(Narasi oleh Muhammad Ja’far Qoir dan Miftakhul Fauzi)
Narasi
Jamasan pusaka berasal dari bahasa Jawa Kromo Inggil, ‘Jamas’ yang mempunyai arti cuci, membersihkan atau mandi. Sedangkan kata ‘Pusaka’ menjadi sebutan bagi benda-benda yang dikeramatkan atau dipercaya memiliki kekuatan tertentu. Proses jamasan dilakukan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Jamasan pusaka merupakan tradisi mencuci benda-benda peninggalan nenek moyang. Benda-benda peninggalan yang dijuluki sebagai pusaka akan dibersihkan tepat pada malam satu Suro
Berdasarkan penuturan Mas Nurofiq selaku penggiat budaya asal Dusun Klipoh, jamasan ini merupakan tradisi turun temurun yang awal mulanya tidak harus dilakukan di bulan Suro, melainkan di hari hari yang dianggap baik. Awal mulanya Sultan Agung Hanyakrakusuma (Sultan Mataram ketiga 1613-1645) yang saat itu menunaikan ibadah haji di Mekah dan menunggu musim angin laut untuk kembali ke nusantara, karena haji pada masa itu melakukan perjalanannya dengan menggunakan kapal yang memanfaatkan angin laut. Beliau menunggu sambil belajar tentang agama dan mengamati budaya warga Mekah, dimana setiap selesai bulan haji yaitu masuk bulan Muharram mereka punya tradisi untuk mencuci dan membersihkan ka’bah termasuk memberi wangi-wangian. Sultan Agung tertarik dengan tradisi tersebut. Setelah kembali ke nusantara, beliau ingin membuat tradisi yang sama seperti yang dilakukan orang-orang Makkah, namun orang jawa tidak ditinggali seperti ka’bah oleh leluhurnya melainkan ditinggali pusaka berupa keris, tombak dan benda lainnya. Maka beliau memutuskan untuk menjadikan benda-benda pusaka sebagai benda yang dicuci atau dibersihkan untuk meniru tradisi budaya warga mekah.
Tradisi menjamas pusaka ini awalnya dilaksanakan di Keraton Yogyakarta. Keraton pada zaman dulu adalah pusat aktivitas bagi masyarakat, maka ketika kebiasaan keraton untuk menjamas pusaka, banyak masyarakat yang meniru tradisi tersebut hingga saat ini. Penjamasan dilakukan karena benda pusaka seperti keris tidak dinilai dari ketajamannya, melainkan dinilai dari sejarahnya. Oleh karena itu, maka penjamasan dilakukan untuk menjaga pusaka tersebut dari kerusakan.
Ada beberapa tahapan menjamas pusaka, diantaranya :
- Mutih, yakni membersihkan karat/korosi pada bilah keris,dengan cara direndam dengan cairan asam pekat,biasa nya dengan air kelapa yang dicampur dengan jeruk nipis. Direndam sekitar 3 jam . makan karat pada bilah akan terkelupas,dan hasilnya bilah keris berwarna putih bersih dari korosi
- Warangi, untuk memunculkan motif pamor, dengan menggunakan cairan warangan berupa campuran jeruk nipis dan bubuk arsenik (Ar), mencuci dengan cairan warangan ini akan membuat bilah keris berwarna hitam dan pamor akan lebih jelas terlihat
- Minyaki, cairan minyak wangi tujuannya supaya keris wangi dan memelihara agar keris tidak berkarat, biasanya menggunakan minyak parafin ,bibit minyak gaharu,melati,kenanga atau selera, atau sesuai selera karena terkadang aroma keris juga menunjukkan identitas pemiliknya
Adapun ketika beberapa orang menggunakan bunga, air sungai dan beberapa bahan lain untuk jamasan itu karena sebagian orang memiliki keyakinan masing-masing dan tradisinya sendiri sendiri diluar dari pakem jamasan pusaka.
Gambar
Narasumber
- Nurofiq, pelaku budaya, dusun Klipoh desa Karanganyar