Adat Istiadat Kelahiran di Desa Tegalarum
(Narasi oleh Taufik Hidayat dan Jamil Rochmatulloh)
Narasi
Bapak Mucholil Mbah kaum Dusun Susukan, Desa Tegalarum mengatakan jika prosesi lahiran pada zaman dahulu umumnya dibantu oleh dukun bayi mulai dari bayi akan dilahirkan hingga saparan atau 35 hari setelahnya. Selama 35 hari tersebut, dukun bayi membantu untuk memandikan bayi, merawat bayi dan merawat ibu bayi seperti mijit, sampai kondisi Ibu sudah berangsur membaik pasca melahirkan. Seiring perkembangan zaman, kini masyarakat Desa Tegalarum sudah jarang melibatkan dukun bayi dalam prosesi lahiran melainkan dibawa ke Puskesmas atau Rumah Sakit untuk proses persalinan. Ketika bayi dilahirkan, walaupun belum sampai rumah, keluarga membuat acara slametan dengan nama brokohan. Brokohan yaitu nasi kluban yang dihidangkan kepada anak-anak kecil disekitar untuk dimakan bersama di rumah yang melahirkan. Hal itu dilakukan sebagai wujud rasa syukur atas kelahiran sang bayi. Setelah pulang dari Rumah Sakit, pada waktu pagi, siang dan sore Ibu-ibu sekitar turut hadir untuk menjenguk bayi dan orang tuanya. Ibu-ibu yang datang turut menyambut kelahiran bayi dengan penuh suka cita.
Ngendong
Pada malam harinya, keluarga mengadakan acara ngendong yang dihadiri oleh Bapak-bapak. Masyarakat yang hadir turut mengucapkan selamat dan menemani keluarga hingga malam untuk turut serta menjaga bayi yang baru lahir. Acara ngendong berakhir ketika sudah ada acara puputan. Muputi atau puputan merupakan acara lepas pusar bayi. Sisa pusar yang dipotong oleh Bidan, apabila sudah putus, keluarga akan mengadakan kegiatan selama 5-8 hari. Setelah proses kelahiran selesai, ari-ari dibersihkan lalu diberi alas daun (biasanya daun tumbuhan sente) dan dimasukkan ke dalam kuali kemudian ditutup. Di atas tutup tersebut, diberi uba rampe (biasanya kembang dan sedikit wewangian alami) dibungkus dengan kain mori. Ari-ari yang sudah sudah terbungkus mori lalu dikubur ke dalam lubang sepanjang satu lengan orang dewasa. Yang berhak menguburkan adalah ayah kandung, kakek si bayi, atau siapa saja laki-laki yang punya hubungan paling dekat dengan bayi. Sebelum mengubur, disarankan untuk menyucikan diri terlebih dahulu. Jika beragama Islam, misalnya dengan berwudhu dan memakai wewangian. Membawanya pun dengan cara diemban (digendong menyambung dipinggang).
Ngubur Ari-ari
Di atas kuburan, ari-ari kemudian diberi pagar dari bambu atau dengan tumpukan genteng atau keranjang. Lalu diberi penerangan selama 35 hari. Jika si jabang bayi berjenis kelamin perempuan, maka letak kuburan itu ada di sebelah kiri pintu utama rumah. Jika si jabang bayi berjenis kelamin laki-laki, kuburan ari-ari berada di sebelah kanan pintu utama rumah. Penerangan menjadi perlambang agar si jabang bayi beserta ari-arinya selalu diberi pepadhang (penerang) dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Namun ada sedikit logika menarik sebagai alternatif cara pandang terhadap keberadaan penerang atau lampu di koordinat tempat ari-ari dikubur. Yaitu lampu atau penerang tersebut, menjadi media komunikasi simbol bahwa di rumah tersebut ada penduduk (bayi) baru. Sehingga siapa pun yang berada di radius dekat kubur ari-ari, ada baiknya menjaga sikap dan menahan diri untuk tidak terlalu berbicara dengan volume suara yang keras supaya tidak mengganggu si jabang bayi.
Puputan
Puputan dilaksanakan malam hari setelah isya’ (sekitar pukul 20.00 WIB). Rangkaian kegiatan acara puputan antara lain warga sekitar yang hadir melaksanakan mujahadah dengan membacakan sholawat. Ketika srokal, hadirin akan berdiri. Keluarga mambawa bayi keluar dari kamar, bayi digendong mengelilingi hadirin, disaksikan oleh warga yang hadir. Salah satu keluarga memayungi bayi dan ada yang menyemprotkan minyak wangi ke seluruh hadirin. Puputan merupakan acara pemotongan rambut bayi untuk pertama kalinya dan mendoakanya. Saat puputan bayi diberikan nama di hari ke 7 atau 8 untuk diinformasikan kepada warga yang hadir.
Aqiqah
Aqikah masih sering dilakukan bersamaan dengan acara puputan, “dawuh dari kanjeng nabi kalau puputan alangkah baiknya dibarengi dengan aqikah, 2 kambing untuk anak laki-laki dan 1 kambing untuk anak perempuan” jelas Bapak Cholil selaku Kaum di Dusun Susukan, Desa Tegalarum. Terkait syarat-syarat kambing yang digunakan untuk aqikah sama seperti persyaratan untuk daging kurban. Yang membedakan yaitu untuk qurban dagingnya dibagikan mentah, sedangkan aqiqah dibagikan dalam keadaan sudah matang. Proses menyembelih kambing saat aqiqah alangkah baiknya oleh orang tua itu sendiri, namun apabila dirasa kurang mampu, karena untuk menyembelih terdapat syarat & rukunnya maka sering diserahkan ke orang yang dirasa mampu karena sudah terbiasa menyembelih, biasanya kyai setempat atau mbah kaum.
Dlingo bengle
Bayi yang baru lahir dalam perawatannya sering dikasih pupuk yang berasal dari empon-empon jawa seperti dlingo bengle, kemukus dan cengkeh yang ditumbuk kemudian dipupukkan di bagian ubun-ubun bayi supaya tulang rawan tersebut lekas mengeras. Untuk perawatan ibu bayi, diberikan pilis supaya kondisi badannya tetap terjaga dan senantiasa dalam keadaan sehat. Jamu yang diminum oleh ibu yang baru melahirkan yaitu uyup-uyup. Uyup-uyup berasal dari daun pepaya yang ditumbuk kemudian dicampur dengan beras kencur untuk memperlancar asi.
Ngepung pamongan
Beberapa tradisi lainnya pasca bayi dilahirkan antara lain pamongan di hari weton, misalnya bayi lahir di hari senin pahing, di setiap senin pahing tersebut keluarga membuat nasi kluban dan mengundang anak-anak sekitar untuk makan bersama atau dalam istilah jawa “ngepung pamongan”. Kemudian ketika selapanan (35 hari) bayi dicukur gundul pertama kali. Ngedun-dunke dilakukan ketika bayi berusia 6-8 bulan yang merupakan awal pertama kali bayi menginjakkan tanah.
Perintah Orangtua
Berdasarkan informasi dari Mbak Iin Wulansari (28 tahun) yang berasal dari Dusun Tegalwangi, RT 03/RW 03, Desa Tegalarum mengatakan “Ketika sedang lahiran, orang tua saya dawuh untuk tidak memakai anting-anting, rambutnya gak boleh dikuncir, semua pintu harus dibuka. Katanya supaya lahirannya diberikan kelancaran dan gampang. Untuk tradisi lahiran, saya masih ikut tradisi orang jawa dan manut omongane wong tuo, jare nek dewe manut, mesti bakal kepenak” ucap Mbak Wulan.
Gambar
Narasumber
- Bapak Mucholil, Mbah kaum/tokoh agama, Sesepuh desa, Dusun Susukan Desa Tegalarum
- Mbak Iin Wulansari, 28 tahun, pemerhati budaya, Dusun Tegalwangi Desa Tegalarum