pada pagi harinya di Desa Giritengah terdapat salah satu ritual disetiap tanggal satu Sura yakni ritual Nawu Sendang. Sendang Suruh adalah salah satu mata air yang terletak diantara Dusun Gedang Sambu dan Dusun Ngaglik.  Untuk mencapai Sendang Suruh dapat ditempuh dengan berjalan kaki kurang lebih 3 sampai 5 menit dari parkiran rumah warga. Sendang Suruh diyakini sebagai tempat singgah Pangeran Diponegoro beserta para pengikutnya, diantaranya adalah Nyai Ageng Serang dan Tumenggung Malang Duryo pada saat perang Gerilya melawan penjajah tahun 1825-1830. Di tempat ini Pangeran Diponegoro dan Nyai Ageng Serang menyusun strategi perang, dan mata airnya digunakan untuk bersuci.

2 kali setahun

Sendang Suruh hingga kini masih dirawat oleh keturunan Tumenggung Malang Duryo. Dahulu, Nawu Sendang atau bersih-bersih mata air dilakukan setiap hari kamis. Seiring berjalannya waktu, pembersihan dilakukan dua kali dalam satu tahun yakni setiap tanggal 1 Sura dan tanggal 12 Mulud. Nawu Sendang ini dilakukan oleh para warga keturunan dari Tumenggung Malang Duryo.

Sesajen

Sebelum prosesi pembersihan sendang dilakukan, salah satu sesepuh dari keturunan Tumenggung Malang Duryo meletakkan sesajen berupa kembang setaman dan nasi putih, kemudian memohon izin kepada penunggu sendang. Setelah selesai pembersihan, warga hadir melakukan doa bersama memohon agar diberikan keselamatan dan kesejahteraan untuk warga Desa Giritengah, doa dipimpin oleh salah satu sesepuh yang diikuti seluruh warga yang hadir termasuk perangkat desa. Kegiatan ini  ditutup dengan makan bersama di sekitar sendang.

Penyembuh

Menurut Mbah Kasto Ikromo (95 tahun), pembersihan sendang sebagai sarana untuk memohon keselamatan dan ketentraman bagi masyarakat di sekitar sendang, serta bagi masyarakat Desa Giritengah pada umumnya. Sendang ini tidak pernah surut airnya pada musim kemarau dan juga tidak lebih pada musim penghujan. Banyak yang percaya bahwa air dari sendang suruh tersebut bisa menjadi sarana menyembuhkan penyakit. Di dalam sendang tersebut terdapat dua ekor belut yang diyakini sebagai penghuni, sehingga tidak ada yang berani menangkapnya.

 

10 Sura

Sura berasal dari bahasa Arab yaitu ‘asyura’ yang berarti “kesepuluh’. Kata asyura di sini merujuk pada tanggal 10 bulan Muharram. Tanggal 10 Sura merupakan hari yang sakral dan istimewa bagi masyarakat jawa termasuk masyarakat di Dusun Secang yang sejak dahulu melakukan  suatu tradisi setiap tanggal 10 Sura,  diantaranya melakukan shalat mutlak berjama’ah, doa bersama mengirim leluhur, auman, kenduri dan juga menyantuni anak yatim.

Bubur Suro

Dalam perayaan 10 Sura pasti sajian yang selalu ada disetiap malam 10 Sura yaitu bubur Sura. Bubur Sura sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas rezeki yang didapat. Bubur Sura terbilang sangat unik karena terdiri dari 4 macam  bahan diantaranya kacang kacangan, emon empon, beras ketan dan ketan hitam, santan kelapa yang di buat oleh para ibu-ibu rumah tangga.

Menurut Mbah Kamiyah (59 tahun), pada malam 10 Sura masyarakat memiliki kebiasaan unik yaitu membuat garis wana hitam pada garis atau celakan. Dengan celakan masyarakat berharap agar terhindar dari penyakit mata selama 1 tahun. Kebiasaan ini hingga  saat ini masih dilakukan oleh masyarakat disetiap tahunnya, karna masyarakat masih memepercayai erat budaya warisan para pendahulu ini.

 

Nyadran

Nyadran adalah tradisi membersihkan makam yang dilakukan oleh masyarakat Jawa yang umumnya dilakukan di pedesaan. Nyadran sendiri berasal dari kata sadran yang memiliki arti ruwah syakban. Di Dusun Secang Desa Giritenggah, tradisi nyadran dilakukan oleh masyarakat untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan, untuk menghormati para leluhur serta mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan. Mbah Sumeri (65 tahun) menyampaikan, kegiatan yang dilakukan saat sadranan  adalah membersihkan makam, mendoakan roh yang telah meninggal, kemudian doa bersama di masjid  dan di akhiri dengan kenduri. Tradisi ini sudah sejak jaman dahulu dilakukan, hinga saat inipun nyadran menjadi tradisi tahunan yang wajib dilakukan tiap tahunnya.

 

Saparan

Saparan merupakan tradisi turun temurun yang masih lestari  hingga kini. Sesuai dengan namanya saparan, tradisi ini dilakukan  pada bulan Sapar dalam penanggalan bulan jawa. Biasanya dilakukan pada hari rabu pungkasan atau rabu akhir dibulan sapar. Tujuan dari melakukan tradisi Saparan adalah sebagai tolak bala dari bencana pagebluk.

Air Zam-zam

Masyarakat akan berbondong-bondong pergi ke masjid untuk melakukan berbagai acara. Dimulai dipagi hari  dengan sholat sunah berjamaah di masjid yang dipimpin oleh tokoh agama, kemudian dilanjut  memotong kuku ataupun memotong rambut. Di dalam acara saparan selalu disediakan air zam-zam, air zam zam yang dimaksud ini bukan dari Makkah, melainkan air biasa namun sudah dirajah. Air tersebut kemudian diminum oleh para warga dengan harapan agar terhindar dari balak atau malapetaka. Berbeda dengan dusun lainnya, di Dusun Ngaglik setiap tahun pada bulan sapar salah satu Sanggar Seni Ngesti Giri Manunggal juga mengadakan prosesi saparan dengan mengadakan pentas seni wayangan semalam suntuk. Menurut Mbah Tijab (61), ritual ini juga sebagai sarana tolak bala.

 

Muludan

Tradisi Muludan adalah sebuah perayaan yang dilakukan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Mohammad SAW. Di Indonesia, perayaannya dilakukan pada setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah. Menurut Mbah Sumeri(58 tahun), perayaan muludan di Desa Giritengah dilakukan di masjid dengan membaca dan melantunan shalawat nabi dari tanggal 1-12 Mulud secara bersama-sama setiap malam. Membaca dan melatunkan shalawat nabi memiliki banyak keutamaan, salah satunya adalah memdapat pahala dari Allah SWT. Tradisi muludan ini juga dapat menjadi sarana masyarakat yang melakukannya untuk lebih dekat dengan Allah SWT dan juga dapat menjadi ajang silaturahmi antar warga.

 

Gambar

Lokasi

map

Narasumber

  • Mbah Tijap (61 tahun), Dusun Ngaglik, Desa Giritengah
  • Mbah Sumeri (65 tahun), Dusun Kalitengah RT 07/RW 05, Desa Giritengah
  • Mbah Kamiyah (59 tahun), Dusun Kalitengah RT 07/RW 02, Desa Giritengah
  • Mbah Kasto Ikromo (95 tahun), Dusun Gedangsambu RT 04/RW 02, Desa Giritengah

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...