(Narasi oleh  Elka Hanna Setia dan Fredy Trifani)

Narasi

Pengantin bambu adalah prosesi perkawinan bibit bambu yang bertujuan untuk melestarikan bahan baku pohon bambu, kesuburan pertumbuhan pohon bambu karena Desa Kebonsari identik dengan kerajinan bambu maka dari itu diadakannya Upacara Pengantin bambu. Pengantin bambu ini dilaksanakan pada bulan Oktober minggu kedua atau pada perhitungan jawa disebut mongso  ke limo. Karena pada umumnya pada mongso ke papat petani sudah mulai melakukan persiapan untuk menanam. Sebelum melaksanakan upacara pengantin bambu adapun bahan yang harus disiapkan sebagai simbolis untuk menjadi pengiring pengantin. Bahan yang disiapkan adalah kerajinan bambu yang telah dihasilkan dari beberapa dusun yaitu anyaman, pulpen, gantungan kunci bambu, tirai bambu, gelang bambu, peralatan rumah tangga bambu dan lain sebagainya. Kenapa disiapkan bahan-bahan tersebut maksudnya adalah wujud rasa syukur kepada sang pencipta atas melimpahnya pohon bambu yang menjadi bahan baku utama dan sarana utama dalam kehidupan dan pergerakan perekonomian di Desa Kebonsari. Menurut Mas Anang (34 tahun) salah satu penggerak budaya di Desa Kebonsari, Prosesi pengantin bambu ini tidak jauh berbeda dengan profesi pernikahan pada umumnya. Harus ada pengantin dan pengiring pengantin, pengantin yang disiapkan adalah dua bibit bambu unggul,  sebagai pengantin bambu laki-laki bibit unggul yang tinggi sedangkan pengantin bambu wanita bibit bambu yang pendek. Sebagai pengiringnya adalah kerajinan bambu yang telah disiapkan sebelumnya yaitu kerajinan bambu dari masing-masing dusun. Prosesi pengantin bambu adalah sebagai berikut: siraman,  mempertemukan pengantin atau panggih, arak-arak kirab pengantin (hasil bumi, potensi yang ada di Desa Kebonsari), pasrah tinampi, ngomahke.

Pitulungan

“Siraman” penyucian diri adapun bahan yang harus disiapkan yaitu: air dengan bunga tujuh rupa dan dua kelapa hijau yang belum tua. Bunga itu wangi, 7 (tujuh) berasal dari 7 sumber, istilah jawanya “Oleh pitulungan seko sg kuoso, lancar sakteruse.. “  dan diterapkan pada prosesi pengantin ini yang bermaksud apabila nanti sudah berkeluarga “Semoga diberi kelancaran, kemudahan setelah menjadi keluarga agar selalu diberi kemudahan..”. Kelapa hijau yang belum terlalu tua atau istilah  “ tembung cengkir”  dalam pernikahan harus dilakukan dengan pikiran yang kuat atau “kencenge pikir (cengkir)” pernikahan bukanlah permainan bukan pura-pura. Mempertemukan pengantin “panggih” kedua pengantin yaitu menyatukan kedua bibit menjadi 1 agar nantinya dapat menghasilkan pohon bambu baru  yang tumbuh banyak dan subur yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Kebonsari untuk membuat kerajinan bambu.

Arak-arakan

Selanjutnya dilakukan “Arak-arak” kirab pengantin untuk mengantar kedua bibit bambu ke pelaminan.  Dalam prosesi ini, pengantin bambu dikawal oleh pengiring (kerajinan bambu dari masing-masing dusun) yang ditandu oleh 4 orang pria setiap tandunya dengan tinggi yang sama. “Pasrah tinampi” menyerahkan pengantin bibit bambu untuk dijadikan satu.  “Ngomahe” menempatkan atau menanamkan bibit bambu.  Selain menyiapkan bahan kerajinan bambu sebagai pengiring pengantin, masyarakat juga menyediakan nasi tumpeng putih. Yang bertujuan untuk keselamatan dalam memulai prosesi upacara pengantin bambu. Yang nantinya akan disantap bersama setelah prosesi selesai digelar. Nasi tumpeng putih dilipih Karena memiliki makna tersendiri dari warna nasi dan lauk pauk yang ada disekeliling nasi tumpeng.

Nasi tumpeng

Nasi tumpeng dengan nasi putih yang ada di upacara pengantin bambu sifatnya untuk “slametan” memulai suatu acara meminta keselamatan kepada Sang Pencipta. Nasi tumpeng juga dilengkapi dengan lauk pauk khusus seperti “kluban” yang isinya harus ada bayam, kangkung, kecambah, gereh petek atau ikan asin, telur, kacang panjang. Nasi tumpeng berbentuk seperti gunung,  tumpeng sendiri memiliki istilah jawa “tumpeng tumpengo ing pengeran” pangeran yang dimaksud adalah sang pencipta Tuhan Yang Maha Esa, maksud jadi “tumpengo ing pengeran” hidup itu tidak boleh meninggalkan sang pencipta, harus selalu menadahkan. Bayem supaya hidup lebih “ayem”, Kangkung  tidak boleh “jinangkung” agar selalu dapat kemudahan dan perlindungan, kacang panjang yang tidak boleh dipotong dengan maksud supaya segala urusannya selalu dipanjangkan dan diluruskan. Kacang panjang boleh dipotong apabila sudah selesai didoakan. “gereh” ikan asin maknanya, ikan hidupnya selalu bersama-sama “guyub rukun” yang artinya kita tidak boleh hidup sendiri-sendiri.

Jajanan Pasar

Kecambah berbentuk simbol awal mula. Dan dibumbui menggunakan bumbu urap kemudian semua sayuran dicampurkan, kata urap memiliki istilah jawa “urap urep urup kang nguripi” maksudnya dengan mencampurkan semua sayuran dengan bumbu urap agar “kluban” menjadi enak. Begitu juga dalam kehidupan, kita hidup saling berdampingan tidak mementingkan diri sendiri, harus mementingkan orang-orang disekitar kita. “ingkung”  simbol dari ketulusan, ingkung adalah ayam yang diikat seperti membentuk bungkuk, memiliki makna “ditaleni ditlikung” yaitu agar dikuatkan hati dan pikiran agar tidak buyar. Dan ada juga telur, telur yang ada di nasi tumpeng tidak boleh dibagi dua harus telur utuh. Tumpeng yang digunakan di upacara pengantin bambu bukan menggunakan tumpeng nasi kuning karena nasi kuning bersifat perayaan kebahagian atau bersyukur, menyampaikan rasa syukur yang telah didapatkan. Selain nasi tumpeng ada juga beberapa jajanan pasar, jajanan pasar menyimbolkan “pepakan” maknanya kehidupan itu seperti di pasar. Di Pasar kita dapat menemukan berbagai orang dengan beberapa kasta ada yang kaya, ada yang miskin, ada pengemis, ada pencopet. Begitu juga dengan kehidupan, kita akan menemukan berbagai macam yang nantinya akan kita hadapi.

Gambar

Narasumber

  • Anang, 34 tahun, Penggerak budaya, desa Kebonsari

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...