Batu Bertelapak Kaki Kuda dan Manusia di Bukti Ngajaran

(Oleh Zurdhan Ageng Pamuji dan Khoirul Fai)

Narasi

Bukit Ngajaran di Dusun Sambeng,konon jadi saksi sejarah Pangeran Diponegoro dan anak buahnya melawan Belanda. Lokasinya di kawasan pegunungan Menoreh sisi utara Desa Sambeng.

Menurut sesepuh Desa Sambeng, Pak Prayit (68), bukit Ngajaran adalah tempat latihan  Pangeran Diponegoro bersama murid-muridnya. Makna Ngajaran sendiri adalah  mengajari, melatih, ilmu kanuragan maupun ilmu beladiri.

Ngajaran juga dijadikan  benteng atau tempat peperangan  Pangeran Diponegoro dengan penjajah. “Zaman dulu murid-murid Pangeran Diponegoro berbondong-bondong mengambil bebatuan dari sungai Njaro untuk dibawa ke Ngajaran. Batu-batu itu  digunakan untuk benteng dan juga gaman atau alat berperang melawan penjajah,” ujar Pak Prayit.

Pada masa perang Diponegoro yang berlangsung 1825-1830 M, bukit Ngajaran adalah benteng dan tempat perang. Masih banyaknya bebatuan di tempat itu menjadi salah satu bukti bahwa tempat itu memang pernah jadi saksi sejarah. Sayangnya, bebatuan itu sekarang banyak yang terpendam dalam tanah.

Kami bertanya kepada Pak Prayit, tentang pernah ditemukannya batu yang ada telapak kuda dan telapak kaki Pangeran Diponegoro. “Dulu memang ada batu yang berdiameter sekitar 50 cm, di situ ada telapak kaki kuda dan telapak kaki manusia, tapi saya kurang tahu itu telapak kaki Pangeran Diponegoro atau telapak kaki siapa, pada intinya ada telapak kaki manusia dan telapak kaki kuda,” jelas Pak Prayit.

Batu yang bertelapak kaki kuda dan kaki manusia di Ngajaran dulunya berada di ladang milik Pak Sakri, orang Kerekan, Desa Candirejo. Zaman dahulu batu itu pernah dibawa pulang oleh Pak Sakri karena bentuknya unik. Tetapi setelah beberapa hari Pak Sakri mengalami sakit-sakitan yang cukup lama dan sakit itu silih berganti datangnya. Setelah Pak Sakri sembuh istrinya gantian yang sakit terus berputar satu keluarga.

Setelah beberapa lama sakit-sakitan Pak sakri menemui Pak Prayit dan bertanya-tanya tentang penyakitnya itu kok terus-terusan setelah membawa pulang batu yang bertelapak kaki kuda dan kaki manusia itu. “Laaa watu kui ki peninggalan e wong biyen kok digowo bali, wong kui huduk duwek mu, sesok di balekke karo aku wingi nendi gone,”  kata Pak Prayit pada Pak Sakri waktu itu.

Selanjutnya Pak Prayit datang ke rumah Pak Sakri dan mengambil batu itu dikembalikan ke Ngajaran. Setelah sehat ia berniat untuk memendam batu itu di ladangnya. Beberapa tahun kemudian, Pak Prayit kembali bertanya ke Pak Sakri mengenai batu telapak kaki kuda dan telapak kaki manusia itu guna untuk menggali sejarahnya dan ingin dibuatkan museum. Tetapi kata Pak Sakri, batu itu sudah terpendam tanah yang sangat dalam karena dulunya Pak Sakri menempatkan batu itu supaya aman tidak bisa diambil orang.

“Batu itu masih berada di gunung Ngajaran, cuma di sisi mananya itu yang lupa, yang pastinya masih berada di lading Pak Sakri,” kata Pak Prayit.

Gambar

Narasumber

  • Mbah Prayit, 68 tahun, Sesepuh desa Gleyoran

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...