(oleh Mifti Anjani dan Erwanudin)

Narasi

Pakde Noto, warga Desa Kenalan yang rumahnya ada di Dusun Gempal atau kemloko I, sore itu kami  team kenali desa berkunjung ke rumah beliau. Tentu saja karena tugas Njajah Deso Milang Kori, kalau tidak ada tugas ini mungkin bisa jadi kami tidak pernah sowan kepada beliau. Pakde Noto adalah seorang yang bisa dikatakan “juru kunci” Gunung Gondopurowangi, akan tetapi karena memang tidak ada penisbatan atau penunjukan secara khusus sehingga beliau juga kemudian tidak mengaku-aku sebagai juru kunci. Usia beliau saat ini sekitar 67 tahun, sudah cukup sepuh tapi masih sangat bugar buktinya saja, waktu kami berkunjung ke rumah beliau. Waktu itu beliau baru saja pulang dari berkebun dengan memikul singkong satu karung besar.

Kemudian dipersilahkanlah kami untuk masuk ke dalam rumah beliau, rumahnya sederhana tetapi sejuk, tanpa butuh pendingin ruangan sekalipun. Sambil menyalakan rokoknya, kami utarakan maksut dan tujuan kami soan ke rumah beliau, dan tanpa panjang lebar beliau langsung bercerita.

Di lereng Gunung Gondopurowangi terdapat beberapa Goa. Setidaknya ada 3 Goa yang berada di lereng Gondopurowangi. Satu Goa Gantung, dua Goa Gondopuro, dan yang ketiga tidak diketahui namanya. Dari ketiga Goa tersebut hanya satu yang akan kita bahas pada kesempatan ini.

Goa Gondopurowangi, menurut Pakde Noto nama Gondopurowangi terdiri dari tiga suku kata, yakni Gondo yang berarti Ambu atau aroma, Puro yang berarti Dupa, dan wangi. Sehingga Gondopuro wangi memiliki makna Aroma Dupa yang Wangi. Nama Gondopurowangi dinisbatkan oleh masyarakat pada Gunung tersebut karena memang dahulu gunung di gunung tersebut memiliki aroma dupa. Pertanyaanya dari manakah wangi tersebut berasal?

Wewangian tersebut berasal dari depan Goa Gondopurowangi, dimana dahulu sering sekali goa tersebut digunakan untuk keperluan pertapaan atau dalam bahasa Pakde Noto adalah “Ngudi”. Jadi orang –orang yang sedang memiliki suatu harapan besar, sering bertapa di goa tersebut, untuk mengasah diri mereka. Seingat beliau, budaya pertapaan ini sudah ada sejak tiga generasi keatas sebelum beliau, sehingga kemungkinan jauh sebelum masa tersebut juga sudah demikian. Dan masih ada sampai waktu saat ini.

Orang yang akan melakukan pertapaan ini tentunya harus sangat mempersiapkan diri, baik secara mental maupun spiritual. Secara mental karena menurut beliau, lokasi goa ini berada di lereng gunung, dan tentunya menurut kepercayaan, berada di lokasi tersebut untuk bertapa sangat membutuhkan mental yang kuat. Sedangkan secara spiritual adalah bekal do’a yang akan dilantunkan oleh seseorang di dalam masa pertapaan tersebut. Lama pertapaan seseorang, pada zaman sekarang biasanya adalah 3 hari atau 7 hari. Biasanya orang akan dimulai pada pada hari selasa kliwon atau jumat kliwon, tetapi juga boleh di hari yang lain.

Untuk sampai di lokasi Goa, dapat menggunakan jalur pendakian sebelah selatan gunung. Goa tersebut berdampingan dengan makam para pejuang yang juga berada di lereng gunung Gondopurowangi (sudah dibahas pada seri Suronan). Selebihnya hal yang disampaikan oleh Pakde Noto adalah mengenai proses atau alur saat seseorang akan memulai pertapaan. Waktu untuk mengawali ritual ini biasanya adalah pada sore hari, jadi berangkat ke gunung sebelum waktu magrib datang, ketika jalan masih terlihat. Sesampainya disana, orang tersebut akan melakukan nyekar, pembakaran dupa, dan juga meminta ijin untuk melakukan pertapaan di pelataran Goa (biasanya dibantu oleh pakde noto), baru kemudian memulai pertapaan. Menjelang malam hari tugas pakde noto hampir selesai, bisanya sebelum tengah malam Pakde Noto akan turun, pulang ke rumahnya meninggalkan orang yang dia antar tadi. Maka berakhir pula tugas beliau dalam mengatur perjalanan spiritual orang tersebut.

 

Gambar

Lokasi

map

Narasumber

  • Pakde Noto, Pemerhati budaya, dusun Gempal desa Kenalan

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...