(Narasi oleh Wahyu Nur Rahman dan Abdul Kholiq Kurniawan)
Narasi
Ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana. Sederhananya, kalimat tersebut bisa diartikan bahwa seseorang dapat dinilai dari lidah (ucapan) dan cara berpakaian. Seperti itulah orang Jawa sangat menjunjung tinggi kebudayaan dan mempunyai cara berpakaian yang bernilai filosofis tinggi. Menggali lebih dalam mengenai pakaian adat Jawa, malam ini saya akan sowan kepada seorang tokoh masyarakat yang merupakan abdi dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Wedana Nitidipura, SH. MH, alias Pak Bambang. Dari nama beliau sudah pasti akan lebih susah untuk ditemui, untungnya sore hari sebelumnya, saya sudah membuat janji sehingga tidak perlu terombang-ambing dalam ketidakpastian. Selepas Isya’ kami pergi kesana, ditemani dua orang dari KKN UNY. Kami menerjang dinginnya malam menuju kediaman beliau di Dusun Senden, Desa Bumiharjo
Sesampainya disana, meja besar di teras rumah yang luas menjadi sambutan pertama. Setelah beberapa menit menunggu, Pak Bambang menemui kami dengan surjan motif bunga-bunga. Saatnya kami mencari tahu lebih dalam mengenai pakaian adat Jawa. Dengan logat Jawa yang begitu kental namun tegas, Pak Bambang mulai menjelaskan satu persatu. Pakaian kalau di Jawa disebut Rasukan atau Ageman. Dari mulai baju atas, yaitu surjan, mempunyai kancing baju berjumlah enam buah dibagian leher depan yang menjadi lambang dari rukun iman. Di setiap bagian ujung lengan jumlah kancingnya lima buah, itu menjadi lambang dari rukun Islam. Pak Bambang menunjukkan kancing bajunya dan berkata, “Surjan itu pakaian yang pas buat sholat, jadi pakaian itu nggak waton, semua ada maknanya.” Pada zaman dahulu, surjan merupakan pakaian para santri Sunan Gunung Jati kemudian diadopsi oleh Kesultanan Mataram.
Macam2 Surjan
Surjan bermacam-macam jenisnya, ada lurik, ada Pranakan. Kalau Pranakan hanya bisa dipakai saat pisowanan dan harus dipadankan dengan jarik wiru engkol. Pranakan untuk ngarsa dalem berwarna biru. Pak Bambang menunjukkan foto dirinya saat berada di Keraton yang memakai Pranakan berwarna biru. Disitu Nampak lencana yang dinamakan Pradacina, menggambarkan ingkang jumeneng, yaitu merepresentasikan siapa sultan yang sedang bertahta saat itu. “Kalau ada 3 buah ya HB 3 kalau ada 9 ya HB 9.”
Pisowanan
Pisowanan merupakan tradisi dimana bawahan sultan datang menuju istana untuk melaporkan pertanggungjawaban di daerahnya masing-masing. Kalau diluar pisowanan tidak memakai wiru engkol. Jarit adalah penutup tubuh bagian bawah berupa kain dan harus diwiru yaitu dengan membuat lipatan-lipatan pada bagian depan jarit. Saat sedang berjalan, satu jempol tangan dimasukkan ke dalam wiru lalu untuk memegang bagian wiru, tidak boleh asal memegang, karena wiru bisa rusak, dan kaki tidak leluasa bergerak.
Penggunaan keris
Untuk membuat jarit selalu menempel di badan, digunakanlah lonthong. Lonthong wujudnya seperti korset namun panjang. Setelah memakai lonthong, dipakailah kamus, yang wujudnya seperti sabuk. Pak Bambang menunjukkan kamusnya yang bertuliskan aksara jawa. “Ini HaBa mas, Ha Ba itu Hamengku Buwana.” Lonthong juga merupakan tempat menyelipkan keris. Sebelum kami bertanya, Pak Bambang sudah menjelaskan mengenai keris. “Kalau keris kan ada cekelan (pegangan) dan ukiran, itu ada trap-trapannya (peraturan) juga.” Kalau ukiran yang bertanda Putri Pinurung hanya boleh dipakai untuk pangeran. “Pernah saya lihat ketoprak tapi (lakonnya) bukan pangeran tapi pakai keris yg pangeran, itu kurang pas.” Pak Bambang menunjukkan ukiran di kerisnya, dan menjelaskan kalau ukiran tersebut tidak boleh dipakai untuk orang umum. Beliau merupakan teman dekat dari Putra Mangkunegaran, dan keris yang sedang berada di kediaman Pak Bambang adalah hadiah dari beliau, berikut juga blangkon yang sedang Pak Bambang pakai.Untuk mengeluarkan keris dari tempatnya saja ada etika, yaitu mendorong terlebih dahulu bagian penutup menggunakan jempol tangan, baru ditarik. Ternyata bahkan kalau malam hari tidak diperbolehkan mengeluarkan keris. Kami menganggukkan kepala mendengar penjelasan beliau.
Penggunaan Blangkon
Perlengkapan Ageman yang lain yaitu blangkon. Blangkon merupakan penutup kepala untuk laki-laki. Blangkon bisa dipakai untuk umum, namun ada peraturan khusus mengenai jenis-jenisnya. Kalau ngarso dalem rupanya hijau pupus. Sambil menunjukkan blangkon di kepala, Pak Bambang menambahkan, “Blangkon dipakai dengan jarak ujung depan blangkon satu jari dari alis”. Saya yang kebetulan memakai blangkon langsung membetulkan posisi yang memang agak mendongak ke belakang. Saya memakai blangkon yang bagian belakang terdapat kain menjuntai, dan menanyakan hal ini kepada beliau. Klewer(kain menjuntai) di blangkon hanya sekadar aksesoris, tidak ada makna khusus.
Perlengkapan yang berada di ujung kaki yaitu cenela yang sering disebut dengan selop. Cenela mempunyai jenisnya, untuk Kesultanan Ngayogyakarta itu ujungnya lancip sedangkan untuk Surakarta, ujungnya papak (datar). Di akhir percakapan kami malam itu, Pak Bambang memberi wejangan, “Klambi Jawa kalo bisa dipakai komplit sehingga bisa tahu makna dan filosofinya.”
Gambar
Lokasi
map
Narasumber
- Wedana Nitidipura, SH/Pak Bambang, abdi dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, pelaku budaya, dusun Senden desa Bumiharjo