(Narasi oleh Taufik Wahyono dan Abdul Majid)

Narasi

Gerilya P Diponegoro

Pos Mati merupakan petilasan yang dahulu dijadikan tempat pengintaian musuh oleh Pangeran Diponegoro pada masa Perang Gerilya tahun 1825 – 1830 masehi. Lokasi ini ditandai dengan adanya sebuah pohon Serut yang menurut sejarah adalah pohon peninggalan Pangeran Diponegoro sebagai bukti beliau pernah berada ditempat ini. dan juga dua buah pohon Cemara yang hingga kini masih berdiri dengan gagah menaungi siapapun yang berada dibawahnya. Lokasi ini sangat strategis sehingga beliau bersama para punggawa dan serta Nyai Ageng Serang, Senopati Malang Duryo, Raden Sareno, Kyai Modjo, Alibasah Sentot Prawirodirjo dan beberapa panglima lainnya yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.

Perang Kotak Nogo

Pos Mati menjadi saksi bisu terjadinya beberapa perang besar yang terjadi antara Pangeran Diponegoro dengan pihak penjajah dalam pertempuran memperebutkan hak masyarakat Indonesia khususnya tanah Jawa. Diantaranya adalah perang di Kotak Nogo yang kini masuk ke kawasan Desa Ngadiharjo, masih dalam lingkup Kecamatan Borobudur.

Suri Nyai Ageng Serang

Kotak Nogo sendiri dahulunya merupakan areal hutan luas yang memiliki kontur tanah dan pepohonan mirip sosok seekor naga. Peperangan besar tersebut menimbulkan korban jiwa yang luar biasa banyaknya sehingga tidak mungkin menguburkan satu persatu. Oleh sebab itu, Nyai Ageng Serang melemparkan sebuah suri atau sisir berkepala dua dari Pos Mati. Atas izin yang Maha Kuasa, suri tersebut berubah menjadi sesosok Naga yang pada akhirnya memakan seluruh korban meninggal karena peperangan tersebut yang sebagian besar adalah warga pribumi yang membelot pada negaranya demi kepeng uang yang dijanjikan oleh pihak penjajah.

Strategi perang Nyuru

Setelah perang di Kotak Nogo usai, Nyai Ageng Serang memutuskan untuk indang-indang atau melihat-lihat suasana sekitar. Saat indang-indang, beliau dipersilahkan pinarak atau mampir ke sebuah gubuk penduduk pribumi yang kebetulan sedang memasak bubur. Nyai Ageng Serang disuguhi bubur yang masih panas karena baru saja diangkat dari ketel. Karena tidak punya banyak waktu, Nyai Ageng Serang makan bubur tersebut dengan nyuru atau menyendok dari bagian tengah piring terlebih dahulu yang ternyata membuat lidahnya kepanasan. Mengetahui hal tersebut, sang tuan rumah memberi tahu serta mengajarkan bagaimana cara memakan bubur yang masih panas supaya cepat   dingin dan tidak terlalu panas seperti sebelumnya. Tuan rumah menyuru dengan cara memutar mengikuti lengkungan piring  dan hasilnya bubur lebih cepat dingin dan bisa dimakan hingga habis dengan waktu yang lebih singkat. Setelah diajari perihal menyuru, Nyai Ageng Serang merasa mendapat pencerahan secara tidak terduga tentang strategi perangnya.

Nyai Ageng Serang merasa selama ini lebih banyak mengalami kegagalan atau kalah tatkala menyerang markas penjajah dikarenakan menyerang langsung ke tengah atau pusatnya. Strategi perangnya yang baru yaitu menyerang dengan cara memutar dari markas kecil-kecil terlebih dahulu setelah itu markas besar penjajah. Nyai Ageng Serang buru-buru kembali ke pasukan dan menyampaikan kepada Pangeran Diponegoro  tentang strategi barunya lantas menerapkannya. Hasilnya, pasukan penjajah mampu diluluhlantakkan.

Kabut tebal

Namun sebelumnya, pihak penjajah mencoba menyerang pasukan Diponegoro dari arah utara atau arah Bukit Tidar, pasukan yang mengetahui hal tersebut, melaporkan kepada Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro kemudian mengajak para punggawanya untuk berdoa kepada Sang Maha Pencipta. Tak lama berselang turun kabut tebal yang menutupi seluruh kawasan dari Pos Mati hingga Bukit Tidar. Namun, pasukan penjajah melihat kabut tersebut sebagai samudera luas yang membuat pasukan penjajah melompat dan mengarunginya dengan berenang seperti di lautan. Mereka tidak sadar bahwa sebenarnya berenang di bebatuan, tanah, dan pepohonan yang mengakibatkan banyak diantaranya terluka bahkan sampai meregang nyawa. Akhirnya pasukan penjajah memutuskan untuk mundur dan menyusun strategi baru untuk menghancurkan pasukan gerilya Diponegoro.

Lemah Puteh

Tidak cukup hanya sampai di situ, para penjajah memutuskan untuk kembali menyerang dipagi buta ke Pos Mati. Lagi-lagi rencana penyerangan tersebut tercium oleh para telik sandi yang dikirim oleh Pangeran Diponegoro untuk mengawasi gerak gerik pasukan penjajah. Mengetahui akan adanya penyerangan kembali, Pangeran Diponegoro memutuskan untuk menancapkan pusaka tombak dan payung beliau di Pos Mati untuk mengelabuhi penjajah. Benar saja, penjajah melihat payung dan tombak tersebut adalah sosok Pangeran Diponegoro yang berdiri tegak dengan mengacungkan senjata pada penjajah. Para penjajah tidak sadar bahwa yang mereka lihat hanyalah tombak dan payung, mereka membombardir dengan segala senjata mereka miliki seperti bom, peluru, hingga panah. Sampai tiga hari tiga malam mereka terus menembak hingga kehabisan amunisi dan persenjataan namun Sang Pangeran tidak bergeming sedikitpun dari tempatnya. Akhirnya mereka maju dan mendekati Pos Mati, alangkah terkejutnya yang mereka lihat hanyalah payung dan tombak. Pada saat yang bersamaan, pasukan pemanah Pangeran Diponegoro menghujani Pasukan Pemanah dengan anak panah dari bukit Lemah Puteh  (tanah putih) yang terletak di bukit belakang Pos Mati.

Akhir perang

Pasukan penjajah yang dipimpin oleh Jendral De Kock akhirnya mampu menangkap Kyai Modjo yang memimpin pemberontakan. Menyusul setelahnya Pangeran Mangkubhumi beserta Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerahkan diri kepada pasukan penjajah. Mengetahui hal tersebut, Pangeran Diponegoro akhirnya bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa pasukanya yang tertangkap segera dibebaskan. Setelah ditangkap, Pangeran Diponegoro diasingkan di tanah Manado kemudian dipindahkan ke Benteng Rotterdam, Makasar hingga beliau wafat pada 8 januari 1855. Dengan pengasingan Pangeran Diponegoro, maka berakhirlah pula perang jawa antara seluruh bangsawan jawa dengan pasukan penjajah yang sebagian besar adalah pembelot bangsanya.

 

Gambar

Lokasi

-7.6264157,110.1789032

Narasumber

  • Mbah Ali Muksin, 67 tahun, Dusun Kalitengah RT 06/RW 02, Desa Giritengah

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...