(Narasi oleh Arif Sutoyo dan Nur Kholiq)

Narasi

Tradisi berziarah sudah menjadi bentuk budaya umat beragama di Indonesia tak terkecuali bagi umat Islam. Banyak umat Islam di Indonesia memaknai ziarah kubur sebagai ritual yang sangat sakral. Menurut pelakunya, seorang manusia yang masih hidup di dunia masih mempunyai ikatan batin dan tetap menghormati leluhur/nenek moyang/keluarga yang sudah meninggal. Secara lahiriah memang tidak lagi bisa berkumpul/bertemu seperti berhubungan dalam sosial kemanusiaan, akan tetapi secara batiniah masih ada rasa ingin bertemu (rindu) sejak terpisahkan dari alam dunia dengan alam lain.

Pojok timur dusun

Di Dusun Parakan ada makam cikal bakal dusun, yaitu Makam Mbah Kiai Parak atau yang lebih dikenal dengan Makam Ki Parak. Makam ini terletak diseberang Sungai Sileng di pojok timur dusun. Makam yang selain diziarahi para warga setiap pekan atau hari-hari khusus ziarah ini, juga dijadikan tempat rombongan khusus/jama’ah peziarah yang mengadakan kegiatan sowan leluhur setiap malam Minggu Pon. Peziarah yang sudah rutin melaksanakan ziarah ke Makam Mbah Kiai Parak di malam Minggu Pon tersebut sejumlah sekitar 50-an orang. Siapapun boleh mengikuti ziarah malam ini dengan kesadaran pribadi bahwa masih mengakui dan mempercayai adanya leluhur yang tentunya harus dihormati.

laku ziarah

Bapak Sukri adalah salah satu pelaku ziarah malam tersebut. Bapak yang sudah berusia menjelang 50 tahun ini, menceritakan dengan seksama tentang laku ziarah khusus tersebut. Mulai dari pengetahuan tentang hal kegaiban, sejarah siapakah para leluhur yang ada di makam itu, dari mana asal dan seperti apa sosoknya, juga tentang adanya makam yang keramat (istimewa dan berwibawa) di pemakaman tersebut sehingga ada rasa penghormatan lebih kepada leluhur yang dimakamkan ditempat itu.

3 makam

Bapak Sukri bercerita bahwa di pemakaman cikal bakal Mbah Kiai Parak itu terdapat 3 makam lelulur dalam satu cungkup. Yaitu Raden Whiwothekto (Mbah Kiai Parak), serta P. Puger dan putrinya. Di makam itu terdapat nisan kayu (meisan) diatas gundukan tanah yang keras. Ada yang mengatakan bahwa dahulu tanah itu hanya sedikit dan rendah. Namun, semakin lama tanah yang letaknya diatas makam tersebut semakin bertambah tinggi dengan sendirinya hingga saat ini hampir 2 meter.

Raden Whiwothekto

Adanya nama asli cikal bakal (Mbah Kiai Parak) yang saat ini sudah diketahui sebagai Raden Whiwothekto berawal dari hasil ritual Bapak Sukri bersama dengan 3 orang temannya. Pada suatu waktu, beliau melakukan ziarah di makam tersebut yang kemudian beliau ulangi pada malam Minggu Pon. Tiba-tiba beliau dikagetkan dengan keanehan yaitu munculnya penampakan cahaya sinar putih yang terang sebanyak tiga kali kejapan “byar, byar, byar”, Bapak Sukri menggambarkan. Bapak Sukri yang saat itu hanya sekadar menemani 3 temannya tersebut, tidak merasa takut. Sebaliknya, Beliau menganggap kejadian itu sebagai pertanda atau sebuah petunjuk. Karena rasa penasaran, berangkatlah Bapak Sukri berziarah lagi setelah waktu subuh seorang diri dan kembali menemukan keanehan. Beliau menuturkan bahwa makam itu diselimuti gumpalan putih yang tidak bisa ditembus dengan pandangan mata, berbeda dengan keadaan disekitar yang terlihat biasa-biasa saja.

Berwibawa

Setelah mengalami kejadian tersebut, Bapak Sukri kemudian berkomunikasi dengan guru mengaji yang sudah sering beliau temui dalam acara pengajian rutin yang diikutinya. Guru tersebut dikenal sebagai orang pintar (ahli supranatural). Setelah dilakukan ritual secara khusus, akhirnya beliau mendapatkan jawaban bahwa di makam tersebut terdapat 2 sosok orang atau arwah yang sangat berwibawa dengan pakaian jubah dan sorban warna biru kelabu (telur bebek) dan (asma karim) bernama Raden Wiwothekto (Mbah Kiai Parak). Apabila menampakkan diri, penampilan Raden Wiwothekto berubah-ubah. Selain berjubah dan bersorban, terkadang beliau muncul dengan berpakaian pendekar warna hitam, memakai ikat kepala, bersenjata panah, dan teken (tongkat). Aroma yang terpancar dari Beliau sangat wangi dan apabila sedang rindu yang ditemui akan mengulurkan tangan untuk bersalaman. Kemunculan yang lain adalah adanya kuda besar berwarna putih yang tingginya kira-kira 2 meter yang belakangan diketahui sebagai tunggangan Raden Wiwothekto. Tidak hanya sebatas itu, ada juga jelmaan pusaka yang berwujud seekor macan putih dan macan kuning yang juga muncul ditempat itu. Sosok lain yang muncul adalah seseorang yang juga berwibawa, yaitu Pangeran Puger yang diketahui berasal dari wilayah Jogja. Beliau berpakaian Jawa lurik-lurik, mengenakan blangkon dikepalanya.

Pohon beringin

Ada temuan lain juga dalam penerawangan Bapak Sukri melalui ritual dan meditasi di tempat itu. Makam terbelah menjadi dua, tampak ada jalur ghaib seperti lorong panjang. Diawali dengan pintu pertama berwarna putih kemudian berlanjut warna hitam sebanyak 9 kali dan setelah itu ditampakkan dua buah pohon beringin depan Keraton Jogja. Ujung lorong ghaib yang beliau tembus itu terletak di tengah-tengah kedua pohon beringin.

Pendopo

Pada waktu yang berbeda, pernah juga ditampakkan sebuah bangunan pendopo yang letaknya tepat di makam itu. Terdapat sebuah dampar dan 3 kursi yang berderet ditengah-tengah pendopo. Di sekelilingnya ada bangunan benteng berdinding warna emas yang mengitari beserta 3 pintu gapura dan masing-masing pintu mempunyai jalur ghaib yang berbeda.

Pusaka

Di lain waktu, dalam ritual yang sama, Beliau menemukan petunjuk bahwa di sebuah tempat yang jaraknya hanya sekitar 3 (tiga) jengkal telapak tangan, tepatnya di sebelah selatan gundukan makam itu ada tanah empuk (gembur). Tanah tersebut akan mengeluarkan aroma wangi apabila di tepuk. Menurut Bapak Sukri, pada titik itu tersimpan pusaka, sekaligus sebagai lorong ghaib yang arahnya menuju ke atas. Saat ini titik tersebut sudah di tandai dengan sebuah batu berwarna hijau dan berbentuk bulat meninggil. Lebih lanjut, Bapak Sukri bercerita bahwa keinginan untuk memasang tanda batu itu pun bukan atas inisiatifnya sendiri, tetapi berdasarkan arahan dalam kata batin yang Beliau ikuti sampai saat pemasangannya.

Rapalan

Dalam setiap laku ziarahnya, Bapak Sukri sering membaca tawasul, Surat Yasin, tahlil, dan Sholawat Nariyah. Semua bacaan itu sering Beliau baca ketika ziarah, meskipun ada perbedaan jumlah rapalan, sesuai dengan maksud dan tujuan ketika berziah.

Wejangan

Wejangan dari Mbah Kiai Parak yang disampaikan oleh Bapak Sukri, yaitu bahwa pada saat menolong orang,  kita tidak boleh pilih kasih atau membeda bedakan antara satu dengan yang lainya. Semua harus diperlakukan dengan cara yang sama, baik si kaya ataupun si miskin. Yang lebih penting adalah, harus menuntut Ilmu Agama Islam dengan tekun dan sungguh-sungguh (mengaji). Dengan berniat melakukan hal-hal yang baik, semoga Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan pertolongan. Berharap dengan ridho-Nya, rasa tulus selalu tertanam dalam hati kita serta benar-benar merasa ikhlas untuk beribadah.

 

Gambar

Lokasi

map

Narasumber

  • Pak Sukri, 50 tahun, pelaku budaya, Desa Ngargogondo

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...