(Narasi oleh Salma Salsabila R. dan M. Shodek)

Narasi

Makam Jambe merupakan makam pertama yang ada di Desa Majaksingi dan merupakan makam orang yang pertama kali mencetuskan nama Desa Majaksingi, yaitu Mbah Kiai Mojo. Menurut penuturan Bapak Kaum Harno, makam ini berada di pojok selatan Dusun Krajan. Makam Mbah Kiai Mojo sendiri berada di tengah dan dibuatkan rumah-rumahan kecil (cungkup) yang menutupi makam. Asal mula nama Makam Jambe menurut cerita yang dituturkan oleh Bapak Arip, adalah karena di tempat ini, konon, terdapat banyak sekali pohon jambe yang kemudian di tebang untuk dijadikan makam. Karena diletakkan di tempat dengan banyak pohon Jambe, makam tersebut akhirnya diberi nama Makam Jambe.  Karena merupakan pemakaman pertama, saat ini lokasi pemakaman sudah sesak dengan makam-makam lain.

Sebelum masuk ke area pemakaman, terdapat sebuah batu besar yang ada di depan makam ini. Bukan sembarang batu, batu besar tersebut merupakan batu yang dipercaya akan melindungi orang-orang yang sudah meninggal dan dikuburkan di pemakaman ini. Dengan kata lain, batu tersebut dianggap sebagai “satpam” Makam Jambe. Masyarakat percaya bahwa di dalam batu besar tersebut terdapat sesuatu yang menjaganya. Suatu ketika, pernah seorang warga, yaitu pak Arip sendiri, mendengar tangisan yang sangat keras. Tidak diketahui dengan pasti dari mana tangisan tersebut berasal, dan tidak ada yang mendengarnya kecuali dirinya sendiri. Karena merasa aneh dengan pendengarannya, orang tersebut menganggap suara tersebut hanya ilusi dan membiarkan dan suara tersebut hilang.

Beberapa hari kemudian, orang tersebut kembali mendengar suara tangisan yang sama, sehingga Ia bertanya kepada temannya.

Pak Arip           : “Ono bayi nangis ki bayine sopo to yo mbengi-mbengi kok nangis. Sopo sing gek wae babaran ki? (Ada bayi menangis malam-malam begini, siapa ya, yang baru saja melahirkan?)”

Pak Sabar        : “Ha bayine sopo, wong ra ono bayi nangis, kok muni ono bayi nangis kupinge ki, lho (Lah, bayi siapa? Tidak ada bayi yang sedang menangis kok, mana ada suara tangisan bayi)”

Arip                 : “Kae lho rungokke sik jelas-jelas nangise seru kok ora krungu kupingmu kopoken po ra krungu ki. (Itu, lho. Coba dengarkan baik-baik, jelas-jelas (bayinya) menangis dengan keras masak tidak dengar.)”

Sabar               : “Koe ki aneh, wong genah raono bayi nangis. Nek ono lakyo tep wis krungu. Sing duwe bayi yo sopo jal tonggone ki, genah anake wis do gede kaplak-kaplak kok. (Kamu ini aneh, orang jelas tidak ada bayi yang menangis, kalau memang ada pasti terdengar, dong. Memangnya siapa, coba, tetangga di sini yang punya bayi? Anak-anaknya sudah besar semua, kok.)”

Mugi                : “Ha iyo. Koe ki krungon-krungonen paling, Rip. Wis yo lek lanjutke wae gaweane. (Betul. Mungkin kamu salah dengar, Rip. Sudahlah, kita lanjutkan pekerjaan kita saja. )”

Namun, suara tangisan bayi tersebut masih tetap terdengar bahkan setelah teman-teman pak Arif melanjutkan pekerjaannya. Karena rasa penasarannya, akhirnya pak Arip mencoba mencari tahu dari mana suara tangisan bayi itu berasal. Setelah mengikuti arah sumber suara, pak Arip akhirnya berhenti ketika sadar tidak ada rumah warga di sekelilingnya dan ternyata telah sampai di depan Makam jambe. Setelah di telusuri, suara tersebut ternyata berasal dari batu besar yang dianggap satpam Makam Jambe.

Menurut Bapak Arip, setiap makam merupakan tempat yang suci. Oleh karena itu,  seorang perempuan yang sudah akil balig dan sedang datang bulan tidak diperbolehkan untuk masuk ke area pemakaman, terlebih Makam Jambe, karena di sinilah sesepuh Desa Majaksingi disemayamkan. Masyarakat percaya hal yang tidak mengenakkan akan terjadi apabila pantangan tersebut dilanggar, kecuali orang tersebut benar-benar lupa. Orang tersebut harus segera keluar area pemakaman pada saat ingat.   Namun, akan berbeda ceritanya apabila perempuan yang sedang datang bulan dengan sengaja masuk ke area pemakaman. Suatu ketika, pernah ada seorang yang dengan sengaja melanggar larangan tersebut karena penasaran terhadap mitos yang beredar. Dampaknya, orang tersebut terkena sawan Makam Jambe. Kondisi tersebut masih terhitung tidak terlalu parah karena efek yang diperoleh “hanya” sebatas sawan dan orang tersebut segera mendapatkan pertolongan/obat. Nyawa orang tersebut akan terancam apabila kondisi sawan tidak segera diketahui dan diobati.

Gambar

Lokasi

map

Narasumber

  • Pak Arif, Desa Majaksingi

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...