(Narasi oleh Arif Sutoyo dan Nur Kholiq)
Narasi
Asmaradana
Padha netepana ugi
kabeh parentahing sarak
terusna lahir batine
salat limang wektu uga
tan kena tininggala
sapa tinggal dadi gabug
yen maksih remen ing ndunya.
Terjemahan bebasnya:
Semua harus menjalani juga
semua perintah agama
lahir dan bathin
sholat lima waktu tidak boleh ditinggalkan
siapa yang meninggalkan akan menjadi hampa
jika masih suka hidup di dunia.
Pada suatu siang, untuk yang ke 4 kali, akhirnya kami bisa bertemu dengan Pak Jalil di kediamannya. Pria 51 tahun tersebut selain sehari-hari bekerja sebagai petani dan peternak sapi, juga seorang penggiat pituturan tembang-tembang macapat yang tergabung dalam kelompok Laras Madya Dusun Malangan.
Sosok humoris yang pernah menjabat sebagai Kepala Dusun Malangan ini sudah menggemari tembang-tembang macapat sejak masih muda belia. Awalnya beliau hanya senang mendengarkan, lambat laun lalu menghafalkan tembang dan menyanyikannya. Akhirnya sejak tahun 2005 bergabunglah Beliau dengan kelompok kesenian Laras Madya Dusun Malangan pimpinan Alm. Bapak Sarnun.
Kesenian Laras Madya Dusun Malangan sudah eksis berdiri sejak tahun 1982. Berawal dari Alm. Bapak Sarnun yang bersama teman-temannya belajar langsung tentang pitutur laras madya dengan mengundang seorang guru dari Dusun Seganan (Ganjuran) Desa Tuksongo. Kelompok Kesenian Laras Madya Dusun Malangan beranggotakan 15 Orang yang terdiri atas 8 orang pengrawit yang juga sekaligus penembang, serta 7 orang penembang. Kelompok ini latihan setiap selapan dina (35 hari) sekali. Kesenian Laras Madya Dusun Malangan cukup sering mengisi acara hajatan seperti supitan/khitan, pernikahan, kekerik bayi, bahkan pernah mengikuti lomba.
Kesenian Laras Madya adalah hasil karya seorang Raja dari Kasunanan Surakarta. Menurut Pak Jalil, dahulu teks yang digunakan dalam tembangnya masih menggunakan Arab Pegon (kalimat Bahasa Jawa yang ditulis dengan aksara arab gundul), kemudian disalin ke dalam huruf latin oleh Alm. Kiai Siraj Payaman supaya mudah dibaca dan dihayati isinya.
Laras Madya adalah seni musik yang dimainkan mengiringi pitutur Jawa tembang macapat yang berisi tuntunan/ajakan kebaikan dan nasehat kehidupan mulai sejak dalam kandungan hingga menghadapi kematian kelak. Alat musik yang digunakan dalam kesenian Laras Madya Malangan adalah kendang, gong, gembung, kenting-kenting, kentongan dan saron. Adapun busana yang dipakai adalah pakaian adat Jawa seperti blangkon dan surjan/beskap sebagai atasan. Untuk bawahannya kondisional, bisa mengenakan sarung atau jarik (kain batik).
Dalam sekali pentas, Laras Madya Dusun Malangan biasanya memainkan 20 tembang-tembang macapat bagian dari:
Maskumambang
Menceritakan tentang keadaan manusia saat masih di alam ruh yang kemudian ditanamkan dalam rahim atau gua garba seorang ibu.
Mijil
Merupakan ilustrasi dari proses kelahiran manusia. Mijil atau mbrojol, dan keluarlah jabang bayi bernama manusia.
Sinom
Sinom berarti penggambaran masa muda. Masa muda yang indah, penuh dengan harapan dan mimpi-mimpi.
Kinanthi
Dalam tembang kinanthi ini dicertiakan tentang masa pembentukan jati diri dan meniti jalan menuju cita-cita. Kinanti berasal dari kata kanthi atau tuntun yang bermakna bahwa kita membutuhkan tuntunan atau jalan yang benar agar cita-cita kita bisa terwujud.
Asmaradana
Asmara artinya cinta. Mengisahkan tentang masa-masa tumbuhnya asmara, percintaan, atau larut dalam lautan kasih cinta.
Gambuh
Awal kata gambuh adalah jumbuh atau bersatu yang menceritakan soal komitmen dalam perkawinan untuk menyatukan cinta dalam satu biduk rumah tangga.
Dhandhanggula
Menggambarkan kehidupan yang telah mencapai tahap kemapanan sosial serta kesejahteraan, cukup sandang, papan, dan pangan.
Durma
Durma berasal dari kata darma yang menggambarkan ajaran bahwa seseorang sedianya harus melakukan sedekah dan berbagi kepada sesama.
Pangkur
Pangkur atau mungkur memiliki arti menyingkirkan hawa nafsu dan angkara murka, serta nafsu negatif yang menggerogoti jiwa.
Megatruh
Megatruh atau megat roh berarti terpisahnya nyawa dari jasad kita, terlepasnya ruh atau nyawa menuju keabadian.
Pucung
Pucung berarti pocong atau jasad manusia yang dibungkus kain mori putih.
Dalam sekali pentas, seluruh tembang yang dimainkan oleh Laras Madya Dusun Malangan berdurasi sekitar 3 jam. Permainan biasanya dihentikan sementara setiap 4-5 tembang untuk istirahat. Alunan irama musik laras madya yang halus dan lembut disertai lantunan tembang macapat yang penuh makna disertai penghayatan yang dalam dari para pemainnya, mampu membawa suasana pendengarnya menjadi tenang dan menentramkan.
Meskipun gebyarnya tidak begitu seramai kesenian lain seperti dayak atau jathilan, kelompok Laras Madya Dusun Malangan pernah tampil sampai luar daerah seperti di Mertoyudan, Muntilan, Temanggung hingga Wonosobo. Pak Jalil menambahkan, dalam setiap tanggapan (undangan pentas) Laras Madya Dusun Malangan tidak pernah memasang tarif. Yang penting ketika ada tanggapan keluar desa tersedia untuk jasa tranportasi dan konsumsi. Laras Madya Dusun Malangan pernah juga dipentaskan di Pendapa Bupati Magelang pada masa pemerintahan Bupati Bapak Singgih Sanyoto. Yang menarik dari pementasan saat itu, sebagaimana diceritakan Pak Jalil, adalah ketika menjelang berakhirnya acara Bupati pengen tanduk/masih menginginkan untuk dimainkan 2 tembang lagi sebagai penutup, kungkin karena sangat menikmati dan menghayati kesenian Laras Madya yang disampaikan.
Pak Jalil berkata bahwa isi dan makna dari tembang yang dimainkan dalam Kesenian Laras Madya selaras dengan pokok-pokok ajaran Agama Islam. Sehingga,jika benar-benar dimaknai arti dalam setiap tembangnya, dapat dijadikan sebagai salah satu pedoman manusia Jawa dalam mengarungi kehidupan.
Gambar
Lokasi
map
Narasumber
- Pak Jalil. 51 tahun, pemerhati budaya, Dusun Malangan Desa Ngargogondo.