(Narasi oleh Rangga Tsalisul A. dan Loh Sari Larasati)

Narasi

Mbah Somo, Sesepuh

Berdasarkan tutur tinular masyarakat Wanurejo, khususnya mengenai Masjid Tingal, kapan dibangun, siapa yang membangun, belum ada yang mengetahui jawaban tersebut.  Semua masyarakat mengganggap Masjid Tiban atau jatuh dari langit, keterangan tersebut dibenarkan oleh Mbah Somo, beliau pinisepuh yang tinggal di Dusun Sangen.

Mbah Kyai Suronegoro

Pada tanggal 27 Desember 1995 ada program pemerintah lewat Departemen Agama tentang pendataan Masjid untuk disertifikasi.  Bapak Yusmadi sebagai takmir masjid saat itu mengadakan musyawarah bersama tokoh masyarakat, hadir pula Bapak Triyanto Kades Wanurejo dan Kantor Urusan Agama diwakili Almarhum Bapak Junet. Pembahasan musyawarah itu dihasilkan bahwa sebidang tanah untuk bangunan masjid seluas 650 m2 sebagai wakaf Mbah Kyai Suronegoro.

Baitur Rohman, 2005

Pada tahun 1982 almarhum Simbah Prawiro Darmojo, ayah Bapak Triyanto ditunjuk sebagai panitia pembangunan atau renovasi. Simbah Prawiro Darmojo sowan ke ulama sepuh di Kabupaten Magelang yaitu Mbah Kyai Achmad Abdulkhak pimpinan Pondok Pesantren Watucongol Desa Gunungpring agar memberi nama masjid tersebut. Beliau hanya diberi saran Mbah Kyai Achmad Abdulkhak agar masyarakat ziarah ke Makam di Tingal Wanurejo. Keterangan tersebut diperkuat Simbah Sumadi sesepuh Dusun Tingal. Akhirnya pada tahun 2005 masyarakat dusun Tingal sepakat masjid tersebut di beri nama Masjid Baitur Rohman.

Sejarah lisan

Sumber lain lewat ‘mediator’ mengatakan Masjid Tingal dibangun tahun 1799 bersamaan dengan waktu BPH Tejo Kusuma mendapat anugerah Bumi Perdikan Wonorejo dari SRI SULTAN Hamengku Buwono II sebagai sarana ibadah masyarakat pada waktu itu. Dikarenakan pembangunan masjid yang dikerjakan oleh Ki Sorok dan Ki Jugil dilakukan di malam hari tanpa diketahui masyarakat, dianggaplah masjid tersebut sebagai Masjid Tiban atau jatuh dari langit, sehingga masyarakat Wanurejo secara turun temurun menyakininya sampai sekarang.

Bedug P. Diponegoro

Di masjid tersebut terdapat bedhug dengan ukuran diameter 80 cm terbuat dari kayu nangka. Menurut cerita, bedhug tersebut pernah dijadikan genderang ‘Perang Diponegoro’ di lereng Menoreh karena Wonorejo merupakan benteng pertahanan atau laskar beliau banyak bermukim di Wonorejo. Pada tahun 1971 bedhug tersebut dibawa ke Jakarta dalam rangka pameran benda sejarah zaman Perang Diponegoro, bedhug tersebut dibawa ke Stasiun Yogyakarta sampai ke Jakarta. Setibanya di Jakarta, bedhug tersebut sulit dikeluarkan dari dalam kereta. Namun setelah melaksanakan sholat hajat, bedhug tersebut baru bisa dikeluarkan untuk dipamerkan di masjid Istiqlal.

Sekarang Bedhug tersebut selain digunakan sebagai fasilitas masjid, juga digunakan untuk pembukaan acara Perti Desa Wanurejo yang dikemas ‘Gelar Budaya Wanurejo’ dari tahun 2003.

 

Gambar

Lokasi

-7.6175715,110.2158174

Narasumber

  • Sukiadi, 52 tahun, Sesepuh desa, dusun Tingal Kulon desa Wanurejo

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...