(Narasi oleh Lukman Fauzi Mudasir dan Diyah Nur Arifah)
Narasi
Catra secara harfiah berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu chattra artinya payung yang menjadi elemen arsitektural stupa. Menurut Mas Hari Setyawan, sebenarnya Candi Borobudur dan semua candi bercorak buddha di Jawa dan Sumatera tidak pernah punya catra. Dikatakan catra di Candi Borobudur merupakan ciptaan dan kreasinya Van Erp.
Sedangkan menurut Mbah Timbol, yang seorang pelaku spiritual di Candi Borobudur mengatakan bahwa arca Mbah Belet dan catra itu merupakan satu kesatuan, seperti layaknya pasangan watu lanang (laki-laki) dan watu wadon (perempuan) atau ying dan yang. Meski demikian Mas Hari juga berpendapat jika hal tersebut merupakan mitos yang dikembangkan oleh masyarakat sekitar.
Dharmamega
Berdasarkan sumber lain dari seorang pemerhati Candi Borobudur yakni Bambang Eko Prasetyo, mengatakan bahwa catra ada di atas stupa induk diturunkan karena tidak sesuai dengan keyakinan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan berdasar naskah agama Buddha. Dharmamega merupakan tingkat tertinggi yang berarti kosong yang isi, dan isi yang kosong, sehingga tidak memerlukan catra. Hal ini membuat chatra yang dianggap sebagai kreasi Van Erp tidak memperoleh dukungan kuat.
Dasabhumi
Candi Borobudur dibangun 10 tingkat berdasarkan konsep dasabhumi (10 tingkatan) yaitu tahapan yang ditempuh oleh sesosok bodhisattwa untuk menuju bodhi atau nirwana.
1.Pramudita (Sungguh Gembira)
Ketika Bodhisattwa menyadari bahwa telah melaksanakan kesempurnaan dharma dan juga telah menyadari kekosongan.
2.Vimala (Tanpa Noda)
Bodhisattwa telah terbebas dari karma buruk dengan melaksanakan kesempurnaan sila dan telah mengukuhkan akar yang baik. Pikirannya telah terbebas dari kelekatan. Dengan giat melaksanakan semadi.
3.Prabhakari (Cemerlang)
Bodhisattwa memancarkan cahaya dari dalam kesempurnaan atas kesabaran karena tidak memiliki rasa marah dan dendam. Ia juga telah melaksanakan keempat dhyana dan hasilnya berhasil memperoleh kesaktian.
4.Aracismati (Berkobar)
Bodhisattwa melaksanakan kesempurnaan daya untuk memajukan batinnya menuju kecerahan.
5.Sudurjaya (Sulit Dikalahkan)
Bodhisattwa melaksanakan kesempurnaan semadi mengembangkan kebijaksanaan dan merealisasi kebenaran suci.
6.Abhimukti (Mewujud Wajah)
Bodhisattwa menyelami kaidah musabab yang saling berkaitan. Kebijaksanaan telah diperoleh berkat pengertian penuh mengenai kekosongan.
7.Durangama (Menempuh Jauh)
Bodhisattwa mengembangkan kawelasan, pengetahuan gugus kehidupan, dan menuju kecerahan.
8.Acala (Tak Tergoyahkan)
Bodhisattwa membuat kemajuan pasti dan mengetahui kapan ia akan menjadi budha.
9.Sadhumati (Kewaskitaan Baik)
Bodhisattwa melengkapi kesempurnaan kekuatan. Ia memiliki kebijaksanaan sempurna dan siap membimbing makhluk menuju Nirwana.
10.Dharmamegha (Awan Kebenaran)
Bodhisattwa mencapai kesempurnaan semadi dan wawasan. Tubuh dharma-nya telah sempurna dan mampu menunjukkan keajaiban. Dalam fase ini sudah mencapai kekosongan akan dunia sehingga tidak perlu direpresentasikan.
Gambar
Lokasi
[map
Narasumber
- Bambang Eko Prasetyo, Pemerhati Budaya
- Hari Setyawan, Pemerhati Budaya
- Mbah Timbol, Sesepoh, Pemerhati Budaya, Desa Borobudur