(Narasi oleh: Andy Anssah dan Vinanda Febriani)
Narasi
Pada bulan Ruwah dalam kalender Jawa atau Sya’ban dalam kalender Islam, masyarakat Jawa sering melaksanakan tradisi nyadran yang merupakan penghormatan terhadap arwah leluhur masyarakat. Tradisi ini merupakan tinggalan Hindu-Buddha sebelum kedatangan Walisongo. Sadran diambil dari kata sraddha yang bermakna keyakinan, ada juga yang mengatakan sidrun yang maknanya adalah mengenang.
“Kalau yang dilaksanakan di sini pertama adalah ziarah kubur. Ada yang mengatakan ruwah adalah ingat kepada arwah yang sudah mati, maka kita nyadran ke arwah leluhur,” jelas pria yang biasa disapa Pak Huri ini.
Adapun kegiatan yang dilakukan pada saat nyadran adalah ziarah kubur dan tahlil di masjid dusun. Ada ubarampe yang disajikan saat nyadran, yakni sego berkat yang dibagikan kepada masyarakat saat tahlilan di masjid. “Kalau pas nyadran yang dibutuhkan adalah karena kita kedatangan tamu dari luar daerah yang punya leluhur di sini, maka kita memuliakan tamu dengan membuat suguhan kepada tamu tersebut berupa makanan ringan, berkat yang berisi nasi, lauk ayam, telur, sayur dan kerupuk, tempe, dan mie,” jelasnya.
Selain dengan nyadran, ada juga kegiatan majemukan yang merupakan kumpulan menutup kegiatan mujahadah rutinan seminggu sekali pada malam jumat di tiap RT dengan berkumpul di serambi masjid dan melaksanakan mujahadah tahlil. Tradisi nyadran dan majemukan sudah ada sejak lama, namun semakin berubah zaman semakin berubah pula tradisi tersebut. Meski demikian, nama yang digunakan masih tetap sama.
Gambar
Narasumber
- Pak Ashuri, Dusun Kurakan