(Narasi oleh Andi Ahmad dan Zuhan Andri D. A.)

Narasi

Topeng kawedar adalah kesenian asli Desa Tuksongo yang memadukan antara unsur seni musik melalui gamelan, seni tari pencak silat Jawa, dan unsur agama Islam. Menurut Pak Sofian Hadi Salim (55 tahun) dari Dusun Tuksongo, topeng kawedar merupakan maskot kesenian Desa Tuksongo yang didirikan sejak tahun 1930 oleh Kepala Desa Tuksongo saat itu yaitu Cokro Aminjoyo. Awalnya kesenian ini diprakarsai oleh Syubbanul Muslimin atau juga dikenal Gandul Muslimin yang berarti pemuda muslim. Yang menjadi istimewa dari dari topeng kawedar karena menjadi pelopor pertama tarian topeng  ireng. Penciptaan topeng kawedar merupakan sebagai media pengembangan ajaran agama Islam, karena setiap gerakan tarian rodat, tarian kewan-kewanan, dan tarian banolan serta lagu-lagunya mengandung nilai-nilai agama islam.

Manka Rodat

Gerakan tarian rodat dan iringan lagu saat menari memiliki arti yang sangat mendalam, sebenarnya tarian topeng kawedar Desa Tuksongo didasari oleh gerakan silat Jawa. Hal ini membuat dalam gerakannya tidak seperti orang yang sedang berjoget atau bergoyang karena digambarkan seperti orang yang sedang berlatih silat. Lagu-lagu bernuansa Islami sebagai pengiring dan penyemangat juga bertujuan untuk syiar agama Islam. Memasukan gerakan silat pada kesenian itu sebenarnya ada maksud dan tujuan yang sangat mulia, dikarenakan pada zaman penjajahan mendirikan perguruan pencak silat sangat ditentang oleh penjajah. Hal ini karena bagi mereka berlatih silat sama saja melawan penjajah. Jadi masyarakat Desa Tuksongo pada waktu itu berinisiatif memasukan gerakan silat pada kesenian, dengan ide kreatif masyarakat desa Tuksongo pada waktu itu, terciptalah kesenian topeng kawedar ini.

Makna Banyolan

Pada sesi tarian baynolan dalam kesenian topeng kawedar mengajarkan makna yang berisi banyolan (candaan) agar suasana pada pertunjukan seni tidak membosankan. Sehingga lirik dan arti ketika sesi tarian ini juga dibuat lucu agar penonton dapat tertawa ceria. Selain itu ada sesi tari kewan-kewanan, yaitu tarian yang dilakukan dengan memakai topeng berbagai macam hewan. Jumlah kewan-kewanan (hewan-hewanan) dalam kesenian ini sebenarnya dulu hanya tujuh yang dalam bahasa Jawa yaitu pitu yang dimaknai sebagai pitulung atau menolong dan pitulang (piwulang) atau mengajar. Ketujuh hewan tersebut mempunyai makna yang berbeda-beda seperti, hewan macan mengandung arti “maca kahanan ndonyo” yang berarti membaca keadaan dunia. Hewan simo (singa) yang berarti “isine limo” mengandung makna mengamalkan ajaran Islam dan pancasila beserta lima isinya, dengan maksud agar mengetahui makna 5 isi dari Pancasila dan 5 rukun Islam. Hewan jaran (kuda) yang berarti ajarane pengeran bermakna sebagai ajaran Tuhan yang perlu diketahui. Lalu hewan kebo (kerbau) dalam bahasa Jawa disebut mahesa yang dimaknai menjadi kata dipaes (diperbaiki) yang berarti kalau sudah tahu ajarannya Tuhan lantas diperbaiki supaya bagus. Sapi yang bermakna diusapi memiliki arti kalau sudah diperbaiki terus disuruh mengelus dada (sabar), terutama saat kita berperilaku dan bertindak di masyarakat. Warak (badak) dimaknai dari kata wuruk yang berarti wuruk Islam atau belajar agama islam. Kemudian gajah dimaknai sebagai niat disucikan, dimana kalau sudah menjalani semuanya akan disucikan oleh Tuhan.

 

Gambar

Narasumber

  • Sofian Hadi Salim, 55 tahun, sesepuh desa, Desa Tuksongo

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...