(Narasi oleh Muhammad Ja’far Qoir dan Miftakhul Fauzi)

Narasi

Nyadran merupakan tradisi lokal yang hampir ada di semua wilayah khususnya di Jawa. Setiap tahun sebelum masuk bulan ramadhan masyarakat Jawa melaksanakan tradisi Nyadran sebagai bentuk rasa syukur dan penghormatan untuk leluhur, kata “Nyadran” berasal dari Bahasa Sansekerta, “sradha” yang berarti keyakinan. Nyadran biasanya dilakukan pada hari ke-10 bulan rajab atau di awal bulan sya’ban. Masing-masing daerah di tanah Jawa memiliki ciri khas tersendiri dalam menyelenggarakan tradisi nyadran. Tetapi Kebanyakan dari tradisi nyadran di Jawa adalah melakukan ziarah ke makam leluhur.

Begitu juga di Desa Karanganyar yang selalu melakukan tradisi nyadran di setiap tahunnya. Nyadran di Desa Karanganyar dilakukan pada bulan ruwah hari rabu di minggu ke dua. Di zaman sekarang, masyarakat melakukan tradisi tersebut dengan cara berziarah ke makam leluhur, kemudian dilanjut dengan pengajian serta doa bersama di masjid dan diakhiri dengan makan bersama. Tak jarang juga diselingi dengan tausiyah atau pengajian oleh bapak kyai tersohor. Setelah acara selesai, orang-orang yang mengikuti acara tersebut masing masing membawa makanan yang sudah disiapkan di wadah atau sering disebut dengan berkat yang nantinya akan dibagikan kepada keluarga dirumah.

Bungkus Daun Jati

Berdasarkan penuturan Bapak Ali Usman yang berusia 50 tahun yang merupakan salah satu tokoh masyarakat di Dusun Klipoh. Pada zaman dahulu nyadran merupakan suatu tradisi yang besar. Dimana saudara yang jauh dan warga desa yang ada di sekitar ikut menghadiri acara tersebut. Tradisi nyadran pada zaman dahulu selain untuk mengenang leluhur juga sebagai sarana silaturahmi. Adapun keunikan nyadran pada tahun 2000an di Desa Karanganyar ialah tentang cara penyajian makanannya. Pada tahun tersebut, Desa Karanganyar masih banyak ditumbuhi pohon jati, sehingga masyarakat memanfaatkan daun-daun jati yang mudah ditemui disekitar desa sebagai wadah makanan atau berkat agar mudah untuk dibawa pulang dari masjid karena pada saat itu plastik juga sulit untuk ditemukan seperti pada zaman sekarang, akhirnya masyarakat memanfaatkan daun jati tersebut. Berkat atau makanan yang dibagikan berupa nasi, lauk tiga macam, mie, sayuran, kerupuk, peyek ikan asin, telur dan tempe goreng. Berkat makanan tersebut dimasak oleh perorangan, umumnya setiap rumah akan membawa 4 berkat dengan menu yang hampir sama untuk dibagikan kepada seluruh warga yang datang. Berdasarkan penuturan Bapak Ali Usman,  proses membagikan makanan ini adalah bentuk rasa syukur masyarakat karena dahulu masyarakat masih kesusahan mencari makan.

Berkembang nya waktu wadah berkat diganti dengan plastik, agar mempermudah para warga, walaupun menghilangkan nilai budaya dari pemanfaatan pohon jati, namun juga melihat dari berapa sulit ditemukannya pohon jati yang tumbuh lebat seperti dahulu kala, dan belum ada pengganti dari pohon jati selain plastik. Namun jika bulan ruwah bertepatan dengan musim penghujan, dan daun pohon jati bertumbuh lebat, makan masyarakat akan kembali menggunakan daun jati sebagai wadahnya.

 

Gambar

Narasumber

  • Bapak Ali Usman, 50 tahun, tokoh masyarkat, dusun Klipoh desa Karanganyar

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *